Perjalanan Menuju Pasar Saham

Saya mulai mengenal investasi sejak tahun 2008 ketika saya menemukan seorang perencana keuangan pribadi lewat sebuah blog. Dari situ saya mulai mengenal yang namanya reksadana dan mulai menggeluti reksadana sejak saat itu. Saya sempat tidak aktif di reksadana saat akhir 2008 lalu dimana saat itu terjadi krisis dunia akibat kesalahan sistem KPR di Amerika. Saya yang mulai kenal dengan reksadana agak takut juga saat itu apalagi saat itu Nilai Aktiva Bersih reksadana yang saya pilih turun jauh sekali hingga lebih dari 50%. Saya pun sempat berhenti sementara melakukan top up reksadana sampai pertengahan tahun 2009.

Reksadana yang saya pilih cuma dua macam, yaitu reksadana saham dan reksadana pasar uang. Reksadana saham untuk jangka panjang (walaupun saat pasar modal turun sempet takut) dan reksadana pasar uang untuk jangka pendek. Saya tidak bermain di jangka menengah karena menurut saya returnnya tidak sepadan dengan penantiannya. Saya aktif melakukan top up di reksadana paling tidak Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta rupiah per bulannya. Saya memilih reksadana Manulife Dana Saham untuk reksadana saham dan Mandiri Investa Pasar Uang untuk reksadana pasar uang. Tidak ada alasan istimewa memilih keduanya. Alasan utama saya adalah top up fee keduanya adalah nol persen.

Di tahun 2009 saya pun mulai menggunakan uang untuk properti. Properti yang saya pilih adalah apartemen rusunami di daerah Ciledug. Tadinya saya mau menempatinya, tapi rupanya karena satu dan lain hal kami pun menyewakan apartemen yang kami miliki tersebut. Hasil uang sewanya kami gunakan untuk tambah-tambah bayar cicilan apartemen. Lumayan, gara-gara itu bayar cicilan apartemen semakin ringan.

Tahun 2009 dan 2010 saya pun mengenal satu macam instrumen investasi lagi yaitu Obligasi Republik Indonesia (ORI) dan Sukuk Republik Indonesia (SRI). Saya berpartisipasi dalam jumlah minimal hanya untuk agar uang kami dapat terdistribusi dengan baik, sehingga ketika satu instrumen bermasalah, kami masih memiliki instrumen lain yang dapat diandalkan. Pendapatan bulanan dari ORI dan SRI pada akhirnya saya gunakan untuk tambahan zakat dan infak karena jumlah keduanya kurang dari Rp 100 ribu per bulan.

Dari 2008 hingga saat ini kebetulan pendapatan saya dan istri meningkat secara pesat. Pendapatan kami berdua tahun 2008 dibandingkan dengan saat ini sudah meningkat lebih dari dua kali lipat. Oleh karena itu saya mulai melirik investasi jenis lainnya. Tadinya sempat terpikir properti, namun kenaikan harga tanah dan rumah di Jakarta sejak tahun 2009 hingga saat ini begitu menggila mengurungkan niat kami untuk berinvestasi di properti. Lagipula kalau mau investasi di properti uang yang dibutuhkan bisa mencapai ratusan juta rupiah, dimana kami tidak memiliki uang nganggur sebanyak itu, dan agak sulit jika harus berhutang apalagi jika bukan kita yang menikmati propertinya.

Properti di luar Jakarta sebenarnya lebih masuk akal dan memiliki prospek yang cerah. Kendalanya adalah, mobilitas kami tidak begitu tinggi dan agak sulit untuk melakukan perjalanan luar kota hanya untuk mengontrol properti yang kami punya. Ini juga merupakan akibat dari kemacetan yang hebat melanda Jakarta, baik di hari kerja maupun hari libur. Oleh karena itu properti mungkin tidak menjadi pilihan kami dalam waktu dekat, walaupun kami memiliki properti yang saat ini sedang disewakan.

Awal 2013 ini saya pun mulai melirik pasar saham. Kali ini bukan lewat reksadana, tapi langsung terlibat di pasar saham itu sendiri. Sejak tahun 2012, mertua saya adalah pelaku aktif pasar saham, sehingga saya sering melihatnya melakukan pemesanan saham lewat laptop yang dimilikinya dan dengan bantuan akses internet yang kami miliki di rumah. Mertua saya adalah seorang trader yang setiap hari memantau pergerakan harga saham. Modal yang dimilikinya cukup besar sampai ratusan juta rupiah. Hasilnya cukup menggembirakan karena menurut dia, dia berhasil mendapatkan keuntungan beberapa persen per bulan secara konsisten.

Saya tadinya takut langsung masuk ke pasar saham. Itu karena saya tahu, begitu saya masuk pasar saham, maka ada satu resiko yang saya harus tanggung. Yaitu resiko perusahaan. Jika sebelumnya di reksadana resiko yang saya miliki hanyalah resiko pasar, maka jika masuk ke pasar saham, saya pun harus menanggung resiko perusahaan. Jika perusahaan tersebut performanya kurang baik, maka kemungkinan besar harga saham perusahaan tersebut juga turun. Jika perusahaan rugi, maka perusahaan tidak akan membagikan dividen kepada pemegang saham. Jika ada kejadian luar biasa di perusahaan, maka harga sahamnya pun akan bergejolak. Resiko yang lebih besar jika masuk ke pasar saham secara langsung. Namun return yang dijanjikan pun lebih besar.

Contohnya, sejak pertengahan tahun 2010, harga saham Astra Internasional Tbk (ASII) di kisaran 45,000. Saat ini, harga saham tersebut berada di kisaran 6,350 (penutupan 21 Juni 2013). Seakan-akan turun ya? Namun sejak pertengahan tahun 2012, saham ASII di split dengan perbandingan 1:10 sehingga jika dibandingkan dengan harga tahun 2010, maka saham ASII telah naik ke level 63,500 atau naik lebih dari 18,500 per lembar saham, atau kurang lebih menghasilkan return hampir 1/2 dalam 3 tahun terakhir.

Bandingkan dengan nilai indeks IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan, atau dikenal dengan Jakarta Composite). Di pertengahan tahun 2010 IHSG berada pada level 2,900. Saat ini, IHSG berada di kisaran 4,515 (penutupan 21 Juni 2013). Artinya naik 1,600 poin atau menghasilkan return yang lebih dari 1/2 dalam 3 tahun terakhir.

Ops, rupanya salah membandingkan, namun di sini terlihat bahwa saham ASII dan IHSG berada tidak terlalu jauh pergerakannya dalam tiga tahun terakhir. Bagaimana jika kita bandingkan dalam jarak yang lebih panjang? Harga saham ASII sejak tahun 2000 lalu sudah naik lebih dari 30 kali lipat hingga saat ini. Di saat yang sama IHSG sejak tahun 2000 lalu hanya naik sekitar 10 kali lipat hingga saat ini. Dari sini terlihat bahwa saham perusahaan yang tergolong baik memiliki return yang lebih besar daripada IHSG yang hanya mencerminkan resiko pasar.

Saya pun akhirnya memiliki keberanian untuk memulai investasi di pasar saham. Dari hasil uang ORI yang cair awal tahun 2013 lalu, saya pun memiliki modal untuk mendaftar ke salah satu sekuritas yang memiliki fasilitas online. Godaan untuk mencoba menjadi trader di pasar saham begitu besar, karena memang pasar saham menjanjikan profit yang sangat besar setiap harinya, bisa sampai lebih dari 10% per hari per saham. Bahkan yang lebih menarik, untuk transaksi tidak perlu punya uangnya dahulu, karena uang dapat disetorkan hingga di hari ketiga setelah transaksi.

Jadi misalnya kita membeli sebuah saham di pagi hari dan menjualnya di harga yang lebih tinggi di sore hari, maka kita tidak perlu menyetor uang untuk transaksi beli, malah kita akan dibayar oleh sekuritas kita di hari ketiga karena transaksi kita hari itu surplus. Surplus Rp 50 – 100 ribu per hari merupakan hal yang besar bagi pemain baru di pasar saham bagi saya. Namun saya tidak tergoda untuk mencoba lebih jauh.

Saya hanya memilih beberapa saham yang saya akan pegang dalam jangka waktu yang panjang. Saat ini saya memiliki beberapa lot saham GIAA, ADRO, APLN, ACES, KRAS, JSMR, ABBA dan ASII. Semua saham yang saya pegang saat ini turun semua, bahkan kondisi hingga 21 Juni 2013 saya rugi lebih dari 10% secara keseluruhan.

GIAA saya beli karena perusahaan ini sedang melakukan transformasi 2011-2015. Banyak yang bilang ke saya beli aja nanti setelah transformasinya selesai. Namun saya tetap membelinya, bahkan akhir-akhir ini saya membeli selalu dengan harga lebih murah daripada sebelumnya.

ADRO saya beli karena dia memiliki manajemen yang bagus (Direksi dan Komisarisnya sebagian jebolan dari Astra Internasional), cadangan batubara yang mumpuni dan memiliki pasar hingga ke hilir (menjual listrik) di tahun 2016 nanti. Memang saat ini industri batubara sedang tertekan, tapi rasanya jika ADRO mampu menjual listrik langsung ke konsumen, maka biarpun industri batubara tertekan, listrik kan tidak. Bisa saja dia mendapatkan margin yang sangat besar, karena biaya produksinya eksplorasi batubara, tapi biaya jualnya listrik. Bahan Baku menjadi Bahan Jadi.

APLN saya beli karena tertarik dengan iklan-iklannya setiap hari Sabtu dan Minggu di Metro TV. Salah satu karya APLN adalah Senayan City yang sering saya dan istri saya kunjungi. Selama Senayan City masih ok, rasanya APLN juga masih ok. Lagian saat ini kan properti sedang booming. Saya harus memilih salah satu saham properti untuk dikoleksi. Ya APLN inilah pilihan saya, masalahnya saya tidak terlalu mengenal yang lainnya karena jarang beriklan…hehe

ACES saya beli karena pertumbuhannya dalam 3-4 tahun belakangan sangat fenomenal. Saya membaca sebuah buku mengenai investasi saham dimana di buku itu memberikan sebuah cek list untuk memilih perusahaan yang terbaik. Dari cek list yang ada, ACES ini memenuhi semua syarat yang ada di buku tersebut. Jadi kurang apalagi untuk tidak memilih saham ini?

KRAS saya beli karena dia adalah satu-satunya perusahaan metal di Indonesia yang memiliki aset yang sangat besar. Perusahaan pesaingnya memiliki aset hanya puluhan atau ratusan miliar rupiah, KRAS memiliki aset hingga puluhan triliun rupiah. Apalagi saat ini KRAS sedang berusaha bertumbuh pesat. Kerjasama dengan pihak lain untuk membangun pabrik adalah salah satu usaha dia bertumbuh pesat. Walaupun rugi di tahun 2012, namun ruginya semata-mata karena rugi kurs, selain memang industri baja sedang tertekan dalam satu tahun belakangan ini.

JSMR saya beli karena dia adalah operator jalan tol di Indonesia. Siapa yang gak mau punya perusahaan yang sudah jelas pemasukannya setiap hari itu?

ABBA saya beli karena dia adalah pemilik harian Republika. Selain itu ABBA saya nilai sebagai satu-satunya media yang konsisten memberikan konten islami dalam produknya. Memang performanya tidak sebaik pesaingnya, tapi ya itu, karena nilai islaminya itulah saya senang membeli sahamnya.

ASII saya beli karena ya….tidak usah dibahas lagi. Toyota dan Daihatsu akan masuk ke pasar LCGC dalam waktu dekat. Bayangkan berapa peningkatan pendapatan ASII nantinya?

Yang penting saya harus konsisten dalam melakukan top up saham yang sudah saya pilih ini. Target saya sekarang adalah memegang 10,000 lembar saham untuk masing-masing perusahaan yang saya pilih. Khusus untuk ASII dan JSMR mungkin akan yang terakhir mencapai 10,000 lembar karena satu lot harga sahamnya saat ini paling tidak menelan biaya Rp 3 juta rupiah. Mileston pertama 10,000 lembar untuk masing-masing saham semoga tercapai sampai akhir 2013 ini.

Ayo kita investasi di pasar saham! {nice1}

Gambar diambil dari : https://encrypted-tbn2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcREnUf1JdruIWnzssEQDcH06aqzv8QKc1xZqhye-v9mBWlMCElV

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *