Seringkali kita melihat seorang pegawai negeri atau pejabat negeri ini hidup bergelimang harta. Mereka bekerja sebagai pegawai negeri atau pejabat dengan gaji yang cukup namun tidak akan membuatnya hidup bergelimang harta. Sebagai contoh untuk pegawai negeri, kalau bukan pejabat selevel menteri atau bupati atau gubernur, maka gajinya paling top hanya beberapa puluh juta rupiah. Itu sudah termasuk tunjangan-tunjangan resmi yang diterimanya. Dengan gaji beberapa puluh juta rupiah tersebut, hidupnya sudah pasti membaik, tapi pastinya tidak hidup bergelimang harta.
Nah yang seringkali membuat kita semua curiga adalah ketika seorang pegawai negeri yang baru beberapa tahun bekerja sudah hidup bergelimang harta dengan nilai kekayaan puluhan bahkan ratusan miliar rupiah. Dari mana orang tersebut mendapatkan kekayaan demikian banyak dalam waktu singkat? Apakah sebagai pegawai negeri diajarkan rahasia berinvestasi dengan mendapatkan keuntungan berlipat dalam waktu singkat? Tentu tidak!
Untuk kasus-kasus seperti ini kita seringkali curiga bahwa yang bersangkutan melakukan tindakan korupsi. Kenapa kita yakin bahwa yang bersangkutan korupsi? Yah itu tadi, kekayaan yang dihasilkan tidak wajar. Berapa sih sebenarnya kekayaan yang wajar bagi seseorang sehingga tidak akan ada yang curiga kalau dia itu melakukan tindakan korupsi walaupun sebenarnya melakukan hal tersebut?
Sebut saja nama Gayus. Baru beberapa tahun bekerja di Dirjen Pajak namun sudah memiliki kekayaan yang terkuak sebanyak lebih dari Rp 100 miliar. Kekayaan dia yang belum terkuak mungkin masih lebih banyak lagi. Kenapa Gayus dapat tertangkap? Itu karena Gayus tamak. Setiap koruptor yang tertangkap, kemudian diadili dan dijebloskan ke penjara, terutama disebabkan oleh ketamakannya, Saat dia tamak, ada saja satu dua orang yang melaporkan tindak tanduknya.
Padahal untuk menjadi koruptor di pegawai negeri dan tidak ketahuan syaratnya cuma satu. Tidak Tamak!
Supaya tidak tamak maka koruptor pun harus tahu berapa besar uang yang harus dikorupsinya sebelum akhirnya mengambil pensiun dini. Untuk itu, kembali ke tulisan saya sebelumnya, seorang koruptor harus menentukan dari awal gaya hidup yang ingin dijalankannya. Misalnya dia berkeinginan untuk menjalani gaya hidup yang biayanya sekitar Rp 30 juta per bulan. Untuk itu, dia harus berhasil mengkorupsi uang negara sebanyak Rp 6 milyar dan uang tersebut nantinya ditempatkan ke obligasi atau deposito atau pasar uang dengan return per tahun minimum 8%. Hasil dari penempatan dananya tersebut berupa uang sejumlah sekitar Rp 30 juta yang keluar ke tabungannya setiap bulan.
Artinya jika sudah mendapatkan uang sebanyak Rp 6 milyar rupiah hasil korupsi, dan memiliki keinginan untuk memiliki gaya hidup Rp 30 juta per bulan, tanpa memiliki keahlian investasi yang mumpuni, maka sebaiknya ambil pensiun dini dari pegawai negeri dan bebas melenggang dengan menikmati hasil korupsi yang membuatnya jadi bebas finansial.
Ketika sudah bebas finansial, maka si koruptor dapat mulai belajar sedikit-sedikit tentang investasi, properti, atau sekedar bisnis kecil-kecilan untuk menambah pendapatan pasifnya. Dengan status bebas finansial, akan lebih mudah untuk menambah pundi-pundi kekayaan karena si koruptor tidak lagi disibukkan oleh urusan pekerjaan. Keluarganya sudah terjamin dengan pendapatan pasifnya. Dia punya lebih banyak waktu untuk memutarkan uangnya ke usaha-usaha legal (dalam hal ini namanya tindak pidana pencucian uang), dan mendapatkan keuntungan dari usaha-usahanya tersebut.
Rasanya bagi pegawai negeri yang memang niat untuk korupsi tidak sulit untuk mendapatkan uang korupsi sebesar Rp 6 milyar. Katakanlah dia berada di “tempat kerja yang basah” dengan pendapatan tambahan siluman per bulan sebesar Rp 50 juta. Hanya dengan kurun waktu 120 bulan atau 10 tahun bekerja, maka Rp 6 milyar dapat dipenuhi. Itu kalau pendapatan silumannya Rp 50 juta. Bagaimana bila pendapatan silumannya Rp 1 milyar per tahun? Mungkin dia hanya perlu bekerja 6 tahun untuk mencapai bebas finansial dan pensiun dini.
Seperti yang saya bilang sebelumnya, koruptor cenderung tamak dan akhirnya tertangkap. Bila seorang koruptor tidak tamak dan mengerti mengenai bebas finansial, maka dalam beberapa tahun bekerja di tempat kerja yang basah, dia akan mencapai tujuannya yaitu bebas finansial. Jika tujuannya sudah terpenuhi, maka dia pun harus pensiun dini untuk menyelamatkan harta yang telah dikorupsinya.
Jika koruptor itu melakukan hal ini, maka dia adalah koruptor pintar. {nice1}
Gambar diambil dari : http://3.bp.blogspot.com/_zsSwrHI3rOw/TNTW24NG2DI/AAAAAAAAACI/yVRw1NdVYOk/s1600/koruptor.jpg