Ketika bulan puasa hampir semua (hanya beberapa saja yang tidak) masjid menyediakan makanan berbuka puasa atau dikenal dengan nama takjil. Takjilnya mulai dari sekedar makanan kecil khusus untuk membatalkan puasa sampai ke makanan besar berupa nasi bungkus, kotak atau mungkin prasmanan untuk dinikmati jamaah. Bagi saya ini adalah kebiasaan yang bagus dan saya senantiasa menunggu menu berbuka di masjid yang biasa saya kunjungi untuk mencicipi takjil bahkan makan besar di masjid tersebut.
Beberapa teman kantor saya kurang setuju jika saya dan dia mengambil makanan takjil berbuka puasa dari masjid. Menurut dia, takjil tersebut hanya untuk orang-orang yang tidak mendapatkan makanan berbuka puasa dari mana pun. Sedangkan saya dan dia seringkali dapat makanan berbuka puasa dari kantor ketika kami sedang overtime.
Ada juga orang yang sengaja tidak mengambil takjil di masjid dan lebih memilih pulang dan berbuka di rumah dengan alasan yang kurang lebih sama. Dia merasa tidak berhak menerima takjil tersebut dari masjid, merasa mampu sehingga tidak menyentuh takjilnya, mungkin hanya meminum seteguk air yang diberikan atau beberapa buah kurma yang disajikan.
Untuk kondisi pertama dengan teman kantor saya kurang setuju dengan pendapatnya. Sedangkan untuk kondisi kedua saya menghargai pilihannya. Kenapa yang pertama saya kurang setuju?
Takjil yang disediakan di masjid bertujuan agar umat Islam yang berpuasa dapat langsung menyegerakan berbuka dan mendapatkan giliran pertama untuk Shalat Maghrib berjamaah. Jika memang sudah memiliki menu makan besar sendiri, tidak ada salahnya mengambil satu gelas air takjil ditambah satu dua menu takjil yang biasanya kurma dan makanan kecil. Karena menurut hadist Nabi Muhammad SAW yang saya ketahui, orang yang menyediakan makanan berbuka puasa kepada orang lain akan mendapatkan pahala orang yang berpuasa tersebut tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu.
Jadi, bisa saja orang yang menyempatkan waktunya untuk menyiapkan takjil di sebuah masjid pada dasarnya dia ingin mendapatkan barokah dari hadist nabi tersebut. Jika kita tidak mencicipi takjil yang disiapkannya, apakah itu tandanya kita tidak ingin berbagi dengan orang lain? Apakah kita hanya ingin pahala puasa dinikmati sendiri?
Mungkin pertimbangan teman kantor saya tidak sampai seegois itu. Namun jika dia sengaja tidak datang ke masjid karena takut mengambil hak orang lain yang sedang berpuasa dan tidak mendapatkan takjil, sebenarnya tindakannya sangat mulia, namun di saat yang sama dia juga mengambil hak orang lain (yaitu orang yang menyediakan takjil) untuk mendapatkan pahala puasa dia. Padahal dengan dia mencicipi satu gelas air (saya rasa kalau satu teguk terlalu sedikit, karena kebanyakan takjil sudah dalam bentuk air di gelas dan tidak dibagi-bagikan ke orang lain dengan gelas yang sama), maka sebenarnya dia telah mentransfer pahala puasa dia ke orang lain tanpa pahala puasa dia dikurangi.
Apakah bila dia mencicipi takjil dan kemudian pulang ke rumah, orang rumahnya (ibu atau istrinya) tidak mendapatkan pahala puasa dia? Saya belum mengetahui ketentuan tersebut, tapi jika dari hadist nabi yang saya dengar tidak ada satu pun perkataan tersebut yang bilang berbuka pertama kalinya. Artinya siapa pun yang menyediakan makanan dengan tujuan berbuka puasa, baik digunakan untuk berbuka pertama kalinya atau berbuka kedua kalinya karena sebelumnya yang bersangkutan sudah menikmati takjil, rasanya tetap mendapatkan pahala orang yang berpuasa tersebut. Bisa saja saya salah akan persepsi hadist ini, tapi rasanya Allah dan Nabi kita tidak ada membeda-bedakan hal ini.
Jadi bagi saya, karena adanya hadist ini membuat saya selalu menunggu menu takjil hari itu. Airnya apakah air kemasan atau teh manis? Makanan kecilnya apakah hanya kurma atau ada gorengannya? Apakah ada makanan besar yang dikasihkan oleh pengurus masjid kepada setiap orang yang berbuka di masjid?
Jika kita memilih untuk tidak mengambil takjil atau makanan besar yang disediakan masjid dan kebetulan makanan itu sisa, maka siapa yang kemudian memakannya? Apakah dibuang? Apakah dimakan oleh pengurus masjid lain yang juga sebenarnya orang mampu? Apakah jadinya dimakan oleh orang yang sebenarnya sudah kenyang tapi karena takut mubazir dia terpaksa memakan satu lagi?
Bagaimana kalau kurang?
Yah tentunya kita dapat memperkirakan jumlah jamaah yang ada saat itu. Jika kira-kira jumlah jamaah Shalat Maghrib saat itu sangat membludak, katakanlah biasanya 3-4 shaf, tapi kali ini hingga 10 shaf, maka sebaiknya kita tidak mengambil makanan besarnya, cukup menikmati takjilnya yang berupa segelas air minum dan beberapa makanan kecil. Namun jika biasanya 3-4 shaf dan kemudian hanya 1 shaf, alangkah mulianya jika kita mengambil jatah makanan besar yang disediakan masjid.
Pengurus masjid lebih senang bila makanan yang disediakan habis, daripada sisa banyak dan terbuang percuma, karena beberapa makanan yang disediakan saat berbuka adalah makanan basah yang tidak tahan lama untuk disimpan.
Jadi lain kali ke sebuah masjid untuk berbuka, silakan nikmati takjilnya, dan lihat jumlah orang yang shalat saat itu. Kalau kira-kira jumlahnya wajar, maka ambillah satu jatah makan besar yang disediakan. Paling tidak anda tidak menjadi andil makanan sisa yang terbuang percuma. Padahal di belakang layar ada orang yang sudah susah-susah menyiapkannya agar mendapatkan pahala kita, yaitu pahala orang yang berpuasa. {nice1}
Gambar diambil dari : http://www.andikafm.com/images/news/real/44379_620.jpg