Tanggal 9 Mei 2012 adalah tanggal yang tidak akan dilupakan oleh seluruh keluarga korban Sukhoi. Bagaimana tidak, yang tadinya naik pesawat untuk senang-senang dan kembali dengan cerita untuk keluarga, malah menjadi bencana yang menewaskan seluruh penumpang dan awak yang ada di pesawat tersebut. Sampai saat ini penyebab resmi kecelakaan pesawat masih belum dipublikasikan, namun sudah banyak analisa-analisa tentang kemungkinan yang menjadi penyebab kecelekaan tersebut.
Saya tidak akan membahas mengenai kecelakaan Sukhoi, namun saya lebih tertarik terhadap besarnya ganti rugi yang harus diberikan pihak penyelenggara angkutan untuk setiap korban jiwa yang terlibat dalam kecelakaan tersebut. Bagaimana tidak, besarnya asuransi kecelakaan adalah minimal sebesar Rp 1.250.000.000 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per penumpang.
Darimana angka sebesar itu didapat? Peraturan Menteri Perhubungan No 77 Tahun 2011. Secara spesifik ada di Pasal 3 ayat a, yang berbunyi (saya kutip dari naskah aslinya):
“penumpang yang meninggal dunia dalam pesawat udara karena akibat kecelakaan pesawat udara atau kejadian yang semata-mata ada hubungannya dengan pengangkutan udara diberikan ganti kerugian sebesar Rp 1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per penumpang;”
Wow, Rp 1,25 Miliar! Angka yang bagi kebanyakan orang sangat besar! Bahkan menurut saya angka tersebut sangat besar karena saya belum pernah tahu rasanya punya uang sebesar itu.
Memang mungkin uang sebesar itu tidak dapat menggantikan nyawa orang tersayang yang hilang karena kecelakaan tersebut. Tapi paling tidak ahli waris korban kecelakaan tersebut tidak langsung jatuh miskin karena kecelakaan tersebut. Bahkan ada beberapa perusahaan yang memberikan santunan berupa pendidikan gratis kepada sang anak yang merupakan ahli waris, padahal uang ganti ruginya pun belum keluar.
Sekarang bandingkan dengan kecelakaan angkutan darat!
Belum ada peraturan Menteri Perhubungan mengenai ganti rugi kecelakaan angkutan darat. Satu-satunya aturan mengenai ganti rugi kecelakaan adalah santunan dari Jasa Raharja yang didasarkan pada empat aturan, yaitu UU No 33 & 34 Tahun 1964, Peraturan Menteri Keuangan RI No 36/PMK.010/2008 dan 37/PMK.010/2008 dengan besaran santunan korban meninggal dunia sebesar Rp 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah).
Ada juga beberapa perusahaan angkutan darat yang menetapkan ganti rugi yang lebih besar dari Rp 25.000.000 jika terjadi kecelakaan yang menyebabkan korban meninggal dunia. Namun biasanya besarannya maksimal sebesar Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah).
Dua puluh lima juta atau sampai seratus juta adalah angka yang cukup besar. Tapi siapa pun tahu itu jauh sekali di bawah angka satu miliar. Oleh karena itu tidak heran, jika kecelakaan angkutan darat merupakan salah satu penyebab kemiskinan di Indonesia. Bagaimana tidak, jika yang terlibat kecelakaan adalah kepala keluarga yang menjadi tulang punggung ekonomi keluarga, maka dengan meninggalnya kepala keluarga, tidak ada lagi yang menjadi sumber ekonomi keluarga. Santunan yang diberikan pun, katakanlah dua puluh lima juta rupiah, hanya sanggup untuk menghidupi keluarga tersebut selama beberapa bulan. Sehabis itu apa?
Kecelakaan angkutan darat dapat kita saksikan sehari-hari. Mulai dari kecelakaan angkutan pribadi dengan pribadi, angkutan pribadi dengan umum, bahkan angkutan umum dengan umum. Dan jika dilihat secara jangka waktu tertentu, katakanlah satu tahun, maka jumlah korban meninggal dunia akibat kecelakaan angkutan darat cukup tinggi. Artinya ada potensi penambahan keluarga miskin sebesar jumlah korban kecelakaan tersebut setiap tahunnya.
Lalu kenapa tidak dikeluarkan saja Peraturan Menteri Perhubungan untuk angkutan darat? Malah kalau perlu dikeluarkan juga untuk angkutan laut! Kenapa hanya angkutan udara yang diberikan keistimewaan untuk memperoleh ganti rugi yang sangat besar?
Terus terang saya tidak tahu alasan pastinya. Namun mari kita bicara fakta!
Sebelum kecelakaan yang menimpa Sukhoi di bulan Mei lalu, kapankah terakhir kali kita mendengar adanya kecelakaan pesawat penumpang komersil yang menarik perhatian media? Mungkin hanya peristiwa Adam Air di tahun 2007. Peristiwa setelahnya, yaitu peristiwa Garuda tergelincir di tahun yang sama, kecelakaan Merpati di Papua Barat tahun 2011, dan kecelakaan Nusantara Buana di Sumatera Utara juga di tahun 2011 kurang menjadi perhatian khalayak. Artinya, sepanjang tahun 2007 – 2012 sebelum terjadinya tragedi Sukhoi, hanya ada empat kecelakaan pesawat komersil yang menewaskan penumpangnya.
Bandingkan dengan jumlah perjalanan pesawat setiap harinya. Saya tidak tahu persis berapa jumlah perjalanan pesawat setiap harinya. Namun jika dilihat di website ini, di tahun 2010 saja sudah ada sekitar 100 juta penumpang yang dilayani pesawat. Dengan mengambil asumsi setiap penerbangan memberangkatkan rata-rata 50 orang penumpang, maka ada 2 juta perjalanan pesawat setiap tahunnya. Dari 2 juta perjalanan per tahunnya, hanya ada empat kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia dalam kurun waktu empat tahun. Artinya ada satu kecelakaan yang menimbulkan korban jiwa per dua juta perjalanan, atau setengah ppm (part per million).
Bagaimana dengan perjalanan darat?
Saya belum menemukan datanya, tapi kalau dilihat dari website ini, di Amerika Serikat tingkat kecelakaan yang mengakibatkan korban jiwa adalah satu setengah per 100 juta mil jarak tempuh kendaraan. Jika kita ambi asumsi rata-rata kita mengendarai kendaraan sekitar 5 mil atau 8 km per hari (4 km per perjalanan), maka dalam setiap 13 juta perjalanan ada satu setengah kecelakaan yang menyebabkan korban jiwa. Atau dalam 9 juta perjalanan kendaraan darat setiap harinya, ada satu kecelakaan yang menyebabkan korban meninggal dunia. Masalahnya, 9 juta perjalanan darat hanya perlu ditempuh kurang dari satu hari. Buktinya, di Jakarta saja jumlah mobil dan motor yang terdaftar sudah lebih dari 10 juta kendaraan. Perjalanan 8 km per hari, atau kurang lebih 3000 km per tahun adalah hal yang mudah bagi setiap kendaraan yang ada di Indonesia. Oleh karena itu tidak aneh bahwa kecelakaan angkutan darat terjadi hampir tiap harinya.
Menarik untuk disimak data di atas. Dari data tersebut berarti bisa dilihat bahwa naik mobil di Indonesia lebih aman daripada naik pesawat di Indonesia. Apakah memang begitu?
Belum tentu juga! Data pesawat yang saya ambil kan data aktual Indonesia dari sejak tahun 2007 hingga 2011. Sedangkan data angkutan darat yang saya ambil adalah data dari Amerika yang terjadi di tahun 2000-an.
Mari kita bandingkan dengan data yang ada di Indonesia. Kalau dilihat dari sumber ini, korban kecelakaan angkutan darat di Indonesia setiap tahunnya sekitar 32 ribu orang. Artinya hampir 90 orang meninggal setiap harinya karena kecelakaan lalu lintas. Dengan asumsi jumlah kendaraan di Indonesia secara keseluruhan berjumlah 75 juta kendaraan, maka akan ada 110 miliar kilometer perjalanan setiap tahunnya yang menyebabkan korban tewas 32 ribu. Jika rata-rata satu kecelakaan fatal melibatkan 3 orang, maka ada 11 ribu kecelakaan yang menimbulkan korban tewas terjadi tiap tahunnya. 11 ribu kecelakaan fatal dibandingkan 110 miliar kilometer perjalanan artinya ada satu kecelakaan yang menimbulkan korban jiwa per 10 juta km perjalanan. Dengan asumsi satu perjalanan kendaraan adalah 4 km, artinya ada satu kecelakaan yang menimbulkan korban jiwa per 2,5 juta perjalanan, atau sekitar dua kecelakaan per lima juta perjalanan atau nol koma empat ppm (part per million)
Loh, rupanya tingkat resiko kecelakaan angkutan darat dengan angkutan udara di Indonesia tidak terpaut jauh. Lalu kenapa asuransinya dibedakan hingga puluhan kali lipat seperti itu? Sebagai perbandingan, dalam lima kecelakaan pesawat terbang sejak peristiwa Adam Air hingga Sukhoi, korban meninggal sekitar 200 orang. Kecelakaan angkutan darat adalah 32 ribu per tahun atau jika dirunut dari tahun 2007, maka ada sekitar 120 ribu jiwa menjadi korban kecelakaan lalu lintas. Angka yang hampir 1000 kali lipat dari jumlah korban meninggal dunia karena kecelakaan pesawat.
Lalu kenapa pemerintah tidak mengambil kebijakan yang mengutamakan pemakai jalan darat? Misalnya dengan menaikkan ganti rugi kecelakaan. Dengan demikian pihak-pihak yang berkepentingan akan sangat menjaga mengenai keselamatan perjalanannya. Pemerintah, pengusaha angkutan, supir, dan penumpang pun akan sangat memperhatikan keselamatan jika memang besarnya ganti rugi yang ditetapkan dinaikkan, atau paling tidak, perbedaannya jangan sampai puluhan kali lipat dibandingkan dengan asuransi perjalanan udara.
Coba bayangkan, jika saja ada Peraturan Menteri yang menetapkan bahwa setiap ada kecelakaan lalu lintas angkutan darat, maka pengusaha angkutan wajib memberikan ganti rugi jika ada korban meninggal dunia sebesar katakanlah Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah), maka akan ada 32 ribu rumah tangga yang selamat dari kemiskinan per tahunnya. Dan yang pasti, pemerintah akan dengan proaktif mengkampanyekan keselamatan berkendara dan sangat ketat dalam pemberian ijin KIR ataupun trayek angkutan umum karena tidak akan mau terlalu banyak keluar uang yang begitu besar untuk ganti rugi karena kecelakaan.
Jika pemerintah saja berani menerapkan tetapan ganti rugi yang sangat besar untuk angkutan udara, kenapa untuk angkutan darat, yang memiliki tingkat resiko yang tidak berbeda jauh di negara ini, tidak mau menetapkan ganti rugi yang seimbang, atau hanya beberapa kali lipat lebih rendah daripada ganti rugi angkutan udara. Memangnya ada apa dengan penumpang pesawat? Apakah karena penumpang ini membayar lebih mahal? Tidak juga! Tiket Jakarta-Surabaya dengan pesawat dapat kurang dari Rp 200 ribu per trip. Sedangkan tiket yang sama dengan kereta api eksekutif (kenyamanan yang sama dengan pesawat) bisa lebih dari Rp 200 ribu per trip. Artinya dari segi tiket pun tidak lebih mahal bila menggunakan pesawat.
Lalu kenapa harus begitu jomplang ganti ruginya? Ingat loh, resikonya untuk negara Indonesia tercinta ini relatif sama. {nice1}