Beberapa hari terakhir ini terbesit kabar bahwa pemerintah berencana memberikan ijin pembangunan jembatan di Laut Bali dan jembatan di Selat Sunda. Kedua jembatan tersebut pastinya menelan biaya triliunan rupiah dan nantinya kedua jembatan tersebut berfungsi sebagai jalan tol bagi para penggunanya. Jembatan serupa yang pernah dibuat adalah Jembatan Suramadu yang menghubungkan antara pulau Jawa dengan pulau Madura. Untuk biaya lewat melalui jembatan Suramadu, kabarnya sebuah mobil harus membayar Rp 30 ribu dan sebuah motor harus membayar Rp 3 ribu sekali jalan.
Melihat hasil dari pembuatan Jembatan Suramadu adalah lalu lintas yang semakin lancar antara Surabaya dengan Madura. Perekonomian di sekitar jembatan pun semakin marak. Jadi manfaatnya besar bagi perekonomian sehingga memang dibutuhkan jembatan-jembatan serupa untuk menghubungkan pulau-pulau kita agar lalu lintas penumpang dan jalan semakin lancar.
Jembatan Selat Sunda juga sangat vital manfaatnya. Jembatan yang nantinya menghubungkan pulau Jawa dengan pulau Sumatra merupakan jembatan yang nantinya sangat sibuk karena selalu dilewati kendaraan yang bolak-bolak kedua pulau. Jembatan tersebut nantinya akan meningkatkan kepastian waktu tempuh antar pulau Jawa dengan Sumatra, karena selama ini bottle neck perjalanan ada di penyebrangan Merak-Bakaheuni yang sering terhambat.
Jembatan Bali pun tidak kalah strategis. Jembatan yang menghubungkan Bandara Ngurah Rai dengan Nusa Dua merupakan jalur yang strategis. Sebelum ini untuk mencapai Nusa Dua harus melewati jalan padat yang tentunya banyak terdapat hambatan-hambatan di tengah jalan. Dengan adanya jembatan tersebut, lalu lintas dari Bandara ke Nusa Dua seperti memiliki akses pribadi tanpa hambatan.
Namun saya melihat ketidakberpihakan pemerintah kepada angkutan umum dalam pembangunan jembatan-jembatan ini. Mari coba kita lihat pembangunan jembatan Selat Sunda. Saat ini dikondisikan bahwa untuk menyebrang dari Jawa ke Sumatra angkutan lautnya tidak beroperasi optimal. Antrian kendaraan hingga berpuluh-puluh kilometer antri untuk disebrangkan menggunakan kapal dari Pelabuhan Merak ke Pelabuhan Bakahueni. Kondisi ini tidak kunjung selesai karena terjadi bukan hanya di musim-musim sibuk, tapi juga di musim sepi. Keadaan inilah yang akhirnya menimbulkan ide jembatan Selat Sunda agar tidak lagi terjadi antrian kendaraan hingga berpuluh-puluh kilometer.
Padahal sebenarnya kondisi seperti ini dapat diatasi dengan pengaturan lalu lintas penyebrangan yang optimal. Kapal yang melayani dioperasikan dengan optimal. Setiap ada overhaul harus terjadwal dengan baik sehingga tidak sekaligus atau berbarengan setiap kapal melakukan overhaul. Dan yang pasti negara berinvestasi pada kapal-kapal, dermaga dan memperbaiki manajemen angkutan penyebrangan tesebut. Saya rasa investasi tersebut tidak akan sampai ke angka triliunan rupiah, andaikata sampai pun paling tidak akan menyentuh lima triliun rupiah.
Lalu kenapa bukan itu saja yang diperbaiki? Inilah pemerintah kita. Tidak mau repot. Maunya tidak melakukan apa-apa, tidak mengeluarkan uang, tapi mendapatkan pemasukan dari pajak atau retribusi tol atau sejenisnya. Pemerintah kita memang suka menarik uang dari rakyatnya tanpa harus pusing-pusing mikirin operasional angkutan laut agar beroperasi optimal. Jika sudah ada jembatan di Selat Sunda, maka tidak perlu lagi ada pengaturan lalu lintas kapal. Tidak ada lagi yang namanya pengaturan jadwal overhaul. Tidak ada lagi antrian berpuluh-puluh kilometer karena ketidakbecusan manajemen penyebrangan. Semua masalah itu menemui solusi di jembatan Selat Sunda. Hilang sudah tugas pemerintah digantikan dengan jembatan. Pendapatan pun tidak berkurang, karena kemungkinan biaya untuk menyebrang jembatan Selat Sunda tentulah tidak akan banyak berbeda dengan biaya penyebrangan dengan kapal saat ini, mirip seperti penyebrangan di Jembatan Suramadu yang biayanya tidak banyak berbeda dengan biaya penyebrangannya dulu saat masih menggunakan kapal untuk sekali menyebrang.
Sama juga dengan jembatan Bali. Kenapa tidak disediakan saja jalur kereta api sepanjang Bandara ke Nusa Dua. Biayanya pasti lebih murah daripada membangun jembatan yang dipaksakan di sekitar perairan Bali. Kalau tujuannya adalah bandara, pasti yang dituju adalah penumpang. Penumpang akan lebih banyak diangkut jika disediakan jalur kereta api. Sekali lagi ini adalah cara pintas pemerintah untuk menanggulangi kemacetan, antrian, atau lamanya pergerakan orang dan barang di pulau Bali tanpa harus pusing memikirkan rekayasa lalu lintas, pengaturan operasional bus dan kereta api (karena tidak membuat jalur kereta), kenyamanan angkutan umum dan juga fasilitas umum penunjangnya. Semua hal tersebut diserahkan kepada proyek jembatan Bali dengan biaya pembuatan yang mahal dan pada akhirnya pemerintah akan dapat bagian dari pajak dan retribusi karena memang akan ada perekonomian yang berkembang hasil dari pembangunan Jembatan tersebut.
Lalu untuk apa rakyat membayar pajak jika semua infrastruktur besar yang dibangun pada akhirnya rakyat harus membayar lagi untuk menikmatinya? Untuk informasi, lebih dari 50% APBD di Indonesia digunakan untuk membayar gaji Pegawai Negeri Sipil. Hanya kurang dari 10% digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Oleh karena itu tidak aneh jika pemerintah tidak punya uang untuk membangun infrastruktur dan selalu mengandeng investor untuk membangunnya. Biasanya kalau gandeng investor, tentunya di tahun-tahun pertama uang retribusi tersebut masuk lebih banyak ke kantong investor. Itu yang terjadi kepada industri migas di Indonesia. Di tahun-tahun pertama produksi migas, saat produksi lagi besar-besarnya, semua atau sebagian besar pemasukan menjadi milik investor dan pemerintah baru mendapatkan bagian yang besar saat produksi mulai turun.
Hal ini tidak akan jauh beda dengan pembangunan infrastruktur. Prinsipnya sama, tapi mekanismenya saja yang berbeda. Mungkin investor sudah akan mendapatkan pengembalian biaya dalam beberapa tahun pertama sejak beroperasi. Selanjutnya barulah pemerintah kita mendapatkan hasil.
Nah kalau begitu, lalu posisi pemerintah kita itu apa ya? Uang APBN udah sedemikian besar hingga ribuan triliun. Tapi tetap saja tiap pembangunan infrastruktur besar dan kompleks menggandeng investor. Tidak ada uang? Tidak juga! Tidak ada teknologi? Tidak juga! Lalu apa yang tidak ada? Kemauan! Itu yang tidak ada!
Pemerintah kita maunya yang praktis-praktis aja. Mudah mendapatkan uang dari rakyat tanpa harus susah payah mikirin rakyat. Transportasi dan angkutan umum adalah hal yang rumit dan kompleks. Tidak becus mengelolanya, akibatnya bisa berefek domino. Oleh karena itu, pemerintah mencoba melepaskan diri dari mengelola hal yang rumit dan kompleks dengan solusi praktis yang memecahkan semua masalah, paling tidak untuk jangka pendek dan menengah.
Kalau sudah begini, masih percaya bahwa pemerintah sekarang berpihak kepada angkutan umum? {nice1}