Tren angkutan umum massal di Jakarta seperti Bus Transjakarta dan Kereta Listrik Commuter Line adalah menggunakan tarif satu harga sehingga penumpang dapat berkeliling sepanjang jalur Transjakarta dan Commuter Line hanya dengan membayar satu kali ketika dia naik. Dengan kata lain, penumpang di Jakarta dapat menikmati jalan-jalan keliling Jakarta dengan biaya yang sangat murah. Memang terkesan murah, tapi jika penumpang yang menggunakan layanan tersebut hanya butuh satu atau dua halte atau stasiun berikutnya, maka biaya yang dikeluarkan jauh lebih mahal daripada dia naik kendaraan umum konvensional.
Dari dua contoh kasus di atas, sudah terlihat adanya ketidakadilan dalam penetapan tarif angkutan umum massal tersebut. Pengguna layanan yang ingin menikmati layanan dalam jarak dekat harus membayar harga yang sama dengan pengguna yang menikmati layanan jarak jauh. Lalu kenapa tidak dibuat tarif sesuai jarak atau zona yang ditempuh? Toh akan adil, karena pengguna jarak dekat, membayar lebih murah daripada pengguna jarak jauh, dan itu pun membuka opsi kepada pengguna apakah akan melanjutkan perjalanan dengan layanan yang sama atau tidak.
Apa maksudnya opsi melanjutkan perjalanan dengan layanan yang sama tersebut?
Maksudnya adalah, untuk kondisi saat ini, katakanlah layanan Transjakarta. Ada 11 koridor yang telah beroperasi. Artinya jika seseorang dari Kampung Rambutan ingin menuju ke Sudirman, maka dia hanya membayar Rp 3.500 dan ia pun hanya perlu miinimal dua kali pindah koridor dari koridor 7 ke koridor 9 dan koridor 9 ke koridor 1. Di saat yang sama, ada pengguna yang akan berangkat dari Pancoran menuju Semanggi, yang hanya menggunakan 1 koridor, membayar harga yang sama dengan pengguna yang berasal dari Kampung Rambutan ke Sudirman yang jaraknya mungkin sampai 10 kali lebih panjang dari dirinya.
Nah opsi yang dimaksud di atas adalah, jika tarif yang diberlakukan berbeda tergantung zona maupun jarak, maka pengguna Transjakarta yang berasal dari Kampung Rambutan tersebut belum tentu menggunakan keseluruhan koridor yang disediakan. Ia mungkin perlu berangkat dari Kampung Rambutan menggunakan Transjakarta hanya sampai UKI Cawang, kemudian dia melanjutkan dengan naik Patas P6 (karena lewat tol) hingga Semanggi, kemudian melanjutkan dengan Metro Mini 640 menuju Sudirman. Yang pasti pengguna tersebut membayar lebih mahal dari tarif Transjakarta saat ini, tapi belum tentu perjalanannya akan memakan waktu lebih lama dari menggunakan Transjakarta.
Opsi ini berguna untuk mengurangi kepadatan pengguna yang terjadi di halte-halte transit antar koridor Transjakarta. Saat ini bagi pengguna, karena mengetahui mereka tidak perlu membayar lagi, maka mereka akan merelakan dirinya menunggu, berdesak-desakan hanya untuk naik bus Transjakarta koridor berikutnya. Bagi pengguna Transjakarta mungkin mengetahui bahwa menunggu di halte transit antar koridor dapat memakan waktu rata-rata setengah hingga satu jam sebelum bus berikutnya datang. Namun karena merasa sudah membayar harga yang ditetapkan, maka mereka merasa berhak untuk mendapatkan layanan Transjakarta walaupun harus menunggu sangat lama.
Padahal jika tarif yang diberlakukan berdasarkan zona atau jarak, atau mungkin antar koridor, maka saya yakin tidak akan terjadi begitu banyak penumpukan pengguna di halte transit antar koridor Transjakarta. Hal itu karena untuk melanjutkan perjalanan yang mengharuskannya berpindah koridor, pengguna harus membayar lebih, dan jika dirasa antrian sudah terlalu penuh, maka dia akan keluar dari halte Transjakarta dan memilih untuk menggunakan angkutan umum konvensional.
Dengan demikian penumpukan pengguna Transjakarta di halte transit dapat dikurangi, karena pengguna tersebut akan berpikir dua kali jika ia ingin melanjutkan perjalanan menggunakan Transjakarta padahal di saat yang sama tumpukan pengguna sudah mengular luar biasa dan dia diharuskan membayar tambahan biaya untuk meneruskan perjalanannya.
Cara ini pun bisa dianggap lebih adil karena untuk penumpang yang kebetulan naik di halte transit padahal dia tidak ingin berpindah koridor, akan lebih cepat terlayani oleh Transjakarta karena tidak terlalu ramenya pengguna yang antri.
Mungkin hal yang sama juga dapat diterapkan kepada KRL Commuter Line. Pengguna jarak dekat harus membayar lebih murah daripada pengguna jarak jauh untuk sebagai rasa keadilan dan juga memberikan opsi kepada pengguna untuk menggunakan jenis transportasi umum lain. Contohnya, pengguna dari Lenteng Agung yang ingin menuju Pejaten. Jika dia tahu KRL Commuter Line cukup enak untuk dinaiki, maka dia akan memilih KRL tersebut untuk perjalanan dari Lenteng Agung ke Pasar Minggu.
Selanjutnya dia akan melanjutkan perjalanan menggunakan angkutan umum konvensional ke Pejaten (mohon maaf saya tidak tahu naik angkutan umum apa dari Pasar Minggu ke Pejaten). Namun jika saat ini KRL Commuter Line memasang tarif Rp 6.000 sekali jalan, maka dia akan pikir-pikir lagi menggunakan KRL, karena angkutan umum dari Lenteng Agung ke Pasar Minggu saya yakin biayanya tidak sampai Rp 6.000 sekali jalan.
Jadi sebenarnya dengan menerapkan tarif tidak pada satu harga akan lebih banyak pengguna yang terangkut layanan transportasi massal yang disediakan, baik bagi Bus Transjakarta maupun KRL Commuter Line dan juga angkutan umum konvensional. Lagipula jika mencontoh ke negara tetangga, yaitu Singapura dan Malaysia, angkutan massal kedua negara tersebut tidak menggunakan satu tarif, tapi berdasarkan jarak atau zona.
Kita sudah merasakannya tidak enaknya tarif satu harga sejak dibukanya koridor 2 dan 3 Transjakarta dimana penumpang bertumpuk di halte transit Harmoni. Dengan semakin banyaknya dibuka koridior Transjakarta, maka setiap halte transit pun mengalami penumpukan penumpang, terutama pada jam-jam sibuk yang antriannya bisa mengular hingga ratusan mete rpanjangnya. Sudah cukup rasanya menggunakan satu tarif dan mulai menggantinya ke tarif progresif berdasarkan zona atau jarak. Semakin jauh jarak atau zona yang ditempuh, maka semakin besar biayanya. Sehingga penumpukan penumpang di halte transit saya yakin akan jauh berkurang daripada yang terjadi saat ini, karena ada pemikiran rasional dari pengguna,
“Buat apa saya bayar lebih mahal jika waktu perjalanan saya lebih lama daripada angkutan umum konvensional.”
Sehingga pengguna tersebut akan keluar dari halte Transjakarta ataupun stasiun Commuter Line dan berpindah menggunakan angkutan umum konvensional. Atau di saat yang sama ketika mereka melihat bahwa jalur Transjakarta lebih lancar dan enak untuk dinaiki, maka mereka akan keluar dari angkutan umum konvensional dan masuk ke halte Transjakarta untuk melanjutkan perjalanannya. {nice1}