Sulitnya Menyebrang Jalan di Kerumunan Sepeda Motor

Jika anda suka berjalan kaki di jalanan Jakarta, tentunya anda sering ingin menyebrang jalan, namun tidak tersedia jembatan penyebrangan atau zebra cross di dekat anda berada. Akhirnya anda terpaksa menyebrang jalan melewati arus lalu lintas yang lewat di jalan tersebut. Namun kadang anda kesulitan menyebrang jalan karena penuh dan cepatnya arus lalu lintas yang sedang lewat. Apalagi jika arus lalu lintas tersebut dipenuhi oleh kerumunan sepeda motor.

Saya sering mengalami kesulitan tersebut, terutama di sore hari ketika akan pulang. Rumah saya dekat dengan jalan dua arah dengan masing-masing arah terdiri dari dua lajur. Ketika saya menyebrang di arah yang sibuk dengan kendaraan bermotor, terutama sepeda motor, maka saya hanya sukses menyebrang ketika semua kendaraan bermotor, terutama sepeda motor sudah benar-benar habis, dan itu membutuhkan waktu yang cukup lama, bahkan hingga bermenit-menit.

Sejak kecil saya sudah biasa menyebrang karena memang waktu masih duduk di bangku sekolah dulu minimal saya menyebrang jalan raya dua kali. Jadi menyebrang bukan lagi hal yang baru bagi saya. Bahkan saya dapat menyebrang di sela-sela mobil yang berjalan cukup cepat, selama itu hanya maksimal dua lajur. Kenapa hanya dua lajur? Karena kalau cuma dua lajur artinya kita hanya perlu antisipasi dua kendaraan sekaligus, yaitu kendaraan yang berada di lajur yang dekat dengan kita dan kendaraan yang berada di lajur yang jauh dengan kita. Jika ada 3 lajur atau lebih, maka tingkat kesulitan menyebrangnya akan menjadi lebih sulit karena harus mengantisipasi tiga kendaraan yang berjalan di tiga lajur berbeda sekaligus.

Nah bagaimana jika jalan yang akan saya sebrangi isinya padat dengan sepeda motor yang kecepatannya cukup tinggi antara 20-60 km/jam? Jalan dengan dua lajur secara rata-rata dapat diisi oleh lima sampai enam sepeda motor sekaligus. Artinya saya harus dapat mengantisipasi pergerakan lima sampai enam sepeda motor sekaligus. Belum lagi ditambah dengan tantangan lain yaitu jarak antar motor yang sangat dekat, sehingga seakan-akan tidak ada ruang untuk bergerak di antara sepeda motor yang jumlahnya cukup banyak tersebut.

Jika ini yang terjadi maka saya melakukan dua hal.

Pertama adalah meneruskan perjalanan saya di sisi jalan dimana saya berada hingga ke tempat tujuan tanpa harus menyebrang terlebih dahulu dan menyebrang ketika arus lalu lintasnya sudah mulai reda. Sedangkan yang kedua adalah menunggu sampai benar-benar jalanan kosong baru menyebrang, atau mencari jembatan penyebrangan di jalan tersebut. Jika menunggu sampai benar-benar jalanan kosong kadang tidak tentu waktunya. Apalagi jika sedang di jam sibuk, seakan-akan arus lalu lintas tidak ada habisnya. Paling lama masa penantian saya di jalanan seperti itu adalah lima menit. Artinya sama saja dengan saya membuang waktu untuk berjalan sekitar 400 meter.

Biasanya arus lalu lintas habis jika jalan yang saya ingin sebrangi dekat dengan lampu lalu lintas. Minimal arus lalu lintas yang menuju ke arah yang sedang saya sebrangi sempat terhenti karena adanya perubahan di lampu lalu lintas. Tanpa lampu lalu lintas mungkin hampir tidak mungkin saya menyebrangi jalan tersebut.

Mungkin anda bertanya, kenapa gak nyebrang di jembatan penyebrangan aja, toh lebih aman.

Itulah masalahnya. Kesulitan menyebrang ini saya rasakan karena tidak adanya jembatan penyebrangan di jalan tersebut. Saya contohkan beberapa jalan besar yang tidak memiliki jembatan penyebrangan. Jalan alternatif cibubur, Jalan raya serpong, Jalan metro pondok indah dari bunderan hingga mal. Berikut adalah jalan raya dua lajur yang juga tidak memiliki jembatan penyebrangan. Jalan ciledug raya, Jalan pos pengumben, Jalan casablanca, Jalan raya bogor dan masih banyak jalan lainnya.

Lalu kenapa tidak ada jembatan penyebrangan di jalan-jalan tersebut? Padahal jalan-jalan tersebut bukan lagi dibilang cukup tapi sangat ramai. Yang paling berbahaya adalah jika seorang anak yang antisipasinya masih belum bagus menyebrang di jalan yang penuh kendaraan tersebut. Apalagi yang anda rasakan adalah jika pengendara sepeda motor melihat anda ingin menyebrang jalan, maka pengendara tersebut kemungkinan besar mempercepat lajunya sehingga anda urung untuk menyebrang. Semakin sulit lagi bagi pejalan kaki untuk menyebrang.

Jadi alangkah manisnya jika di jalan-jalan yang saya sebutkan di atas ditambahkan jembatan penyebrangan untuk kepentingan pejalan kaki. Memang masih banyak orang yang nekat menyebrang secara langsung tanpa lewat jembatan penyebrangan. Tapi bukankah fasilitas yang lebih aman layak untuk disediakan?

Jangan lagi ada kecelakaan di jalan-jalan tersebut akibat dari penyebrang jalan tidak memiliki pilihan lain untuk menyebrang kecuali mempertaruhkan nyawanya di antara arus lalu lintas yang ramai.

Semoga ada dibangun jembatan penyebrangan di jalan-jalan tersebut. Keuntungannya selain lebih aman juga tidak menghambat arus lalu lintas karena banyaknya orang yang akan menyebrang seperti yang terjadi sudah lebih dari 10 tahun di jalan casablanca tepatnya di depan mal ambasador.

Dan hidup sebagai pejalan kaki di kota besar Jakarta lebih dihargai karena diberikan pilihan seperti pengguna jalan lainnya (baca : pengendara kendaraan bermotor).

Mari jadikan Jakarta sebagai kota yang aman bagi pejalan kaki. Pak Gubernur atau pejabat Jakarta terkait, adakah keinginan untuk mengamankan warganya? {nice1}

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *