Aturan mengenai mobil murah kabarnya sudah ditandatangani Presiden SBY bulan Juli 2013 lalu. Dalam waktu dua bulan sejak aturan tersebut ditandatangani, tiga produsen mobil dari Jepang langsung mengeluarkan produk mobil murahnya lengkap dengan harga jual yang disarankan. Apalagi momen keluarnya produk mobil murah disertai dengan acara pameran mobil yang saat ini masih diadakan di Jakarta. Menurut beberapa berita yang saya baca, baik media massa maupun media online, produk mobil murah menjadi produk primadona para pengunjung pameran mobil tersebut.
Disebut mobil murah karena harga jual off the road mobil ini tidak boleh lebih dari Rp 95 juta dengan kondisi transmisi manual. Namun karena hal tersebut baru off the road, maka ada celah untuk para produsen memberikan harga jual yang lebih tinggi. Bisa murah karena bebas pajak, namun kandungan lokalnya harus mencapai 80% dalam kurun waktu 4 tahun. Diharapkan dengan aturan yang ditandatangani Presiden tersebut, industri lokal kita akan tumbuh untuk memasok komponen-komponen mobil murah yang dikeluarkan oleh para produsen mobil.
Industri lokal yang tumbuh akan meningkatkan gairah ekonomi negara. Malah dalam jangka panjang diharapkan mobil-mobil murah ini akan menjadi sumber ekspor kita yang selama ini lebih banyak mengimpor mobil dari luar. Masyarakat pun akan lebih mudah membeli mobil karena harganya lebih terjangkau. Ekspor tumbuh, industri tumbuh, pembelian masyarakat tumbuh maka secara ekonomi makro atau yang dikenal dengan produk domestik bruto (PDB) pun akan tumbuh. PDB adalah Key Performance Indicator (KPI) utama bagi pemerintah pusat. Sehingga tidak aneh bila PDB inilah yang menjadi visi pemerintah pusat dalam memberlakukan aturan mobil murah.
Namun di sisi lain pemerintah daerah, terutama di DKI Jakarta punya KPI lain. Seperti yang sudah diketahui banyak orang KPI utama di Jakarta cuma dua. Pertama banjir dan yang kedua kemacetan. Mobil murah tidak ada kaitan langsung dengan banjir, namun akan sangat berkaitan dengan kemacetan. Mobil murah akan semakin menambah jumlah mobil yang beredar di Jakarta. Dengan semakin banyaknya mobil yang beredar di Jakarta, tentu pemerintah daerah DKI Jakarta akan semakin sulit untuk mengatasi kemacetan. Oleh karena itu tak heran kalau Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo protes keras ke pemerintah pusat mengenai aturan mobil murah ini.
Pemerintah daerah (Pemda) DKI Jakarta sedang berusaha keras membangun angkutan umum massal yang nyaman untuk warganya harus mendapatkan tantangan baru lagi hasil “kerja keras” pemerintah pusat. Pemda DKI Jakarta saat ini sedang memperbaiki busway dengan menambah bus dan juga mengganti bus yang sudah tua. Di samping itu untuk memperluas segmen pengguna busway Pemda pun membuat tiket pembayaran non tunai di halte-halte busway. Kemudian untuk meningkatkan kepastian waktu tunggu pengguna busway, Pemda pun memasang GPS di bus-bus transjakarta dan lokasi bus-bus tersebut ditampilkan di halte busway.
Pemda DKI Jakarta pun sedang berupaya membangun MRT di Jakarta. Pembangunan dimulai tahun ini dan ketika baru saja mulai membangun sudah menghadapi tantangan dari beberapa warga di Fatmawati yang menuntut Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih menunaikan janjinya semasa kampanye. Di beberapa tempat pembangunan sudah berjalan, walaupun belum terlalu kelihatan progresnya.
Jangan lupa juga kalau Pemda DKI Jakarta saat ini sedang berupaya menertibkan jalan yang ada di pasar-pasar. Pasar Minggu dan Pasar Tanah Abang sudah menjadi contoh adanya keseriusan Pemda DKI untuk mengurangi kemacetan di Jakarta.
Sebenarnya tanpa adanya aturan mobil murah pun usaha untuk mengurangi kemacetan di Jakarta sudah sangat sulit. Begitu banyak permasalahan yang ada di Jakarta untuk mengatasi hal tersebut. Saat ini ditambah lagi satu masalah yang harus diselesaikan, bagaimana caranya mengurangi kemacetan di Jakarta dengan jumlah mobil yang semakin banyak beredar dalam beberapa tahun ke depan.
Untuk membuat hal ini semakin seru, pemerintah pusat pun membuat satu kebijakan baru yang kontroversial. Mobil murah dilarang pakai BBM bersubsidi!
Ketara sekali bahwa pemerintah pusat tidak memikirkan dampak sosial dari aturan mobil murah yang dikeluarkannya. Awalnya aturan mobil murah dikeluarkan agar masyarakat kalangan menengah ke bawah mampu membeli mobil. Jika memang segmen yang dituju adalah golongan itu, maka konsekuensi logisnya golongan tersebut pasti akan memilih bensin yang lebih murah untuk mobilnya dalam hal ini adalah BBM bersubsidi. Padahal di satu sisi kalau mobil murah laku keras dan semuanya menggunakan BBM bersubsidi maka ujung-ujungnya kuota BBM bersubsidi akan jebol.
Bagi saya tindakan pemerintah pusat membuat aturan mobil murah tidak salah. Apalagi aturan tersebut jelas KPI-nya. Namun sebuah aturan yang dibuat harus mempertimbangkan dampak-dampak ikutannya. Sebenarnya aneh jika Gubernur DKI Jakarta memprotes kebijakan pemerintah pusat yang orang-orangnya pun tinggal di propinsi DKI Jakarta. Ini seakan-akan seorang manajer memprotes kebijakan dewan direksi. Kalau manajernya saja tidak setuju dengan kebijakan dewan direksi artinya ada yang salah dengan manajemen perusahaan tersebut. Atau ini indikasi bahwa ada yang salah pada pejabat-pejabat yang mengurus negara ini, baik dari pusat maupun daerah. Jika para pejabat atau manajemen sebuah negara saja tidak sinkron antara satu dengan lainnya, maka bagaimana mereka bisa bahu-membahu membangun negara ini?
Sebenarnya ini kesempatan bagi pemda DKI Jakarta. Untuk mengatasi kemacetan di Jakarta, pemda dapat mengeluarkan aturan yang membatasi penggunaan mobil. Sekarang ini sebenarnya sudah banyak cara-cara yang dilakukan pemda DKI untuk membatasi penggunaan mobil. Tarif parkir di pinggiran Jakarta saja sudah sampai Rp 3 ribu per jam. Di tengah kota malah sampai Rp 4 ribu per jam. Malah ada rencana mau dinaikkan kembali tarif parkir tersebut. Parkir sembarangan di jalan pun sudah semakin sulit karena dinas perhubungan DKI Jakarta sudah melakukan operasi cabut pentil. Artinya jalan menuju pembatasan penggunaan mobil sudah ada, tinggal diresmikan saja gongnya sehingga orang benar-benar berpikir ribuan kali untuk menggunakan kendaraan pribadi.
Di lain pihak pemerintah pusat harus mendukung pemerintah daerah yang ingin membangun transportasi massal demi mengurangi kemacetan. Misalnya dengan membebaskan pajak impor kendaraan transportasi massal yang memang sampai saat ini belum ada yang dibuat di Indonesia (paling tidak dengan kualitas yang bagus). Atau bisa juga pemerintah mengalokasikan dana APBN untuk membantu pembangunan transportasi massal di daerah-daerah yang membutuhkan. Sebagai perbandingan, MRT di Jakarta saja yang pembangunannya diperkirakan sampai 2017 memakan biaya Rp 17 Triliun. Jika hitung-hitungan bodoh saja dari tahun ini hingga tahun 2017 jaraknya 4 tahun. Rp 17 Triliun dibagi 4 tahun artinya satu tahun membutuhkan dana Rp 4 Triliun lebih sedikit. Dana tersebut sangat kecil dibandingkan dengan dana subsidi BBM yang besarnya sampai ratusan triliun rupiah.
Namun tentu semua itu tergantung prioritas pemerintah kita. Mana yang lebih penting, mengatasi kemacetan sehingga hidup masyarakat lebih baik atau pertumbuhan ekonomi yang digadang-gadang sebagai KPI sebuah negara. Jika hanya berpatokan kepada KPI, maka impian masyarakat Indonesia, terutama yang tinggal di kota-kota besar untuk merasakan nikmatnya melakukan aktivitas tanpa macet, apa pun status sosialnya akan lebih mudah terwujud. Orang golongan menengah ke bawah bisa menikmati transportasi massal yang aman, nyaman dan harga yang terjangkau. Orang golongan atas bisa menikmati kendaraan pribadi tanpa merasakan kemacetan namun tentu dengan harga yang pantas atau mahal. Jadi ada harga ada rupa. Mau enak-enakan tanpa macet tapi di kendaraan pribadi, yah harus bayar lebih mahal lah. Adil namanya! {nice1}
Gambar diambil dari : http://www.hargamobilmurah.com/wp-content/uploads/2012/11/toyota-agya1.jpg