FB for DKI-1

Tergerak oleh tulisan @pandji “Gimme5” yang kutipan tulisannya berbunyi :

“Saya menolak untuk diam. Saya menolak untuk bungkam. Saya mendukung Faisal Basri dan saya bangga akan pilihan saya.”

Saya pun akhirnya menulis tentang Calon Gubernur DKI Jakarta pilihan saya. Iya, saya berencana memilih FB (Faisal Basri, bukan Fauzi Bowo) saat Pilkada DKI Jakarta 11 Juli 2012 nanti.

Kenapa saya memilih FB (ingat FB di tulisan ini adalah Faisal Basri, bukan Fauzi Bowo) sebagai DKI-1? Alasannya mudahnya seperti ini. Saya sudah muak dengan kondisi Jakarta dengan masalah-masalahnya. Program yang ditawarkan FB pas dengan akal sehat saya, dan dia bukan berasal dari partai politik, sehingga tidak ada politik balas budi jika dia terpilih jadi DKI-1 nanti.

Alasan agak njelimetnya seperti ini.

FB ini adalah salah satu calon yang saya pernah lihat orangnya secara langsung. Dua lagi adalah Ahok dan Foke. FB saya kenal sejak jaman reformasi 1998 ketika dia memberikan dukungan kepada mahasiswa (dan saya masih mahasiswa saat itu) untuk menjatuhkan Presiden Soeharto. Kesan pertama saya kepada FB saat masih mahasiswa adalah FB ini orangnya angkuh (loh kok angkuh mau dipilih jadi Gubernur?)

Itu kesan saya, bahkan saat saya lihat langsung orangnya ketika dia menjadi dosen tamu mata kuliah yang saya ambil ketika S2 lalu, kesan tersebut tidak hilang serta merta. Namun saya suka dengan pemikirannya. Sejak itu saya suka membaca tulisan-tulisannya terutama di koran Kompas, walaupun kadang saya tidak mengerti isi dari tulisannya.

Bahkan ada kejadian yang menurut saya lucu. Ketika FB menjadi dosen tamu mata kuliah saya ketika S2, dia sempat terlambat datang. Seharusnya dia datang pukul 7 malam, eh dia baru nongol pukul 8 lewat. Beberapa mahasiswa termasuk saya agak kesal karena dengan demikian kami harus pulang lebih malam karena si dosen tamu telat. Sehabis memberikan kuliah tamu, FB pun keluar ke parkiran kampus ditemani dosen saya. Setelah mengikuti dosen saya yang mengantarkan FB ke mobilnya, dosen saya bercerita bahwa alasan sebenarnya FB telat adalah karena yang bersangkutan ketiduran dan baru sadar ketika dosen saya tersebut menelponnya untuk konfirmasi. Lagi-lagi bukan contoh yang baik dari seorang FB :).

Namun bukan itu yang akan saya ceritakan. Yang saya akan ceritakan adalah merk mobil yang digunakan FB saat menjadi dosen tamu. Dia menggunakan Nissan Grand Livina. Apa maksud dari memberitahukan merk mobilnya? Artinya dia adalah orang golongan menengah untuk ukuran Jakarta. Golongan menengah artinya sama dengan saya. Mobil yang saya gunakan saat ini adalah Honda Jazz. Mertua saya pakai Nissan Grand Livina. Ibu dan kakak saya pakai Chevrolet Kalos dan Honda CRV lama. Adik saya pakai Nissan Grand Livina. Kakak ipar saya yang satu pakai Toyota Kijang Kapsul dan yang satu lagi pakai Toyota Avanza. Artinya dari mobil yang kami pakai, kami berasal dari satu golongan, yaitu golongan menengah.

Hal itu pun terbukti dari total kekayaan FB yang diverifikasi KPK dalam rangka dia mencalonkan diri jadi DKI-1. Total kekayaannya hanya Rp 4,2 Miliar. Angka itu mungkin adalah angka yang cukup besar. Tapi coba diperhatikan. FB mungkin sudah bekerja sekitar 20 tahun sebagai dosen. Dia bukan sembarang dosen, tapi dosen yang cukup populer dan banyak menyumbangkan tulisan-tulisan seperti yang biasa saya baca di koran Kompas. Jika dibandingkan dengan perusahaan swasta, maka FB ini mungkin saat ini sudah mencapai level Senior Manager. Kekayaan seorang Senior Manager sebesar hampir Rp 5 Miliar adalah hal yang lumrah. Silakan saja bandingkan dengan calon lain. Ada yang kekayaannya yang mencapai Rp 59 Miliar. Jelas calon yang satu ini bukan berasal dari golongan menengah, sehingga tidak pernah merasakan sendiri masalah yang biasa dihadapi orang golongan menengah seperti saya yang hidup di Jakarta.

Dengan berasal dari golongan yang sama, tentunya FB pun merasakan permasalahan Jakarta dari kacamatanya yang mungkin sama dengan kacamata saya. Jika berbeda, paling hanya berbeda sisi melihatnya. Sebagai orang golongan menengah, tentunya FB tahu apa saja yang perlu diperbaiki di Jakarta karena dia juga merasakan hal yang sama. Maka itu tidak aneh program-program yang ditawarkan mengena dengan akal sehat saya. Bahkan untuk program mengatasi kemacetannya, mirip dengan tulisan saya disini.

FB adalah calon independen yang tidak berafiliasi dengan partai politik manapun. Dengan kekayaan hanya Rp 4.2 Miliar tidak mungkin dia “membeli” suara warga Jakarta. Bisa saja dia dibiayai oleh cukong, namun dia bersikeras bahwa tidak ada cukong tertentu yang membiayainya. Okelah, dengan modal kampanye yang dikabarkan hanya sampai Rp 15 Miliar, maka tidak mungkin FB disetir oleh seorang cukong. Cuma Rp 15 Miliar gitu loh, gak besar-besar amat, apalagi buat “membeli” seorang Gubernur DKI Jakarta yang mengendalikan uang triliunan rupiah per tahunnya.

Tagline yang ditawarkan FB dalam kampanyenya adalah “Berdaya Bareng-Bareng”. Tagline ini seakan menawarkan kepada warga Jakarta bahwa ketika dia terpilih nanti, maka ia akan mengajak warga Jakarta untuk turut berdaya membangun dan memelihara Jakarta. Bandingkan dengan tagline dari calon lain yang seakan-akan membuat warga Jakarta hanya sebagai Obyek jika dia berhasil dipilih nanti. Seakan-akan macet dan banjir akan hilang dari kota Jakarta tanpa usaha apa pun dari warga Jakarta. Jelas itu tidak mungkin! Macet dan banjir baru bisa hilang jika ada kepedulian dari warga Jakarta. Dan untuk mendapatkan kepedulian warga, tentunya harus ada program yang melibatkan warga. Bukan proyek miliaran untuk kepentingan sesaat, lalu beberapa minggu atau bulan kemudian, kembali seperti sedia kala.

FB, selain juga incumben, merupakan calon yang sudah siap sejak sebelum bergulirnya pilkada DKI Jakarta. Dia mendeklarasikan dirinya untuk menjadi DKI-1 sejak awal tahun 2011. Kemudian dia memilih pasangannya, Biem, hampir di akhir 2011. Bandingkan dengan calon lain. Dulu kita mengenal calon DKI-1 dari partai politik bukan yang diusung saat ini. Calon yang ada saat ini adalah calon tiba-tiba. Tidak ada kesiapan apa pun dalam memimpin DKI Jakarta selain memang pengalamannya dalam memimpin daerah. Pernah di sebuah acara televisi beberapa calon disajikan dua makanan dan satu minuman tradisional betawi. Ketika ditanya oleh presenter televisi tersebut nama makanan dan minuman yang disuguhkan, maka calon tiba-tiba ini menjawab salah :).

Lalu bagaimana dengan pendapat kalau FB ini hanyalah seorang dosen yang tidak pernah memimpin suatu daerah, maka apa jaminannya jika ia terpilih nanti dia akan mampu memimpin DKI Jakarta, ibukota negara Indonesia? Pengalaman dia kan hanya teori. Dan biasanya teori jauh sekali dari praktek lapangan.

Tidak ada jaminan bahwa FB ini mampu memimpin Jakarta dengan baik jika terpilih nanti. Namun paling tidak kita dapat jaminan bahwa tidak ada balas budi politik untuk mengusung FB jadi Gubernur. Hutang FB hanya kepada warga yang saweran untuk dirinya. Hutang tersebut harus dibayar dalam bentuk pelayanan. Ingat, pelayanan, bukan proyek!

Kalau memilih FB, kenapa tidak memilih calon lainnya sesama independen?

Tidak tahu, saya tidak sreg aja dengan calon independen yang satu lagi. Pernah suatu ketika di televisi, dia ditanya secara santai oleh calon lain tentang langkah-langkah yang akan dilakukannya untuk memberantas “kumis”. Jawaban dari calon tersebut sungguh aneh. “Saya baru kasih tau langkah saya jika saya sudah terpilih jadi Gubernur.” Betul-betul jawaban yang aneh!

Jadi, warga Jakarta. Gunakan hak pilihmu dengan cerdas!

Calon lain mungkin lebih populer. Calon lain mungkin lebih berpengalaman. Calon lain mungkin lebih hebat menarik simpati warga. Malah mungkin anda sebagai warga Jakarta memilih calon Gubernur karena kedekatan emosional. Kedekatan karena agama, karena kesukuan, karena hutang budi atau malah hanya karena suka dengan pencitraannya. Boleh-boleh saja memilih karena hal-hal tersebut. Tapi ingat, kita tidak mau macet terus menerus menghiasi kehidupan kita. Kita tidak mau banjir datang kembali setiap waktui. Kita tidak mau harus terus menerus membayar lebih untuk mendapatkan pelayanan yang standar.

Faisal Basri mungkin belum tentu bisa melakukannya semua secara sempurna jika terpilih nanti. Tapi yang pasti, Faisal Basri merupakan orang golongan menengah seperti kita (saya katakan kita, karena bagi anda yang membaca tulisan saya ini maka paling tidak anda berasal dari golongan menengah). Dia pernah merasakan seperti yang kita rasakan. Dia pernah merasakan tidak enaknya macet. Dia pernah merasakan tidak enaknya banjir. Dia pernah merasakan tidak enaknya jika mengurus sesuatu harus diping-pong sana sini sampai kita membayar lebih. Jadi, jika kita sudah bernasib sama, kenapa tidak memilih calon yang akan memperjuangkan keinginan kita? Mengapa kita harus menggantungkan Jakarta kepada orang-orang yang memiliki beking partai politik yang kita kenal sendiri partai politik saat ini itu korup, apa pun partainya.

Saya ingat pengalaman saya tahun 2004 ketika pilpres. Saya tidak suka dengan Megawati sehingga saya memilih calon lain (termasuk memilih SBY di putaran kedua). Tahun 2009 ketika pilpres berikutnya, saya tidak suka dengan SBY dan memilih calon lain. Tahun 2007 saya tidak ikutan pilkada DKI karena belum punya KTP DKI. Tahun 2012 ini, saya sudah punya KTP DKI. saya punya kesempatan memilih. Saya pun akan memilih calon Gubernur karena menurut saya dia yang terbaik dan bukan lagi karena saya tidak suka dengan calon yang lain.

Saya akan memilih Faisal Basri untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta periode 2012 – 2017. Dan saya bangga atas pilihan saya ini. {nice1}

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *