Teknik Baru Pemerintah, Konverter Kit BBG

Kebijakan pembatasan BBM (Bahan Bakar Minyak) bersubsidi yang ramai di awal tahun 2011 lalu akhirnya melempem sepanjang tahun 2011 akibat pemerintah tidak berani melakukan sesuatu untuk membatasi pemakaian BBM bersubsidi. Akibatnya pemakaian BBM bersubsidi membengkak walaupun hanya lebih 3% dari kuota APBN 2011.

Di awal tahun 2012 ini rupanya pemerintah kembali membuat wacana baru untuk pembatasan BBM bersubsidi. Wacana yang dikembangkan adalah konversi penggunaan BBM untuk kendaraan bermotor ke BBG (Bahan Bakar Gas). Mungkin pemerintah berkaca kepada kebijakan konversi minyak tanah ke LPG beberapa tahun lalu yang secara keseluruhan terbilang sukses walaupun banyak masalah yang terjadi di sana sini.

Dengan mengacu kepada teknis pelaksanaan konversi minyak tanah ke LPG, maka pemerintah kali ini pun akan menyediakan “tabung gas” berupa konverter kit BBG yang sedianya akan dipasang ke mobil-mobil yang beredar di kota-kota yang akan dilakukan pembatasan BBM bersubsidi secara bertahap. Namun tidak seperti konversi ke LPG, kali ini belum ada mekanisme subsidi pengadaan konverter kit BBG kepada masyarakat yang akan menggunakannya dan dikabarkan harga satuannya sekitar belasan juta rupiah.

Sebuah program pasti ada budgetnya. Kabarnya untuk pengadaan konverter kit BBG ini pemerintah akan menyediakan dana tidak kurang dari Rp 3 triliun karena dibutuhkan banyak sekali konverter kit BBG. Menurut saya, biaya sebesar itu seharusnya digunakan untuk memperbaiki angkutan umum di kota yang akan dilakukan pembatasan BBM bersubsidi, seperti Jakarta.

Uang sebesar Rp 3 triliun artinya dapat digunakan untuk menambah kurang lebih 3.000 bus Transjakarta baru untuk melayani masyarakat Jakarta bertransportasi. Atau bila tidak digunakan seluruhnya, katakanlah hanya Rp 2 triliun untuk pengadaan bus dan Rp 1 triliun lagi untuk perbaikan infrastruktur dan sistem transportasi Transjakarta, maka hal itu akan lebih bermakna daripada hanya menyediakan konverter kit BBG.

Dengan tambahan kurang lebih 2.000 bus baru sembari mengganti 100-200 bus Transjakarta yang sudah tidak layak untuk dioperasikan, artinya akan ada tambahan kapasitas hingga 4 sampai 5 kali lipat daripada keadaan Transjakarta saat ini. Jika dikabarkan tahun 2011 lalu rata-rata penumpang Transjakarta per harinya sekitar 300 ribu orang, maka dengan tambahan ini paling tidak akan ada sekitar 1,2 – 1,5 juta orang terlayani bus Transjakarta tiap harinya. Artinya ada potensi konversi dari pengguna mobil pribadi ke angkutan umum sebesar 900 ribu hingga 1,2 juta orang per hari.

Jika asumsi dua orang mewakili satu mobil, artinya ada pengurangan mobil di jalan raya sebesar 450 – 600 ribu per harinya. Dengan asumsi satu mobil rata-rata menghabiskan BBM bersubsidi sebanyak 5 liter, maka akan ada penghematan BBM sekitar 2,5 juta liter per harinya, atau sekitar 912,5 juta liter per tahunnya. Penghematan itu jika diuangkan akan bernilai Rp 3,65 triliun per tahun atau Rp 650 miliar lebih besar daripada pencadangan uang yang akan dikeluarkan APBN dengan asumsi penghematan per liter BBM bersubsidi bernilai Rp 4.000.

Selain itu, karena penumpang meningkat drastis, maka pendapatan dari busway pun meningkat pesat. Dengan jumlah orang yang terlayani hingga 1,2 juta orang, maka ada potensi pendapatan ke kas daerah sebesar Rp 1,5 triliun dengan asumsi harga tiket busway tetap Rp 3.500 sekali jalan.

Memang ide untuk memasangkan konverter kit BBG menurut saya cukup membuat pemerintah memiliki alasan untuk membatasi BBM bersubsidi karena sudah ada alternatif bahan bakar lain yang harganya relatif tidak semahal BBM non subsidi saat ini. Namun ide tersebut memiliki biaya yang sangat mahal karena seharusnya biaya tersebut digunakan untuk memperbaiki layanan angkutan umum terutama di Jakarta.

Lagipula yang jadi permasalahan masyarakat pemilik kendaraan bermotor bukanlah masalah BBM-nya, tapi masalah kenyamanan di perjalanan. Dulu, ketika konversi minyak tanah ke LPG, masyarakat yang terkena konversi tetap harus masak setiap harinya, dan memasak itu harus menggunakan minyak tanah dan itu yang harus digantikan dengan LPG.

Kali ini, sebenarnya bukan masalah membakar BBM-nya, tapi masalah kenyamanan. Alternatif yang disediakan pemerintah pun bukan mengkonversi bahan bakarnya, tapi konversilah alat transportasinya dari kendaraan pribadi menjadi kendaraan umum. Buatlah kenyamanan kendaraan umum meningkat pesat sehingga masyarakat akan dengan sukarela menganggurkan mobilnya di rumah karena lebih enak, nyaman dan cepat menggunakan transportasi umum.

Jadi, buat apa sulit-sulit menyediakan konverter kit BBG kalau pemerintah sebenarnya bisa melakukan sesuatu yang lebih baik, sesuatu yang lebih didambakan masyarakat, sesuatu yang lebih bermanfaat untuk jangka panjang, yaitu memperbaiki angkutan umum dengan cadangan uang yang cukup besar, yaitu Rp 3 triliun.

Memperbaiki angkutan umum itu investasi kok, bukan biaya operasi, karena hasilnya akan dirasakan setelah perbaikan itu berjalan sebagaimana mestinya.

Jika belum nyaman, maka masyarakat akan menggunakan kendaraannya sendiri. Jika sudah nyaman, buat apa menggunakan kendaraan sendiri….kecuali karena gengsi Wink

Ayo mumpung keran impor belum dibuka untuk pengadaan luar konverter kit BBG tersebut, coba dipikirkan lagi, jangan hanya kementrian ESDM bekerja sendiri. Koordinasilah dengan kementrian lain, misalnya perhubungan. Pasti kementrian peruhubungan akan senang sekali mendapatkan jatah tambahan budget sebesar Rp 3 triliun untuk memperbaiki transportasi yang ada di Jakarta sebagai pilot project pembatasan BBM bersubsidi.

Pak Jero Wacik (Mentri ESDM) dan Pak E. E. Mangindaan (Mentri Perhubungan), gimana kalau benahi angkutan umum aja untuk membatasi BBM bersubsidi? Lebih mudah dan lebih tepat sasaran kan? {nice1}

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *