Tulisan pertama sampai keempat saya telah membahas mengenai prioritas yang harus dipilih oleh pemimpin masa depan DKI Jakarta dalam mengelola transportasi publik. Pengelolaan transportasi publik yang baik setidaknya akan mengurangi jumlah pemakaian kendaraan pribadi yang lalu lalang di Jakarta. Jumlah kendaraan pribadi berkurang akan mengurangi dampak kemacetan yang semakin hari semakin parah.
Tidak dapat dipungkiri penyebab warga Jakarta lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi daripada angkutan umum adalah karena angkutan umum yang ada saat ini kondisinya jauh dari memadai. Bisa dibilang tidak layak! Yang saya tahu, bentuk Metro Mini dan Kopaja sejak saya masih di sekolah dasar hingga sudah punya pengalaman kerja lebih dari 10 tahun masih itu-itu saja. Mungkin kalau saya masih tinggal di tempat yang sama ketika saya kecil, mungkin supirnya pun masih bapak yang itu-itu juga…. :D.
Jadi masalah sebenarnya ada pada kondisi angkutan umum yang ada saat ini. Masalahnya adalah, kondisi kendaraan yang sudah tidak layak (tidak semuanya, tapi kebanyakan seperti itu), waktu tunggu yang tidak jelas (terutama untuk trayek yang kurang gemuk), ngetem sembarangan (99% lah kalo gak mau dibilang 100%), naik-turun penumpang dimana saja (walaupun penumpangnya juga senang sih karena lebih dekat ke tempat tujuan), ugal-ugalan (masih ada, tapi sekarang sudah agak jarang karena jalanannya macet :D), trayek yang tidak terintegrasi satu sama lain (ini mah emang belum pernah ada yang mengintegrasikannya).
Masalah di atas tidak dapat begitu saja diselesaikan oleh pemimpin Jakarta dalam waktu yang dekat. Harus dilakukan lobi-lobi intensif kepada lembaga yang berwenang terhadap angkutan umum di Jakarta yang mungkin saja isinya lebih banyak mementingkan kepentingannya sendiri-sendiri. Soalnya angkutan umum yang ada saat ini dikelola oleh swasta atau yayasan atau perorangan yang tidak ada afiliasi langsung dengan pemerintah kecuali hanya sebagai pemberi ijin trayek. Pemerintah dan DPRD hanya memiliki kewenangan terhadap tarif angkutan, namun tidak memiliki kewenangan terhadap operasional angkutan umum tersebut.
Tentu saja ini adalah masalah yang pelik. Perbaikan terhadap angkutan umum yang model begini memiliki waktu yang sangat lama karena mereka pasti menuntut insentif. Padahal belum tentu insentif tersebut digunakan untuk memperbaiki layanan. Memang harus ada negosisasi yang serius dari pimpinan DKI Jakarta nanti terhadap nasib layanan angkutan umum yang tidak berada di bawah kontrolnya.
Memberikan insentif mungkin sesuatu yang perlu dilakukan, tapi tentunya ada timbal baliknya yaitu kontrol dari pihak berwenang. Menurut saya ini agak susah dilakukan, karena jumlah angkutan umum saja saat ini walaupun kabarnya cuma 2% dari jumlah kendaraan pribadi, tapi kan jumlahnya lumayan banyak.
Kalau jumlah kendaraan roda empat di Jakarta ada sekitar 8 juta unit, maka 2%-nya berarti ada 160 ribu unit. Bayangkan jumlah busway saja gak sampai 1000 unit per hari ini. Artinya jika mau memberikan insentif kepada 160 ribu unit kendaraan, maka anggaran yang diperlukan sangat banyak. Katakanlah ada bantuan Rp 10 juta per unit kendaraan, maka pemerintah harus mengeluarkan uang sebanyak Rp 1,6 triliun untuk insentif itu. Besar juga ya, tapi harus ada insentif semacam itu untuk membuat pemerintah dapat mengatur operasional angkutan umum tersebut agar tidak seenaknya sendiri.
Dan juga tidak ada lagi yang namanya trayek gemuk maupun kurus. Seperti kita ketahui, untuk trayek gemuk, maka jumlah kendaraan umum yang melayani trayek tersebut sangat banyak. Contoh trayek gemuk adalah trayek Mikrolet M-26 dari Bekasi Barat ke Kampung Melayu. Kalau kita menunggu di sekitaran Jalan Kalimalang yang merupakan salah satu ruas jalan yang dilalui M-26, maka kita akan dengan mudah menemui M-26 lalu lalang di situ. Mungkin dalam 2 menit sekali atau kurang akan ditemui M-26.
Coba bandingkan dengan jalur yang kurang gemuk. Contohnya adalah trayek Metro Mini 85 dari Kali Deres ke Lebak Bulus. Untuk menemukan 85 ini dibutuhkan waktu rata-rata 20-30 menit sekali lewat di daerah Jalan Panjang. Dan kebanyakan, ketika lewat, sudah penuh dengan penumpang sampai pada berdiri dan berdesak-desakan.
Yang pasti setiap trayek harus benar-benar bermanfaat bagi warga, bukan hanya bagi operatornya. Kalau bisa dilakukan kajian untuk mengintegrasikan trayek. Toh dari 100 orang yang sama-sama berangkat dari tempat A, bisa saja 20 atau 30 di antaranya mau ke B. Padahal untuk ke B harus 2-3 kali ganti angkutan umum. Kalau kebutuhan-kebutuhan seperti ini dapat teridentifikasi, maka mungkin akan lebih mudah mengintegrasikan angkutan umum. Sistem integrasinya macam-macam, misalkan dengan sistem rabat (jika ada penumpang yang menggunakan operator yang sama untuk dua trayek berbeda, maka aka nada diskon tertentu dari operatornya) atau sistem lain yang menguntungkan penumpang tapi juga memberikan berkah bagi operator.
Memang agak sulit membayangkan perbaikan angkutan umum saat ini. Karena saya membayangkan sulitnya menembus pertahanan berlapis para mafia yang bermain di angkutan umum Jakarta untuk bernegosisasi. Tapi paling tidak jika ada usaha untuk memperbaiki hal ini, maka pemimpin Jakarta itu sangat mungkin dapat dipilih di pemilihan kepala daerah berikutnya (kecuali yang udah dua kali ya :D).
Pertanyaannya, kapankah negosiasi ke angkutan umum ini dimulai? Jawabannya adalah segera setelah terpilih jadi Gubernur/ Wakil Gubernur. Kalau segera, kenapa ini bukan menjadi prioritas pertama dalam pembenahan? Karena memang untuk yang satu ini banyak sekali hambatannya. Mata rantai yang harus diputus sangat panjang. Yang paling logis menjadi alasan adalah, tidak adanya kontrol langsung dari pimpinan daerah terhadap para operator angkutan umum ini. Jadi lebih sulit penanganannya. Mirip seperti pembebasan tanah yang berbelit-belit akan sulit bagi siapapun pemimpinnya untuk melakukan eksekusi. Yang bisa dilakukannya adalah memperbaiki apa-apa yang menjadi kontrolnya terlebih dahulu, atau memiliki akses untuk mendorong perbaikan layanan publik.
Tapi jika mampu melakukannya dalam waktu yang singkat, maka warga Jakarta tidak salah memilih pimpinannya. Amin! {nice1}
Tunggu dulu, masih ada bagian keenam yang akan menanti. Bagian keenam ini adalah langkah-langkah kecil yang dapat dilakukan paling tidak untuk mengurai kemacetan yang ada saat ini. Langkah-langkah ini sifatnya lokal dan mungkin hanya sementara mengurai kemacetan. Jika kondisi berubah, maka langkah-langkah ini pun harus disesuaikan lagi. Silakan nantikan bagian yang keenam!
Gambar diambil dari http://www.thejakartapost.com/files/images2/KelayakanAngkutanUmum080911-1.jpg