Jika di tulisan pertama saya menjabarkan parameter penting transportasi publik di Jakarta dan di tulisan kedua menjabarkan tentang prioritas utama yang harus dibenahi dalam transportasi publik di Jakarta, maka tulisan ketiga ini akan membahas mengenai prioritas berikutnya yang harus dibenahi.
Apakah prioritas tersebut? Tidak bukan dan tidak lain adalah layanan Transjakarta atau yang banyak dikenal dengan sebutan busway (walaupun sebutan ini kurang pas dari segi terminologi bahasa). Busway mulai dioperasikan sejak tahun 2004 ketika periode Gubernur Sutiyoso. Sampai saat ini busway telah memiliki 11 koridor yang sudah mencakup hampir seluruh daerah di Jakarta. Bahkan mungkin jika ada orang yang menawarkan tur keliling Jakarta, maka busway pun bisa digunakan sebagai alat transportasinya.
Busway dipilih karena dia membawa orang terbanyak kedua setelah kereta listrik. Secara rata-rata busway membawa penumpang per hari lebih dari 300 ribu jiwa. Artinya jika ada cagub/cawagub yang ingin mengganti busway dengan moda transportasi lain di jalur yang sama, maka harus berurusan dengan 300 ribu jiwa yang diangkut busway setiap harinya. Seperti kereta listrik, busway pun punya komunitas tersendiri, silakan cek saja di google komunitas pengguna busway ini.
Awalnya busway sempat ditentang masyarakat karena membuat jalanan lebih macet saat pembangunannya. Namun, sekarang ini menurut saya, busway adalah moda transportasi dalam kota Jakarta yang paling manusiawi dan aman, walaupun masih ada kekurangan di sana-sini. Masalah busway yang paling utama adalah kedatangan bus yang tidak tentu. Mirip dengan kereta listrik, namun lebih sulit diatasi. Ini karena jalur busway juga dipakai oleh pengguna kendaraan lain, bahkan jika jeli melihat jalur busway yang diberikan cat merah, itu artinya jalur busway yang boleh dilewati oleh kendaraan lain.
Namun jadwal kedatangan yang tak tentu membuat busway juga sering dicela. Saya sendiri ketika menggunakan busway, pernah menunggu bus saja selama tiga jam dalam perjalanan pulang dari Dukuh Atas ke Kampung Rambutan. Perjalanannya sendiri hanya memakan waktu satu jam, tapi secara keseluruhan saya di jalur dan halte busway selama empat jam saat itu dan kapok menggunakan jalur busway untuk pulang dari Dukuh Atas ke Kampung Rambutan. Itu terjadi sekitar tahun 2007. Mudah-mudahan saat ini sudah lebih cepat ketika menggunakan jalur busway.
Menunggu bus di halte busway tanpa kepastian selalu menjadi pengalaman sendiri ketika menikmati busway. Bagi yang belum pernah menunggu bus lebih dari 30 menit di halte busway rasanya termasuk orang beruntung atau orang yang hanya sekali-sekali naik busway. Jalur diserobot kendaraan lain pun menjadi pengalaman menarik berikutnya saat menikmati busway.
Saran saya untuk pembenahan busway sebenarnya tidak terlalu banyak. Tambah bus dan sterilkan jalur! Udah, itu aja yang prioritas dalam pembenahan busway. Bus ditambah, masyarakat yang dilayani pun bertambah. Jalur steril, membuat busway jadi menarik, sehingga orang akan berpindah ke busway (dan mudah-mudahan sudah ditambah bus-nya).
Informasi kedatangan busway pun penting untuk ditambahkan, tapi hal tersebut dapat menjadi prioritas berikutnya karena yang terpenting bagi pengguna busway adalah bukan ketepatan waktu saat ini, tapi waktu tunggu di halte busway. Ketika sudah naik busway, maka rasanya sudah plong. Yang paling kesal dan sebal adalah saat menunggu bus di halte. Saat ini orang sudah paham bahwa busway bukan alat untuk mencapai tempat tujuan tepat waktu, tapi busway adalah alat untuk merasakan kenyamanan naik transportasi publik di Jakarta dengan biaya yang murah.
Sebenarnya saya memilih dua prioritas pembenahan transportasi publik di tulisan ini, yaitu kereta listrik dan busway adalah karena dengan pembenahan keduanya, maka akan ada konversi penggunaan layanan transportasi ke keduanya. Jika saat ini kereta listrik dan busway mampu mengangkut lebih dari 700 ribu jiwa per hari, diharapkan dengan pembenahan keduanya, penumpang yang dapat terangkut menjadi lebih dari 1 juta jiwa. Tapi harus ada tambahan kapasitas gerbong maupun bus sebesar 50% dari yang ada saat ini di luar peremajaan angkutan.
Penambahan kapasitas gerbong dan bus rasanya tidak sulit dilakukan oleh Gubernur mendatang, karena paling hanya membutuhkan waktu 1-2 tahun untuk melakukan hal tersebut tergantung seberapa besar fokusnya terhadap kedua moda transportasi di atas. Mungkin agak sedikit sulit bagi Gubernur DKI untuk mengatur kereta listrik karena saat ini pemegang kendali kereta listrik ada di PT Kereta Api Indonesia, yang merupakan anak dari Departemen Perhubungan yang tidak memiliki hirarki langsung kepada Gubernur DKI Jakarta. Tapi itu kan tantangan sebagai pemangku jabatan Gubernur DKI, dimana harus dapat mengkoordinasikan berbagai institusi, baik yang berada dalam direct reportnya (bawahannya) maupun yang bukan (institusi lain).
Dengan fokus terlebih dahulu kepada dua moda transportasi ini, maka prioritas pembenahan berikutnya di moda transportasi lain akan menjadi lebih mudah. {nice1}
Kenapa lebih mudah? Tunggu tulisan berikutnya di bagian keempat!
Gambar diambil dari http://3.bp.blogspot.com/_rrDCZROTKLs/SwFz7HST17I/AAAAAAAAABI/eHDIvsGlF_Q/s1600/MACET.jpg