Perubahan atau Religius

Perubahan atau Religius? Dua hal inilah yang sedang dimainkan oleh tim sukses kedua calon Gubernur DKI Jakarta. Bagi tim sukses Jokowi-Ahok, kata perubahan benar-benar menjadi kata kunci dalam kampanyenya. Sedangkan bagi tim sukses Foke-Nara, kata religius menjadi senjata ampuh untuk berkampanye. Nah kita, sebagai orang yang akan memilih pada 20 September nanti, milih perubahan atau milih religius?

Perubahan yang dibawa oleh Jokowi-Ahok karena melihat prestasi keduanya saat memimpin kota lain. Jokowi saat ini masih memimpin Solo, sedangkan Ahok pernah memimpin Belitung Timur. Perubahan yang dibawa keduanya di kedua kota tersebut adalah perbaikan layanan publik yang diklaim oleh keduanya dan digembar-gemborkan di media.

Di sisi lain, Foke-Nara mengedepankan religius sebagai senjata kampanye (walaupun terselubung). Mengingat Ahok bukan dari golongan Muslim, maka hal itulah yang dieksploitasi. Hasilnya, PKS pun bertekuk lutut di hadapan mereka. Memang ada ayat di Al-Qur’an yang menyuruh orang-orang yang beriman agar memilih pemimpin bukan dari golongan Yahudi dan Nasrani (benar-benar secara tekstual disebut Yahudi dan Nasrani).

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. 5:51). (http://alqurandanterjemahan.wordpress.com/2010/08/24/surah-al-maidah-dan-terjemahan/)

Ayat inilah yang terus ditanamkan di benak masyarakat Jakarta. Apalagi ini bulan Ramadhan, dimana setiap hari pasti ada ceramah Ramadhan di mesjid-mesjid.

Sekarang, saya memilih yang mana?

Sebenarnya kedua calon ini tidak memenuhi kriteria saya karena ada Parpol di belakangnya. Foke-Nara saat ini didukung oleh multi partai, karena semua partai merapat ke pasangan ini sejak mereka masuk putaran kedua. Jokowi-Ahok didukung oleh dua partai. Biarpun Jokowi-Ahok dukungan partainya lebih kecil, tetap saja masih ada bekingan partai di belakangnya. Dan sampai saat ini persepsi saya tentang partai tidak berubah, yaitu sarang koruptor.

Berarti golput dong kalau begitu?

Tidak juga. Saya tidak mau suara saya sia-sia. Saya pasti memilih salah satu dari keduanya. Keduanya memang bukan yang terbaik menurut saya. Artinya saya harus memilih berdasarkan yang paling kecil keburukannya. Jika Foke-Nara terpilih, keburukan apa yang akan melanda Jakarta. Jika Jokowi-Ahok terpilih, keburukan apa yang akan melanda Jakarta, itulah yang saya pertimbangkan saat ini. Saya yakini dalam lima tahun ke depan Jakarta tidak akan banyak berubah jika salah satu dari keduanya terpilih.

Jakarta akan tetap macet. Jakarta akan tetap banjir. Jakarta akan tetap membangun jalan lebih banyak lagi untuk mengimbangi kenaikan jumlah kendaraan.

Saya juga tidak terpengaruh oleh kampanye perubahan maupun religius. Kedua hal tersebut hanya menawarkan hal yang bersifat semu. Perubahan. Perubahan apa jika dibaliknya itu-itu lagi? Religius. Religius apa kalau tidak ada perbaikan kehidupan di Jakarta dalam lima tahun terakhir ini?

Jadi milih berdasarkan apa dong? Pilih berdasarkan hati nurani. Suruhan ayat di atas adalah untuk memilih orang yang seiman. Ya keduanya seiman!

Adalagi ayat untuk memilih pemimpin yang tidak disebarluaskan. Hanya berbeda enam ayat dari ayat di atas

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil menjadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu menjadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertawakkallah kepada Allah jika kamu betul-betul orang yang beriman.” (QS. 5:57) (http://alqurandanterjemahan.wordpress.com/2010/08/24/surah-al-maidah-dan-terjemahan/).

Dua ayat itu terdapat beberapa kesamaan.

1. Sama-sama menyeru kepada orang yang beriman

2. Sama-sama melarang memilih pemimpin dari golongan Yahudi dan Nasrani (Al-Kitab)

Jadi jelas, bahwa kalau mau jadi orang yang beriman, jangan memilih pemimpin dari golongan Yahudi dan Nasrani. Titik!

Ada juga tambahan dari ayat kedua, yaitu

1. Melarang memilih pemimpin yang membuat agama menjadi ejekan dan permainan

2. Melarang memilih pemimpin dari golongan kafir.

Membuat agama jadi ejekan dan permainan? Hm, siapa ya? Kalau kafir mah jelas.

Ada yang menarik di akhir ayat kedua ayat tersebut

1. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang Zalim

2. Bertawakallah kepada Allah jika memang beriman.

Ada kata Zalim dan tawakal. Jika memilih pemimpin dari golongan Yahudi dan Nasrani , maka itu adalah orang-orang yang zalim. Jika mau memilih pemimpin, tapi adanya Yahudi, Nasrani dan Kafir serta orang yang mengejek dan mempermainkan agama, maka masih dikasih kesempatan untuk bertawakal kepada Allah. Tawakal itu artinya kesungguhan hati dalam bersandar kepada Allah untuk mendapatkan kemaslahatan serta mencegah bahaya, baik menyangkut urusan dunia maupun akhirat. (http://mediamuslim.wordpress.com/2007/01/05/tawakal/) Jadi, lebih baik memilih pemimpin yang tidak mengejek dan mempermainkan agama karena bisa jadi kita sedang bertawakal kepada Allah.

Tawakal disini artinya harus melakukan sesuatu. Dalam hal Pilkada DKI artinya harus memilih pemimpin agar mendapatkan kemaslahatan dan mencegah bahaya. Karena kedua calon pemimpin adalah orang seiman, maka siapakah di antara mereka yang membuat agama sebagai bahan ejekan dan permainan? Dengan kata lain, siapa di antara keduanya yang paling berpotensi menjadi orang yang munafik?

Salah satu ciri orang yang munafik adalah bila berjanji tidak ditepati (http://heru.wordpress.com/2006/06/30/3-ciri-orang-orang-munafik/). Nah, dari dua calon salah satunya adalah incumbent. Incumbent di tahun 2007 lalu berjanji akan menyelesaikan masalah di Jakarta dalam waktu yang singkat. Sekarang sudah lima tahun berlalu dan tidak ada satu pun masalah Jakarta yang selesai olehnya. Bahkan saat itu dia memproklamirkan dirinya sebagai orang yang ahli menangani masalah Ibukota. Apakah ini tanda bahwa janjinya tidak ditepati?

Untuk calon satu lagi memang belum terbukti janjinya sudah ditepati atau belum. Namun saat ini dia sedang menjalani periode kedua jabatannya sebagai Walikota Solo dan kabarnya Solo menjadi lebih baik walaupun masih banyak kekurangan di sana sini.

Bagaimana dengan wakilnya?

Saya sama sekali tidak memperhitungkan seorang wakil. Wakil Presiden, Wakil Gubernur, Wakil Walikota, Wakil Kepala Sekolah ataupun Wakil Ketua Kelas sama sekali tidak memiliki kekuasaan. Seorang wakil hanya bersifat administratif dan baru akan memimpin jika sang pemimpin tidak dapat memimpin lagi di periode kepemimpinannya. Jadi wakil bagi saya bukanlah seorang pemimpin. Karena bagus jeleknya suatu hal, maka si pemimpinlah yang mendapatkan kredit atau bertanggung jawab akan hal tersebut.

Jadi, tahu dong saya akan pilih siapa di Pilkada DKI putaran kedua? Kalau belum, silakan dibaca lagi dari awal sampai akhir. Intinya saya ingin tetap jadi orang beriman. Oleh karena itu saya akan tetap memilih karena itu artinya saya sedang bertawakal kepada Allah, Tuhan semesta alam. {nice1}

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *