Begitu saya tahu bahwa komunitas fotografi di kantor saya ingin mengadakan trip ke Gunung Padang, saya langsung mendaftarkan diri saya untuk ikut trip tersebut. Bahkan saya sengaja membatalkan kunjungan ke lapangan demi ikut ke Gunung Padang. Dengan berbagai cara saya pun berhasil menggagalkan diri saya untuk pergi ke lapangan dan mendaftar untuk ikut trip tersebut.
Di hari-H kami berangkat setelah jam kantor. Menurut informasi dari panitia, kami akan berangkat dengan bus 3/4 tepat pukul 16.00. Namun seperti biasa jika kegiatan tersebut melibatkan banyak orang dan tidak menentukan nasib seseorang, maka keberangkatan pun terpaksa diundur walaupun tidak terlalu lama, yaitu pukul 16.30
Gunung Padang terletak di daerah sekitar Cianjur. Untuk menuju ke sana kami lewat jalur puncak. Jumat sore jalur menuju puncak macet sejak dari Gadog. Sebelum Maghrib kami telah sampai di Gadog, namun hingga hampir pukul 20.00, kami baru saja melewati Taman Safari. Kami pun mampir di salah satu restoran di tepi jalan dan memulai makan malam. Berdasarkan informasi dari panitia, makan malam ini bayar sendiri-sendiri. Eh gak taunya ketika waktunya bayar, panitia memutuskan untuk membayarkan seluruh tagihan makanan. Tentunya yang tidak pesen makan atau yang ragu-ragu saat pesan makanan pastinya menyesal. Saya sendiri hanya memesan minuman karena siangnya sudah makan kenyang karena ada yang ulang tahun di kantor.
Setelah makan perjalanan dilanjutkan ke tempat tujuan. Seluruh peserta di dalam bus terlelap saat perjalan tersebut. Tentu saja karena perut sudah kenyang. Kami sampai di tempat tujuan sekitar pukul 23. Cuaca saat itu gerimis. Kami langsung menuju penginapan yang berjarak kurang lebih 200 meter dari tempat berhenti bus. Tadinya ada rencana opsional yaitu memburu foto bulan purnama. Yah karena ini adalah trip komunitas fotografi, maka perburuan foto adalah tujuan utamanya. Namun rencana tersebut gagal karena selain menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, cuaca pun tidak mendukung. Bulan purnama tidak terlihat. Jadi, tak ada perburuan foto bulan purnama malam itu.
Kami menginap di rumah juru kunci Gunung Padang. Namanya Pak Nanang. Dia menjelaskan tentang sejarah gunung padang berdasarkan tinjauan arkeologi, warisan turun temurun dan juga spiritual. Penjelasannya cukup panjang, banyak dari kami yang tertidur saat mendengarkan penjelasannya. Bahkan beberapa rekan yang tertarik dengan ceritanya pun diberi kode untuk tidak bertanya agar kami semua cepat tidur. Akhirnya kami semua menuju tempat tidur menjelang pukul 1 pagi. Saya sendiri langsung tidur, entah yang lainnya. Soalnya rencana selanjutnya adalah berburu foto matahari terbit di teras Gunung Padang.
Kesan yang saya tangkap dari penjelasan Pak Nanang adalah banyaknya istilah Sunda kuno yang tak tahunya adalah singkatan. Singkatan tersebut bisa dalam bahasa Sunda, Indonesia bahkan bahasa Inggris sekalipun. Salah satu istilah yang diberitahukan juru kunci adalah Sannekkalla. Menurut sang juru kunci istilah itu digunakan untuk menasehati anak-anak di kampung tersebut saat menjelang maghrib. Istilah tersebut menurut sang juru kunci berasal dari 3 kata. San-Nek-Kalla. Pertama San yang diambil dari kata Sun (Inggris) yang berarti matahari. Kedua Nek yang diambil dari kata Next (Inggris) yang berarti selanjutnya. Ketiga Kalla yang diambil dari kata kalah (Indonesia) yang artinya kalah. Dengan demikian secara harfiah istilah tersebut berarti saat matahari akan tenggelam. Cocok untuk istilah yang digunakan dimana mengingatkan anak-anak saat menjelang Maghrib.
Pukul 4.30 semua orang sudah bangun. Yang shalat Subuh menunaikan ibadahnya terlebih dahulu. Kemudian siap-siap berangkat menuju situs Gunung Padang yang jaraknya mungkin hanya 500 meter dari rumah sang juru kunci. Ada dua jalur menuju situs. Jalur terjal dan jalur landai. Kami semua memilih jalur landai karena lebih dekat dari penginapan.
Jalan menanjak dengan banyak anak tangga pun kami lewati walaupun disebut sebagai jalur landai. Kabarnya untuk jalur terjal jaraknya lebih pendek namun tangganya tinggi-tinggi. Setelah berjalan menanjak diselingi istirahat beberapa kali, kami pun sampai di teras pertama Gunung Padang dalam waktu 10 menit.
Hari masih gelap sehingga senter menjadi satu-satunya harapan kami agar jalur menanjak tersebut terlihat. Jalur tersebut sudah bagus, anak tangganya sudah disemen. Jadi tidak licin walaupun malam sebelumnya hujan. Saat sampai di teras pertama, masing-masing mencari posisi untuk menunggu matahari terbit. Saat matahari terbit memang sangat indah dengan siluet warna oranye yang memikat hati. Saya yang hanya membawa kamera poket lebih senang menunggu saat-saat terindah ketika matahari terbit dan lebih sibuk untuk streaming acara bola piala dunia yang tidak dapat dilihat dini hari sebelumnya. Apalagi kabarnya Spanyol dini hari sebelumnya dibantai 5 – 1 oleh Belanda. Semakin semangat saya mencari cuplikan gol-golnya. Keadaan tersebut didukung oleh sinyal 3G yang lumayan saat berada di teras pertama Gunung Padang.
Saat matahari mulai terbit saya pun ikutan rekan-rekan yang lain memfoto matahari yang sedang terbit. Saya hanya mengambil beberapa gambar dan mulai tertarik kepada cerita arkeologi Gunung Padang daripada foto-foto. Kebetulan sang juru kunci berada di tempat tersebut. Begitu mulai terang saya pun mulai bertanya-tanya seputar gunung padang kepada sang juru kunci. Dia menjelaskan dengan seksama dan menunjukkan yang namanya batu bonang, batu kecapi, mahkota dunia, jejak maung dan batu angkat.
Penjelajahan saya di Gunung Padang tentu sampai teras terakhir, yaitu teras kelima. Rupanya jarak ketinggian muka tanah antara teras pertama dengan kedua agak tinggi, sekitar 5 meteran. Namun dari teras kedua dan seterusnya jarak ketinggian muka tanahnya masing-masing cuma setengah meter. Sehingga begitu menginjakkan kaki ke teras kedua langsung terlihat hamparan situs hingga ke teras kelima.
Sekitar pukul 8 pagi kami pun beranjak dari Gunung Padang menuju penginapan. Seperti biasa sebelum balik kita foto-foto terlebih dahulu. Semua orang masuk dalam foto tersebut. Untuk bukti pengeluaran ke kantor karena sebagian biaya trip kami disubsidi oleh kantor. Kami balik ke penginapan lewat jalur naik tadi. Tentu karena sekarang arahnya turun, waktunya pun lebih singkat. Namun entah kenapa saat turun tanah dan tangganya terasa lebih licin daripada saat naik.
Sampai di penginapan sudah disiapkan sarapan oleh tuan rumah. Menu sarapan adalah ikan goreng, lodeh jantung pisang, tahu, tempe, krupuk dan tidak lupa sambal. Semua orang makan dengan lahap. Beberapa malah terlihat nambah, padahal yang nambah itu orangnya kecil.
Sehabis makan kami semua siap-siap dan mandi untuk melanjutkan perjalanan sekaligus check out dari penginapan.
Perjalanan selanjutnya adalah ke stasiun kereta Lampegan. Yang unik dari stasiun ini adalah terdapat terowongan sepanjang 686 meter. Terowongan tersebut tidak dijelajahi oleh siapapun yg ikut dalam rombongan kami. Semua hanya berkumpul di mulut terowongan dan beberapa masuk ke dalam terowongan tapi tidak terlalu jauh ke dalam.
Di samping ada terowongan, di stasiun tersebut kami diberikan kesempatan untuk melihat langsung alat persinyalan kereta api yang sudah ada sejak jaman Belanda. Kepala stasiunnya dengan ramah menjelaskan sejarah stasiun tersebut yang ternyata pernah ditutup untuk beroperasi selama beberapa saat karena sedang dilakukan renovasi terhadap terowongan sepanjang 686 meter tersebut.
Setelah itu kami naik angkot menuju Curug Cikondang. Karena jumlah kami 16 orang, maka kami pun menyewa dua angkot. Beban dibagi sama rata, 8 orang untuk masing-masing angkot. Bus kami tetap di stasiun untuk menunggu kami balik lagi. Perjalanan ke Curug Cikondang hanya dapat dilalui dengan mobil kecil. Jalan menuju kesana cukup rusak, bahkan sang supir angkot mengeluh dengan kondisi jalan tersebut dan sempat berhenti sejenak di tengah-tengah ketika dia takut angkotnya akan rusak karena kondisi jalan yang memang tidak bersahabat. Namun dengan kemampuan persuasif yang tinggi dari panitiaa akhirnya kami pun sampai ke tempat menuju Curug Cikondang, walaupun sempat jalan kaki sekitar 100-200 meter karena supir angkotnya ngambek.
Makan siang adalah hal pertama yang kami lakukan setelah sampai karena memang sudah waktunya makan saat itu. Setelah makan siang di sebuah warung, beberapa orang tetap di tempat makan siang. Sisanya berjalan menuju air terjun yang konon banyak mengandung merkuri karena ada penambangan emas liar di sana.
Air terjunnya sendiri cukup indah. Perjalanan menuju ke air terjun pun tidak terlalu berat. Namun sayangnya di beberapa tempat ditemui sampah-sampah plastik yang dibuang sembarangan oleh pengunjung-pengunjung sebelumnya. Sungguh disayangkan kondisi demikian. Mungkin juga karena air tersebut dikabarkan mengandung merkuri, tidak ada satu orang pun saya lihat berenang di air terjun yang saat itu kebetulan sedang menunjukkan keindahannya karena debit airnya yang cukup besar.
Balik dari Curug Cikondang kami kembali naik angkot. Sang supir angkot meminta agar kami melwati jalur memutar dan bertemu dengan bus kami di suatu tempat di jalan utama Cianjur. Panitia setuju, sebenarnya bukan setuju, tapi karena tidak ada pilihan lain karena si supir tidak mau melewati jalur yang kami lewati saat menuju tempat ini. Tentunya si supir juga meminta bayaran tambahan karena jalur memutar ini jaraknya bisa lebih dari 2 – 3 kali daripada jalur seharusnya.
Akhirnya setelah berkendara selama kurang lebih satu jam, sampai semua cerita diceritakan, sampai ada yang tertidur, sampai ada yang pantatnya tepos, sampai ada yang merasa dipukuli orang sekampung, angkot pun bertemu dengan bus di sebuah SPBU di jalan raya Puncak – Cianjur. Tingkat kelelahan para peserta trip sudah pada puncaknya karena digoyang oleh angkot sejam lebih. Lelah trip kali ini sebagian besarnya disebabkan oleh perjalanan angkot yang memutar dengan kondisi jalan rusak.
Begitu sampai di bus, kami pun melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Beruntung bagi kami menjelang Maghrib ada buka satu arah menuju Jakarta. Sehingga sebelum pukul 8 malam kami sudah dapat keluar dari Gadog menuju tol Jagorawi. Tentunya kami mampir dahulu ke restoran di rest area Jagorawi dan lagi-lagi biaya makan ditanggung oleh panitia.
Paling tidak kelelahan kita saat naik angkot sedikit berkurang karena uang tidak perlu keluar untuk bayar makan malam. Uang dapat digunakan seluruhnya untuk biaya taksi dari tempat akhir perjalanan ke rumah masing-masing. Saya pun senang dengan trip kali ini. Trip yang sangat berharga karena dapat melihat secara langsung situs Gunung Padang yang konon umurnya lebih dari 5000 tahun sebelum masehi atau lebih tua daripada umur piramida di Mesir. Jika memang terbukti lebih tua daripada Mesir, maka bisa jadi pusat awal peradaban dunia ada di Indonesia, atau tepatnya di daerah sekitaran Cianjur yang sekarang bernama Gunung Padang. {nice1}