Semenjak seminggu lalu Pemerintah DKI Jakarta akhirnya mengumumkan kenaikan tarif angkutan umum. Saya hanya menyoroti angkutan umum bus sedang dan angkutan kota. Kenapa dua jenis angkutan umum ini yang saya sorot? Karena keduanya paling sering saya gunakan untuk aktivitas sehari-hari, karena selain jumlahnya cukup banyak di Ibukota Jakarta, angkutan kota ini merupakan angkutan kota yang sangat fleksibel. Anda bisa lewat jalan-jalan kecil dengan angkutan kota ini, bahkan seringkali angkutan kota ini lewat depan rumah anda.
Dalam seminggu ini baru sekali saya menggunakan angkutan umum untuk beraktivitas. Saya menggunakan mikrolet sekali dan bus sedang sekali. Jarak tempuh menggunakan mikrolet hanya sekitar satu kilometer, sedangkan jarak tempuh bus sedang sekitar tiga kilometer. Tarif keduanya Rp 3.000 untuk jarak yang saya tempuh. Tarif tersebut naik 50% daripada sebelumnya yang hanya Rp 2.000. Adakah perbaikan layanan yang saya dapatkan dengan saya membayar 50% lebih mahal?
Ternyata tidak!
Mikrolet yang saya naiki tetap ngetem di tempat seperti biasa dimana saya menaikinya. Bus sedang yang saya naiki pun tetap ngetem di tempat yang sama pula. Malah khusus bus sedang ini ngetemnya dua kali. Satu kali di tempat saya naik, dan satu lagi di perempatan biasa bus sedang ini mangkal. Paling tidak dari sisi ngetem terbukti tidak ada perbaikan layanan.
Dengan tetap ngetem angkutan umum ini mengurangi kepastian waktu temputh perjalanan para pelanggannya. Lamanya ngetem pun tidak menentu. Ada yang di bawah lima menit, namun ada juga yang sampai sepuluh menit. Satu-satunya hal yang membuat angkutan umum jalan dari ngetemnya adalah mendekatnya angkutan umum sejenis pada waktu tersebut. Dengan demikian, untuk menghindari diserobot oleh saingannya, maka angkutan umum ini pun meneruskan perjalanannya. Bayangkan jika tidak ada satu pun angkutan umum berikutnya yang muncul. Berapa lama ngetem itu akan dilakukan?
Mikrolet yang saya naiki fasilitasnya pun tetap. Konfigurasi kursinya sama saja. Tidak ada pendingin ruangan. Hanya memang ada sedikit musik tapi dari sebelum-sebelumnya pun tetap ada. Pintu belakang tetap dibuka dan dihalangi oleh kursi kayu untuk menambah jumlah penumpang yang dapat diangkut. Bus sedang pun sama saja. Konfigurasi kursi tidak berubah. Kondisi kendaraan pun begitu-begitu saja. Malah untuk yang satu ini tidak saya temukan kondektur bus yang biasa menarik tarif sewa. Untuk membayar sewa terpaksa saya harus menuju tempat supir terlebih dahulu.
Cara menyetir supir mikrolet dan bus sedang pun saya rasakan sama saja. Mikrolet berjalan sangat pelan saat supir berada di tempat dimana potensial pelanggan berada. Mikrolet berjalan sangat cepat, bahkan hingga kecepatan 80 km/jam saat dia merasa di tempat tersebut tidak ada pelanggan potensial. Artinya cepat lambatnya kendaraan bukan demi kepentingan pelanggan namun atas kepentingan supir. Bus sedang pun tidak berbeda. Supir menyetir kendaraan dengan sesuka hatinya. Serobot sana sini. Ambil jalur lambat dan masuk kembali ke jalur cepat walaupun bukan pada jalurnya. Satu-satunya yang membuat supir patuh untuk mengurangi kecepatan adalah saat ada pelanggan yang meminta naik atau meminta turun.
Lalu pertanyaannya, kenapa tarif naik kalau layanan, fasilitas dan keamanan terhadap penumpang tidak meningkat? Apakah cuma gara-gara harga BBM bersubsidi naik? Lalu referensi besaran kenaikannya itu dari mana ya? Apakah mentang-mentang BBM bersubsidi naik hampir 50% lalu tarif juga naik 50%? Memangnya biaya jasa angkutan umum semua komponennya adalah BBM? Tidak ada yang lainkah? Berapa persen kontribusi biaya BBM kepada biaya jasa angkutan umum sebenarnya?
Pertanyaan-pertanyaan itu sampai saat ini pastinya belum ada yang bisa jawab. Jadi sekarang kita hanya disuruh oleh pemerintah daerah kita, dimana pun kita berada untuk membayar lebih. Titik!
Baiklah, tidak ada pertanyaan lanjutan kalau begitu! {nice1}
Gambar diambil dari : http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2012/05/13359508441174435664.jpg