Tadi siang saat saya ingin pergi ke Kuningan dari kantor di bilangan TB Simatupang, saya sempat bertanya kepada tukang ojek yang mangkal di halte depan kantor.
“Ke Halte Busway Ragunan berapa Pak?”
“Biasa, 10.” sambil jarinya menunjukkan angka satu ke saya.
“Ah gak 5 ribu aja Pak, kan dekat.” tawar saya kepadanya.
“Udah biasa pak 10.” katanya menutup penawaran.
“Ah naik taksi aja gak sampe segitu Pak.” tawar saya sembari membandingkan. Maksud saya adalah agar dia menurunkan harganya paling gak ke 7 atau 8 ribu.
“Taksi kan baru buka pintu aja udah 6 ribu. Pasti lebih mahal lah Pak.” timpalnya dengan suara datar, sepertinya sudah terbiasa menghadapi calon konsumen seperti saya.
“Bapak mau kemana?” tanyanya menawarkan jasa yang lebih jauh.
“Mau ke Kuningan Pak.”
“Naik ojek saya saja. 30 ribu pak sampai Kuningan.”
Saya pun berhitung. Jika saya naik busway ke Kuningan biayanya hanya 7 ribu bolak-balik. Sedangkan kalau naik ojek, biayanya 30 ribu hanya untuk pergi, pulangnya kemungkinan lebih mahal lagi. Lagipula koridor busway yang mau saya lewati termasuk salah satu koridor yang steril dari kendaraan lain. Artinya begitu saya naik busway, dijamin kurang dari 30 menit saya akan sampai di tujuan.
Tidak lama dari tawar-menawar saya dengan tukang ojek, sebuah taksi pun lewat di depan kantor. Saya langsung memberhentikan taksi tersebut dan naik hingga halte busway Ragunan. Benar saja, saat turun dari taksi yang sudah sangat dekat dengan halte busway, argonya baru menunjuk Rp 7500. Saya pun membayar supir taksinya Rp 9000, lebih murah seribu rupiah daripada yang ditawarkan tukang ojek.
Saya merasa lebih nyaman. Tidak keringatan atau kepanasan. Tidak kena angin kencang. Bayar lebih murah.
Beberapa bulan dari hari ini, saya juga hampir menemukan kejadian yang serupa. Saat itu saya berada di ITC Permata Hijau dan ingin menuju ke rumah di daerah Pos Pengumben. Seperti biasa saat melewati pintu gerbang ITC Permata Hijau, beberapa tukang ojek yang mangkal langsung mengajukan penawaran. Saya yang saat itu membawa barang agak berat, menimpali tawarannya.
“Kalau ke Pos Pengumben berapa pak?”
“Biasa, 15 ribu.” jawabnya dengan datar, sambil menyiapkan motor dan helmnya.
“Wah mahal banget Pak, gak kurang tuh.”
“Biasa Pak, ini mah biasa.”
“10 ribu aja gak bisa Pak?”
“Gak bisa Pak, biasanya segitu.” langsung saja mengembalikan posisi seperti semula dan helmnya dikembalikan ke tempatnya semula.
Dari situ saya tahu bahwa si tukang ojek sudah menutup diri untuk tawar-menawar.
Akhirnya saya pun menyebrang jembatan dan menunggu metro mini untuk menuju tempat tinggal. Bayar hanya dua ribu, ditambah jalan menuju rumah sekitar 300 meter.
Biasanya kalau saya naik taksi dari situ, maka biayanya berkisar dari 11 ribu hingga 15 ribu. Itu dengan kondisi jalan normal. Kalau macet bisa lebih besar daripada itu. Namun jarang sekali saya menemukan kondisi macet untuk jalan antara ITC Permata Hijau ke Pos Pengumben saat saya menyempatkan diri untuk berbelanja sejenak di sana.
Saya jadi berpikir. Yang membuat ojek demikian mahal itu apanya?
Secara biaya ojek sudah pasti sangat murah.
Satu liter bensin yang harganya Rp 4500 bisa digunakan untuk berjalan lebih dari 40 km. Biaya perawatan rutin paling hanya Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu. Helm yang digunakan pun bukan helm mahal. Motor yang digunakan malahan bukan motor yang mahal.
Jadi apa yang buat mahal?
Macet?
Gak juga, dalam kedua peristiwa di atas kondisi jalan tidak sedang macet.
Cepat?
Gak juga, kan gak terlalu macet, jadi perbedaannya tidak akan signifikan.
Fleksibel?
Gak juga, kan jalan yang dilewati jalan raya dan kemudian masuk jalan komplek yang lebarnya jauh dari cukup untuk dilewati dua mobil.
Lalu apa?
Serakah? Mau cepat-cepat naik haji? Mau cepat-cepat nikah lagi? Mungkin itu yang paling tepat! 😀
Kalau taksi gimana?
Tarifnya jelas, saat buka pintu Rp 6 ribu (Blue Bird) atau Rp 5 ribu (Taksi lain). Per kilometer Rp 3 ribu (Blue Bird) atau Rp 2500 (Taksi lain). Macet ada tambahan kalau tidak salah Rp 25 ribu per jam (lupa yang taksi mana). Untungnya di Jakarta, taksi borongan atau tawar-menawar sudah sangat jarang ditemukan. Jadi biaya taksi bisa lebih diprediksikan, tidak seperti ojek yang seenaknya pasang tarif.
Jadi, lain kali mau pakai ojek, survey dulu jarak tujuan kita. Kira-kira kalau pakai taksi biayanya berapa ya? Trus lihat kondisi jalanan. Jika tidak macet, berarti si ojek harusnya lebih murah daripada taksi karena tidak ada kelebihan yang ditawarkan daripada naik taksi yang jelas lebih nyaman dan aman daripada hanya naik ojek.
Kalau ojek lebih murah, ya naik ojek aja. Jika taksi lebih murah, lebih baik nunggu taksi. Di Jakarta banyak kok taksi lalu lalang. Nunggu gak akan lebih dari 5 menit kok. {nice1}