(Bukan) Final Impian

Dalam turnamen olahraga, seringkali ada prediksi mengenai tim unggulan. Bahkan jika para tim unggulan tersebut bertemu di final maka akan terjadi yang namanya final impian. Final impian ini jika di bidang sepakbola akan sangat menarik untuk dianalisa.

Di turnamen liga champion, final impian yang paling menarik adalah jika FC Barcelona bertemu dengan FC Real Madrid. Di turnamen piala dunia, final impian adalah bertemunya Spanyol dengan Brasil. Di turnamen piala AFF final impian adalah Indonesia dengan Malaysia. Di turnamen lokal final impian adalah Sriwijaya FC melawan Persipura Jayapura.

Kenapa tim-tim tersebut jika bertemu disebut final impian? Karena tim-tim tersebut sudah terlihat kualitasnya dan juga memiliki pendukung fanatik untuk masing-masing tim. Analisa dari berbagai pihak tentang pemenang dari pertandingan tersebut pun menjejali media baik media televisi, media massa bahkan media online beberapa hari menjelang pertandingan tersebut digelar.

Di samping itu juga diketahui mengenai prestasi masing-masing tim, disertai pemain-pemain yang ada di dalamnya, serta pelatih berkualitas di baliknya yang memang dikenal oleh publik. Publik tahu track record tim tersebut dari pengalaman memperhatikan permainan tim-tim tersebut dari minggu ke minggu, bulan ke bulan dan bahkan tahun ke tahun.

Jadi tim-tim tersebut sudah diketahui prestasinya. Diketahui tipe permainannya. Tidak ada yang ditutup-tutupi. Tidak secara instan muncul ke permukaan untuk menjadi tim yang disegani. Tim-tim ini berprestasi karena memang ada dukungan dari berbagai pihak. Tidak bisa secara tiba-tiba tim Indonesia akan menjadi tim unggulan di pertandingan piala dunia karena memang Indonesia belum pernah ikutan piala dunia dan secara kualitas pemainnya pun belum mumpuni untuk tampil di piala dunia.

Akan juga tidak mungkin jika Indonesia secara tiba-tiba akan masuk piala dunia tahun 2018 dan langsung menjadi tim unggulan. Yang ada adalah Indonesia hanya akan menjadi tim kuda hitam jika mampu menggulingkan lawan-lawan yang berat. Namun di balik itu tentunya harus ada sebab akibat yang membuat Indonesia menjadi tim kuda hitam.

Salah satunya adalah memiliki pelatih berkualitas tingkat dunia. Pemain-pemainnya pun merumput di liga-liga top dunia. Tanpa itu, hanya mimpi Indonesia akan menjadi tim unggulan di piala dunia apalagi diimpikan untuk melenggang sampai final, bahkan menjadi bagian dari final impian untuk piala dunia.

Lain bidang olahraga, lain pula bidang politik. Politik saat ini tidak mengenal track record. Politik saat ini hanya mengenal pencitraan. Lihat saja Presiden Obama. Publik Amerika mungkin belum mengenal Obama tahun 1990-an. Ia muncul di Amerika sejak akhir tahun 1990-an dan berusaha sekuat mungkin untuk menjadi orang nomor satu sejak saat itu. Obama mulai dikenal satu atau dua tahun menjelang pemilihan Presiden di Amerika. Lewat pencitraan dan didukung oleh kemampuang public speaking-nya yang luar biasa, Obama pun berhasil menjadi orang nomor satu di Amerika.

Lain lagi kisah Amien Rais di Indonesia. Tahun 1998 saat terjadinya peristiwa penggulingan rezim yang berkuasa selama 32 tahun, Amien Rais tumbuh menjadi seorang pionir dalam gerakan reformasi. Track record Amien Rais sebelumnya pun cukup baik. Hanya satu langkah lagi bagi dia untuk bisa jadi orang nomor satu di Indonesia. Namun sayang, langkahnya terhenti oleh program pencitraan. SBY yang tidak pernah diperhitungkan sama sekali tiba-tiba tampil jadi sosok pembaharu bagi Indonesia, dan lewat program pencitraan berhasil menduduki kursi RI-1 selama dua periode berturut-turut.

Amien Rais hanya puas jadi tokoh bangsa. Sesepuh bangsa. Pendiri sebuah partai politik yang untungnya masih bertahan hingga saat ini.

Hal yang sama juga akan terjadi pada pemilihan DKI-1 yang beberapa hari lagi memasuki babak final. Sebelumnya ada enam kandidat, namun saat ini tinggal dua kandidat, yaitu Foke-Nara dan Jokowi-Ahok.

Foke memang orang lama di Jakarta. Dia adalah birokrat yang sukses mencapai puncak tertinggi di daerahnya. Namun kinerja Foke dalam lima tahun terakhir ini bisa dibilang kurang sukses bahkan banyak yang bilang mengecewakan. Dengan statusnya sebagai sang ahli saat kampanye lima tahun lalu, maka prestasinya saat ini dirasa begitu kurang. Analoginya seperti orang pintar namun cuma dapat nilai 6 di ujian akhir. Lulus, tapi tidak seperti harapan.

Program Foke untuk Jakarta lima tahun lagi pun tidak ada hal baru. Programnya betul-betul linier tanpa ada terobosan yang membuat orang tercengang. Program macetnya linier. Program banjirnya linier. Program birokrasinya pun linier. Tidak ada yang baru. Ngerinya permasalahan di Jakarta selalu berlipat-lipat. Macet berlipat-lipat. Banjir berlipat-lipat. Masalah birokrasi pun berlipat-lipat. Jika permasalahan diatasi dengan linier, padahal masalahnya berlipat-lipat, maka di akhir periodenya nanti, masalah sudah demikian menggunung, namun solusi masih di kaki gunung.

Jokowi memang fenomenal. Dia begitu cepat dikenal orang sejak dirinya mampu menjadi Walikota Solo tujuh tahun lalu. Dia semakin dikenal sejak kabarnya mampu membuat transportasi massal di Solo dengan Rail-Busnya. Namun ke-fenomenal-an Jokowi sepertinya terlalu dipaksakan. Dikenal sejak 2005, mulai menjadi berita di beberapa media sejak tahun 2011, maka prestasi sesungguhnya Jokowi belum banyak diketahui.

Dia itu seperti pemain bola kita, Andik Vermansyah. Andik terlihat jago dalam mengendalikan bola. Namun apabila kita mengandalkan Andik untuk mengangkat prestasi timnas kita, maka harapan itu terlalu besar karena Andik belum memiliki prestasi apa pun yang membuatnya mampu bersaing dengan pemain-pemain lain yang lebih berpengalaman dan mempunyai prestasi yang jelas.

Berbicara mengenai Jokowi saat ini, publik hanya dijejalkan oleh tindak tanduknya yang nyeleneh, namun populer. Dan inilah yang disukai publik dari Jokowi. Tapi seperti SBY, apakah kita benar-benar tahu prestasi Jokowi? Apakah kita tahu siapa-siapa saja di belakangnya? Apakah kita tahu tim yang akan membantunya jika terpilih jadi DKI-1 nanti?

Jokowi adalah salah satu produk pencitraan yang muncul di negeri ini. Sama seperti yang terjadi pada Obama di Amerika atau malah SBY di negeri ini. Pencitraan biasanya hanya mengagungkan sisi positif profil yang dicitrakan. Tidak pernah sisi buruk atau sisi negatif dari seorang profil yang dicitrakan diekspose ke media. Jokowi pasti punya kelemahan. Jokowi pasti punya sisi negatif. Dengan kata lain Jokowi juga manusia.

Program Jokowi untuk Jakarta dalam lima tahun ke depan agak sedikit berbeda dengan Foke. Dia lebih memilih melakukan pendekatan kepada wong cilik. Bukan hal yang baru, persis seperti yang dilakukan oleh ketua partainya di awal-awal reformasi. Hasilnya apa? sang ketua partai saat diberikan kesempatan waktu itu, tidak memperlihatkan kebijakan yang memihak wong cilik. Mudah-mudahan hal tersebut tidak terjadi kepada Jokowi.

Dengan pendekatan kepada wong cilik, kadang-kadang program Jokowi agak sulit diterima akal tapi bukan berarti tidak mungkin. Kabarnya dia akan membangun kampung susun di daerah segitiga emas Jakarta. Pertanyaan mudahnya, mau membangun dimana? Itu yang belum dia ketahui sampai saat ini. Tapi bisa saja hal itu dilaksanakan namun dengan kemauan yang sangat keras dari Jokowi saat terpilih nanti.

Bagi saya Foke dan Jokowi bukanlah final impian dalam pemilihan DKI-1. Foke yang didukung oleh beragam partai politik dan Jokowi yang didukung oleh dua partai politik membuat saya tidak dapat mencap mereka sebagai final impian. Partai politik di Indonesia sudah mencapai taraf persepsi yang sangat buruk bagi saya. Apalagi jika dua atau lebih partai politik berkoalisi maka saya ngeri untuk membayangkan koalisi yang direncakan untuk membodohi rakyat dan menguras pundi-pundi rakyat.

Biarpun bukan final impian, tapi sebagai warga negara dan juga warga DKI Jakarta saya akan tetap memilih salah satu dari keduanya. Pemilihan saya bukan didasarkan pilihan terbaik, tapi didasarkan oleh pilihan yang lebih sedikit kontribusinya akan kerusakan Jakarta dalam lima tahun ke depan.

Lagipula dalam piala dunia, jika tim yang bertanding bukan tim impian, kita pun tidak serta merta mematikan televisi. Kita tetap menonton pertandingan final walaupun ekspektasinya tidak akan seseru final impian. Mudah-mudahan walaupun bukan final impian, tapi pemilihan DKI-1 akan memberikan pertandingan menarik dan yang menang akan memimpin DKI Jakarta dengan baik untuk lima tahun ke depan.

Mari kita memilih Gubernur DKI Jakarta pada tanggal 20 September 2012 nanti! {nice1}

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *