Pembeli BBM Non-Subsidi

Pagi ini ketika saya keluar rumah dengan mobil, saya melihat indikator bensin mobil saya mendekati E atau hampir habis. Dari rumah saya dipesankan istri untuk mengisi bensin karena memang beberapa hari terakhir ini istri saya sering menggunakan mobil untuk pergi kuliah.

Sebelum berangkat, istri pun menyarankan saya untuk mengisi bensin premium karena menurutnya tidak apa-apa toh mobil yang kita miliki mobil Jepang yang cukup tua yaitu tahun 2004. Saya melihat dompet dan melihat masih ada beberapa lembar uang lima puluh ribuan. Walaupun hati kecil saya kurang setuju dengan pesanan istri, tapi saya mengiyakan saja dan berjanji hanya akan mengisi Rp 100.000.

BBM Non Subsidi

Sepanjang perjalanan menuju tempat tujuan, saya melihat harga BBM non-subsidi di beberapa SPBU. BBM non-subsidi yang saya sebutkan ini adalah setara Pertamax yang dijual Pertamina. SPBU Pertamina menjual dengan harga Rp 10.000 per liter. SPBU Shell dan Total menjual dengan harga Rp 9.950 per liter. Oh rupanya Pertamina sudah menurunkan harga Pertamaxnya dari Rp 10.200 ke Rp 10.000 per liter.

Kalau dihitung-hitung harga BBM non-subsidi itu harganya lebih dari dua kali harga BBM bersubsidi. Artinya dengan uang yang sama, saya hanya mendapatkan kuantitas BBM kurang dari separo bila saya membeli BBM bersubsidi.

Perasaan bimbang pun mulai merasuki jiwaku. Hati kecil berkata bahwa tidak seharusnya saya membeli BBM bersubsidi walaupun mobil yang saya gunakan bukan termasuk mobil mewah. Tapi di sisi lain, ada amanah dari istri untuk membeli BBM bersubsidi saja karena memang masih boleh membeli dan harganya pun jauh lebih murah. Akhirnya saya mulai melakukan perhitungan. Jika saat ini BBM sekelas Pertamax harganya Rp 10.000, maka bila Premium tidak disubsidi harganya, kemungkinan harga Premium adalah Rp 9.000. Saya mengambil angka Rp 9.000 hanya perkiraan tanpa dasar hitung-hitungan yang rumit.

Nah, jika harga Premium sebenarnya seharga Rp 9.000, dan saya membeli dengan harga Rp 4.500, maka secara langsung (bukan secara tak langsung) pemerintah mensubsidi saya sebesar Rp 4.500 per liter Premium yang saya beli. Jika saya membeli Premium Rp 100.000, pemerintah memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada saya sebesar Rp 100.000. Padahal saya tidak memiliki hak untuk menerima BLT saat ini.

Atas dasar itulah saya pun akhirnya memutuskan untuk membeli BBM non-subsidi walaupun harus melanggar amanah istri. Saya memilih membeli di SPBU Shell karena lebih murah lima puluh rupiah per liternya, dapat menggunakan kartu kredit tanpa kena surcharge, dan juga lebih dekat dari rumah. Sebenarnya Shell dan Total sama, namun karena Shell lebih dekat aku lebih memilihnya. Untuk Pertamina tidak saya pilih karena selain lebih mahal, sepengetahuan saya membeli BBM di SPBU Pertamina jika menggunakan kartu kredit terkena surcharge beberapa persen. Semoga Pertamina sudah lebih baik sekarang.

Ketika saya mengisi BBM non-subsidi di Shell, di saat yang sama ada tujuh mobil lagi yang sama-sama saya mengisi di SPBU tersebut. Mobil yang ada pun macam-macam. Ada Nissan March, Toyota Yaris, Honda CRV, Mercedez Benz, bahkan ada mobil Fiat Uno tahun 90-an yang juga mengisi BBM di situ. Beberapa sepeda motor pun saya lihat juga mengisi di SPBU tersebut. Saya senang melihat orang-orang tersebut mengisi BBM non-subsidi, apalagi saya memberikan penghargaan kepada pemilik Fiat Uno yang mau-maunya mengisi BBM non-subsidi padahal kita sama-sama tahu bahwa mobil lama biasanya memakai Premium karena alasan dari pemilik mobil yang bilang spesifikasi mesinnya cocok dengan bensin Premium.

Saat ditanya oleh petugas SPBU mau mengisi berapa, saya bilang kepadanya isi sampe terdengar bunyi “cetek”. Artinya isi sampai hampir penuh. Saat itu posisi indikator bensin saya sudah semakin mendekati E bahkan lampu indikator “Low Fuel” sudah menyala sejak hampir satu jam lalu saat saya masih melakukan perjalanan. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya bunyi “cetek” terdengar, dan saya melihat di layar pompa bensin sudah lebih dari 37 liter sudah digelontorkan ke mobil saya. Saya pun tercengang dengan harga yang harus saya bayar, yaitu Rp 377.044. Ini adalah rekor tertinggi pembelian BBM bagi saya. Biasanya saya membeli BBM hanya Rp 100 – 200 ribu. Saya belum pernah membeli BBM non-subsidi langsung dari hampir E ke hampir F seperti ini. Betul-betul membuat saya terkejut!

Saya pun berjalan ke kasir dan membayar dengan kartu kredit yang saya miliki.

Begitu sampai rumah, saya langsung melaporkan dosa kepada istri karena melanggar amanahnya. Istri saya pun kaget melihat pembelian sampai hampir Rp 400 ribu tersebut. Dia bilang, “Wah mahal banget, kenapa gak isi Premium aja, kan lebih murah!” Saya bilang, “Gak enak ah disubsidi, setiap rupiah yang kita keluarkan kalau beli Premium kan Pemerintah mengeluarkan rupiah yang sama. Gak enak.” Kemudian istri bilang, “Biarin aja, kan kita udah bayar pajak.”

Persepsi istri saya ada benarnya.

Pemerintah saat ini tidak dapat memberikan kenyamanan lebih bagi pembeli BBM non-subsidi yang tentunya telah menolong pemerintah mempertahankan APBN tidak defisit. Tapi tidak ada timbal balik dari pemerintah terhadap para pembeli BBM non-subsidi ini. Yang terjadi adalah, pembeli BBM non-subsidi dan pembeli BBM subsidi mendapatkan fasilitas yang sama di jalan raya dari pemerintah. Yaitu sama-sama merasakan kemacetan yang luar biasa. Lalu apa untungnya membeli BBM non-subsidi kalau begitu? Apa cuma karena mesin lebih terawat? Ya bisa juga, tapi itu kan jangka panjang yang tidak dirasakan langsung, kecuali oleh mobil-mobil super mewah yang menggunakan Premium.

Hari ini saya tidak mengambil Bantuan Langsung Tunai yang diberikan pemerintah kepada saya karena saya merasa tidak berhak. Hari ini saya pun gembira melihat masih banyak orang yang sadar untuk tidak mengambil Bantuan Langsung Tunai yang diumbar pemerintah di SPBU-SPBU Pertamina. Hari ini saya pun melanggar amanah istri saya.

Saya telah melaksanakan imbauan pemerintah untuk tidak menggunakan BBM bersubsidi. Sekarang saya minta ke pemerintah, apa yang anda bisa lakukan kepada saya dan orang-orang yang telah menggunakan BBM non-subsidi agar memiliki kenyamanan yang lebih daripada yang menggunakan BBM bersubsidi? Pemerintah, apakah anda sudah punya rencana kepada kami-kami ini? Kami sudah berkorban, lalu apa timbal balik kepada kami? Mudah-mudahan pemerintah sudah ada rencana nyata yang sebentar lagi akan diwujudkan. Saya hanya bisa berharap.

Semoga harapan itu masih ada! {nice1}

Gambar diambil dari http://infotaksi.files.wordpress.com/2010/11/harga-bbm-pertamina.jpg

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *