Bulan Ramadhan adalah bulannya ibadah. Ibadah termasuk menyalurkan zakat dan sedekah. Potensi zakat dan sedekah ini sangat besar. Bahkan saya pernah baca di salah satu judul artikel berita di sebuah media, bahwa potensi zakat dan sedekah bisa melebihi angka APBN kita. Artinya jumlah uang yang beredar sangat-sangat besar dan cukup menggiurkan untuk orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Apa saja sih bentuk ibadah zakat dan sedekah ini? Setahu saya ada tiga yang besar. Pertama zakat. Kedua sedekah. Ketiga wakaf. Zakat adalah sedekah yang diberikan karena harta seseorang sudah mencapai nisabnya. Nisab harta ini berbeda-beda, tapi untuk pekerja profesional yang saya ketahui nisabnya kira-kira kalau pendapatan gaji kita sebesar Rp 2 juta per bulan (itu yang saya ketahui dari omongan para ustadz, bukan hasil cari-cari referensi). Zakat hukumnya wajib. Dan besar wajibnya hanya 2,5% dari pendapatan bersih (terus terang saya tidak pernah menemukan referensi 2,5% ini baik dari Al-Qur’an maupun Hadist).
Sedekah agak berbeda dengan zakat. Sedekah sifatnya sukarela. Tidak ada nisab-nisaban. Sedekah pun tidak diberikan nilai patokan. Bisa dari seikhlasnya (kasih Rp 1.000 padahal pendapatan Rp 100.000.000) atau sekenyangnya (pada kondisi ekstrim banyak orang yang mensedekahkan seluruh pendapatan atau bahkan hartanya).
Wakaf sekali lagi berbeda dari kedua model sebelumnya. Wakaf ini artinya menahan. Biasanya di Indonesia yang namanya wakaf artinya menyumbang dalam bentuk properti, tanah atau bangunan. Walaupun di masa modern ini bisa juga menyumbang dalam bentuk uang, yang nantinya akan dijadikan properti oleh pengelola wakafnya. Wakaf ini mirip seperti membeli saham di bursa, namun si pembeli saham tidak menikmati dividen atau capital gainnya, melainkan orang-orang yang ditunjuk oleh si pembeli saham atau pengelola saham yang mendapatkannya. Tujuan wakaf adalah memberikan manfaat berkesinambungan agar yang diberikan manfaat wakaf selalu mendapatkan hasilnya tanpa perlu menambah donatur baru. Persis seperti bikin bisnis, begitu bisnis jalan, maka bisnis tersebut bisa menghidupi orang banyak.
Ok, sekarang siapa yang berhak mendapatkan zakat, sedekah dan wakaf? Untuk zakat ada aturannya di Al-Qur’an surah At-Taubah ayat 60. Mereka ini dikenal dengan sebutan 8 asnaf. Mereka itu adalah Fakir, Miskin, Amil (Petugas Zakat), Mualaf (Baru Masuk Islam), Memerdekakan Budak, Orang Berhutang, Fi Sabilillah (Orang yang berjuang di jalan Allah), Ibnu Sabil (Orang yang melakukan perjalanan). Bagaimana dengan sedekah dan wakaf? Sepengetahuan saya tidak ada ketentuan yang jelas mengenai orang-orang yang berhak mendapatkan sedekah atau wakaf. Itu sejalan dengan hukum sedekah dan wakaf yang sifatnya sukarela tapi sangat dianjurkan.
Amil atau petugas pengumpul atau pengelola zakat merupakan salah satu dari 8 asnaf. Di sinilah kemudian timbul profesi sebagai pengumpul uang zakat, bahkan banyak lembaga zakat yang muncul. Itu karena menurut aturan yang ditetapkan, petugas pengumpul dan penyalur zakat berhak menerima zakat itu sendiri. Pertanyaannya berapa persen yang berhak mereka terima?
Itu dia yang saya pun belum mengetahui referensinya. Namun, katakanlah dari 8 asnaf, tiap-tiap asnaf mendapatkan bagian yang sama atau seperdelapan dari jumlah uang atau barang zakat yang dikumpulkan. Seperdelapan itu sama dengan 12,5%. Dan menurut saya itu adalah nilai Cap atau batas atas untuk amil mengambil uang zakat yang diserahkan donatur zakat. Biasanya lembaga zakat itu tidak hanya menerima uang zakat. Lembaga zakat juga menerima sedekah dan wakaf. Berapa yang berhak mereka terima dari sedekah dan wakaf tersebut? Seperti yang saya sebut sebelumnya, tidak ada aturan apa pun, paling tidak yang saya ketahui, mengenai orang-orang yang berhak atau porsi dari petugas pengumpul atau pengelola sedekah dan wakaf. Di sinilah nanti saya akan memiliki pendapat mengenai hal ini.
Zakat itu tujuannya adalah mensejahterakan masyarakat dan membantu masyarakat yang menerimanya dengan seketika. Jika dilihat dari 8 asnaf di atas, penerima zakat adalah orang-orang yang membutuhkan zakat saat itu juga. Lihat saja list di atas, semua hal tersebut adalah hal-hal mendesak yang harus langsung diberikan bantuan. Contoh Fakir. Jika tidak segera diberikan zakat, mungkin hidupnya semakin melarat atau malah kelaparan. Contoh lain Orang Berhutang. Jika tidak segera diberikan zakat, maka bisa saja ia stres, bunuh diri, atau mungkin dianiaya oleh si pemberi hutang. Artinya di sini, zakat digunakan untuk hal-hal yang sifatnya mendesak dan langsung. Apa artinya ini? Artinya adalah, uang zakat tidak boleh mengendap terlalu lama di lembaga zakat. Menurut saya, paling lama uang zakat mengendap di lembaga zakat adalah satu tahun. Kenapa satu tahun? Karena di dalam laporan keuangan perusahaan, biaya yang memberikan manfaat di bawah satu tahun dianggap sebagai biaya operasi atau operating expense. Zakat ini mirip dengan operating expense jika dalam perusahaan. Jadi jumlah yang diterima di tahun itu, harus langsung disalurkan secepatnya, dan selambat-lambatnya satu tahun sejak diterima. Harus ada catatan aging uang zakat yang terkumpul, supaya tidak ada uang yang diendapkan lebih dari satu tahun.
Sedekah lebih fleksibel. Penyalurannya pun tidak terlalu ketat. Karena tidak ada aturan bahwa amil berhak mengambil sedekah, saya berpendapat bahwa amil memang tidak boleh mengambil uang pokok sedekah. Kenapa saya sebut uang pokok? Sedekah karena sifatnya yang fleksibel, uang yang terkumpul bisa diputar lagi oleh pengelolanya. Misalnya, uang tersebut digunakan untuk pemberdayaan ekonomi umat lewat sistem bagi hasil. Hasil dari bagi hasil itulah yang nantinya bisa diterima oleh amil sebagai reward karena telah mendapatkan hasil. Sedekah pun dapat digunakan untuk biaya operasional penyaluran. Misalnya, lembaga zakat mengadakan acara seminar yang membantu orang-orang tak mampu mendapatkan seminar gratis dari motivator handal. Uang sedekah dapat digunakan untuk membayar si motivator agar para peserta yang datang tidak perlu membayar sepeser pun atau paling tidak membayar dengan harga miring. Sedekah pun dapat digunakan untuk membiayai program-program bantuan. Misalnya, 1 juta buku untuk anak sekolah di pedalaman. Atau 1 juta sepatu untuk anak-anak kurang mampu. Atau apa pun, termasuk biaya pembelian, pengumpulan, pendistribusian, hingga biaya promosi program. Tidak boleh ada sepeser pun uang sedekah diberikan ke amil. Amil hanya mendapatkan bagian dari zakat. Jika amil ingin mendapatkan dari sedekah, maka gunakan uang sedekah untuk hal-hal produktif. Amil bisa mengambil sebagian dari hasil produktifitas sedekah untuk tujuan tersebut. Tapi secara umum, sedekah tidak untuk amil. Itu menurut saya.
Wakaf berada di tengah-tengah zakat dan sedekah. Wakaf memiliki aturan, tapi tidak terikat kepada siapa wakaf harus disalurkan. Wakaf modern biasanya diperuntukan untuk bisnis. Keuntungan bisnis ini nantinya yang akan digunakan untuk membiayai program. Misalnya, wakaf usaha pertanian. Hasil keuntungan dari usaha pertanian tersebut digunakan untuk membiayai sebuah sekolah sehingga dapat mencetak anak bangsa yang berkualitas. Atau yang paling terkenal yang kita ketahui adalah wakaf Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, yang kabarnya mampu membiayai ratusan bahkan ribuan mahasiswa dari seluruh dunia untuk kuliah di situ secara gratis. Wakaf modern belum populer di Indonesia, tapi bibit-bibitnya sudah mulai ada. Berapa bagian untuk amil? Seperti sedekah, tidak ada sepeser pun diberikan kepada amil untuk pokok wakaf. Amil hanya boleh menerima hasil dari usaha wakaf tersebut. Itu pun karena berupa reward karena sudah mengusahakan menjalankan usaha atau bisnis dengan optimal. Wakaf, karena sifatnya bisnis bisa saja merugi. Oleh karena itu wakaf agak sulit dikelola karena ada kemungkinan rugi, beda dengan zakat atau sedekah yang tidak mengenal rugi.
Sekarang, mari kita lihat laporan keuangan beberapa lembaga zakat populer di Indonesia. Saya mengambil contoh Dompet Dhuafa dan PKPU. Laporan keuangan keduanya dapat diunduh di website resmi mereka masing-masing. Sayangnya laporan keuangan tidak terkini, karena di Dompet Dhuafa laporan keuangan terakhir November 2011 sedangkan di PKPU tahun fiskal 2010. Di laporan keuangan tersebut, Dompet Dhuafa memberikan porsi kepada para amilnya sebesar kira-kira 15% dari pendapatan zakat (Operational rutin dibandingkan dengan penerimaan zakat). Lebih tinggi 2,5% dari cap yang saya sebutkan di atas. Bisa jadi itu karena ada keuntungan yang diperolehnya lewat sedekah dan wakaf. Menurut saya ini adalah hal yang wajar. PKPU pun memberikan porsi kepada para amil juga kira-kira 15% dari pendapatan zakat (Biaya Operasi + Karyawan dibandingkan dengan penerimaan zakat). Seperti Dompet Dhuafa, porsi yang diterima PKPU masih wajar menurut saya. Mungkin ini kesimpulan yang terlalu dini, tapi rasanya standar pendapatan masing-masing lembaga zakat untuk porsi gaji dan operasional haruslah rata-rata 15% dari penerimaan zakatnya. 15% itu sudah termasuk keuntungan yang didapatkan hasil memutarkan uang untuk kegiatan produktif dari uang yang dikumpulkannya.
Jadi, bagi yang ingin tahu, berapa sih yang didapat oleh Amil di lembaga-lembaga zakat tersebut? 15% adalah jawabannya. 15% dari penerimaan zakat ya. Jadi jika suatu saat anda memberikan uang zakat sebesar Rp 1 juta di outlet-oulet lembaga zakat, maka ketahuilah, bahwa maksimum Rp 150 ribu di antaranya akan diambil oleh petugas yang menerima zakat anda tersebut. Sekarang bayangkan, jika zakat potensinya lebih dari APBN atau lebih dari Rp 1.000 Triliun. Maka akan ada Rp 150 Triliun yang disalurkan untuk amil. Industri yang menggaji karyawannya secara aggregat Rp 150 Triliun per tahun adalah industri yang menarik untuk dimasuki.
Ada yang minat ingin membuka sebuah lembaga zakat baru? Boleh aja, yang penting amanah! {nice1}
Potensi zakat di indonesia memang luar biasa. saya harap kedepannya masyarakat lebih paham konsep zakat dan wakaf.