PRJ, Cerminan Semrawutnya Transportasi Jakarta

Sebagai orang Jakarta tentunya kita pernah ke PRJ minimal sekali seumur hidup. Kita juga tahu PRJ sekarang letaknya di Kemayoran dengan area yang sangat luas. PRJ juga merupakan tempat pameran yang besar, bahkan mungkin lebih besar dari JCC yang ada di Senayan.

Tapi tahukah anda bahwa setiap ada perhelatan PRJ situasi lalu lintas di sana selalu semrawut? Bagi yang ke PRJ di hari biasa, mungkin situasi semrawut tidak terlalu kentara, namun bagi yang ke PRJ di hari libur, mungkin situasi PRJ dapat membuat kapok datang lagi ke sana. Itu karena untuk keluar dari parkiran menuju jalan raya di hari libur atau akhir pekan, dapat membutuhkan waktu hingga 2 jam, bahkan lebih!

Sebenarnya kesemrawutan PRJ bukan terjadi baru-baru saja. Hal tersebut sudah terjadi sedemikian lama selama bertahun-tahun. Yang paling kini, mungkin bagi yang ingat ketika ada konser java jazz di area ini beberapa bulan lalu. Betapa banyak pengunjung yang mengeluh mengenai parkir di tempat tersebut?

Sebenarnya masalah kesemrawutan parkir dan kemacetan di tempat parkir dapat diatasi dengan pengadaan angkutan umum yang aman dan nyaman ke arah PRJ. Saya memang sudah lama tidak ke PRJ naik angkutan umum. Namun saya memiliki pengalaman ke PRJ naik angkutan umum beberapa tahun lalu. Saat itu saya ke PRJ dari kantor saya di daerah Gatot Subroto. Saya pun naik busway ke arah Sawah Besar, dan dilanjutkan dengan naik mikrolet dan kopaja dan diakhiri berjalan kaki beberapa ratus meter karena kebetulan saya tidak mendapatkan angkutan umum yang lewat langsung depan pintu masuk PRJ.

Saat itu saya ke PRJ naik angkutan umum karena keluarga besar saya ke PRJ pada hari biasa dan hanya saya yang tidak berangkat dari rumah. Jadi dengan naik angkutan umum, saya pun dapat bertemu keluarga besar di PRJ dan pulangnya saya nebeng mobil keluarga dari PRJ. Saat itu di hari biasa, beberapa tahun lalu, keluar dari parkir PRJ membutuhkan waktu sekitar setengah jam.

PRJ saat itu dengan PRJ saat ini mungkin tidak banyak berubah. Saat itu, ketika PRJ berlangsung dan ada mobil yang parkir di luar tempat parkir resmi PRJ, maka pemilik mobil diwajibkan membayar parkir sangat mahal yang mungkin tidak masuk akal. Demikian juga dengan tukang dagangan yang berkeliaran di luar area PRJ akan mendagangkan barang dagangannya lebih mahal daripada harga bintang lima namun dengan kualitas setara kaki lima. Itu bukan mengada-ada, tapi kenyataan. Kalau dulu saat kecil ketika datang ke PRJ saya selalu menyempatkan beli kerak telur, namun sudah dalam beberapa PRJ yang saya datangi saya tidak membeli makanan tersebut karena memang harganya sudah tidak masuk akal lagi.

Akhirnya, PRJ, yang seharusnya jadi perayaan warga Jakarta setahun sekali, menjadi bencana terbesar bagi warga Jakarta, karena harus menghadapi premanisme secara nyata yang memang tidak ada niatan dari penyelenggara maupun pemerintah untuk mengubah image mengenai PRJ selama bertahun-tahun. PRJ berubah jadi ajang para preman memanen uang, karena memang kesemrawutan lalu lintas dan transportasi yang tidak ada ujungnya dan terjadi setiap hari selama PRJ berlangsung dan paling parah ketika akhir pekan atau hari libur menjadi lahan mereka untuk meraup keuntungan dengan cara memberikan harga mahal atau tidak dapat fasilitas parkir, atau tidak dapat menikmati jajanan pasar.

Sebagai pemerhati transportasi publik, saya menyarankan alangkah baiknya jika PRJ memiliki angkutan umum khusus menuju kesana dari berbagai titik. Angkutan umum yang saya maksud setara dengan fasilitas busway. Angkutan umum ini harus mampu mengangkut warga sebanyak pengunjung PRJ per harinya. Tentunya dengan adanya angkutan umum yang nyaman, warga Jakarta pun memiliki alternatif angkutan untuk menuju PRJ. Saat ini, terus terang saja, bagi keluarga Jakarta yang memiliki mobil, datang ke PRJ dengan mobil merupakan satu-satunya alternatif. Naik taksi sangat mahal, angkutan umum yang ada tidak ada yang nyaman dan aman, apalagi bagi yang bawa anak kecil atau bayi. Dengan tidak memiliki alternatif lain, maka warga Jakarta dipaksa untuk menerima kondisi PRJ apa adanya (yang tidak ada perbaikan nyata dalam bertahun-tahun) atau tidak usah datang ke PRJ yang tentunya merugikan bagi tenant yang sewa tempat ataupun penyelenggara PRJ.

Mungkin saja banyak orang berpikir bahwa itulah tradisi kota Jakarta yang harus dihadapinya setiap tahun. Mirip seperti yang terjadi pada akhir pekan di puncak maupun Bandung. Banyak orang hanya pasrah! Padahal untuk kondisi PRJ, pemerintah sangat bisa melakukan aksi perbaikan untuk rekayasa arus lalu lintas dan penyediaan angkutan umum yang nyaman, minimal ketika acara PRJ berlangsung.

Bayangkan berapa banyak potensi kedatangan warga Jakarta ke PRJ jika angkutan umum yang aman dan nyaman disediakan?

Saya jadi ingat ketika liburan di Singapura dua tahun lalu. Kebetulan saat itu di Singapura sedang ada pameran mirip seperti pameran komputer di Jakarta yang diselenggarakan di JCC. Hari biasa saja, pengunjung ke pameran tersebut sangat padat. Di akhir pekan sangat sangat padat, bahkan untuk jalan saja sulit. Di Jakarta, memang pameran serupa juga penuh pengunjung, namun kita lebih melihat jalan menuju arah pameran macet dan tersendat daripada kita melihat pamerannya dipenuhi sesak orang. Di Singapura, sama sekali tidak terlihat bahwa jalan menuju tempat pameran macet. Itu disebabkan oleh begitu banyak cara menuju tempat pameran tersebut di sana. Bisa pakai mobil sendiri, bisa pakai bus, bisa juga pake MRT. Bahkan tempat pameran tersebut terkoneksi dengan mal dan MRT lewat lorong bawah tanah. Padatnya pengunjung dapat dilihat dari mulai lorong bawah tanah tersebut. Jadi bayangkan, berapa banyak orang yang berkunjung ke tempat tersebut? Ingat, jalan saja sangat sulit.

Pulang dari pameran, kesulitan yang dihadapi hanyalah menunggu bus yang kosong. Karena begitu bus datang (tepat waktu), langsung diserbu ratusan orang yang sedang menunggu di halte. Ada taksi jika ingin cepat. Ada pula MRT jika ingin jalan agak jauh. Paling tidak, ada alternatif bagi warga untuk menuju dan keluar dari tempat pameran tersebut. Adanya alternatif membuat lebih banyak warga mengunjungi tempat tersebut. Transaksi lebih banyak terjadi, penyelenggara semakin untung. Penyewa stand pun untung. Semua senang.

Kenapa cara yang ada di Singapura tidak diterapkan disini ya? Masa pemerintah takut ama preman? Pemerintah apaan tuh? {nice1}

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *