Waktu saya kecil dan mendengar kata Riba, maka saya dijelaskan bahwa Riba itu adalah kelebihan dari pinjaman. Kelebihan ini biasanya kita kenal dengan nama Bunga. Dan biasanya yang menjalankan Riba adalah rentenir yang biasa mengambil keuntungan dari orang yang lemah. Sedangkan Riba yang ada di institusi resmi seperti bank, masih banyak yang memperbolehkan, termasuk juga pandangan saya akan Riba saat itu terbatas kepada rentenir dan peminjaman uang kepada orang-orang pribadi.
Jadi, selama ini kita secara sengaja maupun tidak sengaja sudah mempraktekan Riba dalam kehidupan sehari-hari. Simpanan uang di bank adalah bentuk paling sering adanya Riba di kehidupan kita. Pinjaman KPR, KPA, KPM adalah bentuk-bentuk lain dari Riba yang masih diijinkan oleh sebagian orang. Biasanya alasan untuk membenarkan praktek Riba adalah, bila tanpa KPR kapan kita bakal punya rumah?
Alasan-alasan tersebut sangat masuk akal dan sangat sesuai dengan kondisi kita sekarang ini. Bagi yang baru beberapa tahun bekerja akan sangat sulit baginya memperoleh rumah secara kas keras. Jadi, seakan-akan KPR menjadi satu-satunya alternatif untuk memiliki rumah. Riba atau tidaknya tutup mata. Yang penting caranya legal dan sah menurut hukum yang berlaku di negara ini.
Yang jadi permasalahan adalah, Riba itu jahat. Jahat karena ini adalah salah satu dosa yang biasanya dibalas oleh Allah saat masih di dunia. Biasanya kalau orang gak sholat, gak puasa, balasannya gak langsung di dunia, tapi khusus Riba, balasannya langsung di dunia.
Ketika kita membicarakan balasan Riba, tentu bukan hal mengasyikan. Balasan atas perbuatan dosa biasanya sangat sakit dan tentunya tidak menyenangkan.
Saya akan berbagi tentang ngerinya Riba yang pernah dialami oleh keluarga saya. Waktu itu awal tahun 2000-an. Saya masih baru mendapatkan pekerjaan. Untuk urusan rumah tangga sepenuhnya masih ditanggung oleh Papa.
Alhamdulillah di awal tahun 2000-an itu rejeki Papa cukup banyak. Saya memang kebagian cipratannya dengan dibelikan sebuah mobil Fiat Uno tahun 90-an. Karena sudah bekerja tentu segala perawatan sehubungan dengan mobil tersebut menjadi tanggung jawab saya sepenuhnya.
Rejeki yang banyak itu kemudian diputar dalam sebuah investasi yang Papa maupun Mama saya tidak memiliki keahlian di dalamnya. Return yang ditawarkan oleh orang yang mengelola investasi tersebut cukup menggiurkan. Seminggu bisa 2% dan nilai pokok bisa ditarik sewaktu-waktu.
Sebulan pertama pembayaran lancar. Papa dan Mama saya bertekad untuk top up investasi tersebut karena melihat bahwa hasilnya sungguh sangat besar. Bahkan saat itu kami sekeluarga membeli sebuah mobil baru yang harganya cukup mahal. Walaupun bisa membeli secara tunai, namun Papa dan Mama memutuskan untuk membeli secara kredit dengan DP kecil dan bulanan yang cukup besar. Kata mereka uangnya diinvestasikan saja, nanti sebagian hasil investasi buat bayar cicilan mobil itu.
Bulan-bulan pertama sangat asyik. Uang dari hasil investasi mencapai dua digit jutaan per bulannya. Semua merasakan manfaatnya. Saya pun walaupun tidak merasakan adanya kelebihan uang jajan (karena sudah kerja) juga ikut senang, karena paling tidak bisa merasakan mobil baru yang lebih nyaman daripada mobil saya yang diberikan oleh Papa.
Tapi keasyikan tidak berlangsung selamanya. Return investasi tiba-tiba seret dan akhirnya tidak ada lagi. Di saat bersamaan pendapatan Papa dari proyek-proyeknya pun seret, sedangkan gaya hidup kami sekelurga sudah berubah karena pendapatan yang tadinya besar itu.
Selama beberapa tahun kemudian Papa pun berjuang sangat keras agar keadaan keuangan keluarga kami pulih kembali. Pernah dia berkata sekali ke saya bahwa uang tabungannya sudah sangat tipis, karena salah satunya harus membayar cicilan mobil yang jumlahnya sangat besar tersebut.
Akhirnya setelah berhasil melunasi cicilan mobil, kondisi keuangan keluarga mulai pulih dan Papa sepertinya dapat kembali menambah pundi-pundi tabungannya lagi. Dengan tidak adanya cicilan dan return investasi yang keduanya jelas-jelas Riba memudahkan Papa saya untuk menyelamatkan kondisi keuangan keluarga kami.
Kejadian yang sama terjadi pada saya beberapa tahun setelah kejadian yang menimpa keluarga saya. Kali ini kejadiannya kepada keluarga inti saya, yaitu saya, istri saya dan anak-anak saya.
Kejadian bermula dari tawaran sebuah bank dengan mendapatkan sebuah handphone kelas atas ternama saat itu dengan hanya menabung beberapa puluh juta di bank tersebut dan uangnya diparkir selama beberapa tahun.
Kebetulan kami punya saldo lebih besar daripada saldo minimum yang dipersyaratkan. Jadilah saya mengambil tawaran tersebut dan mendapatkan sebuah handphone high end yang tercanggih saat itu. Istri saya mengambil tawaran sejenis setahun kemudian dari bank yang sama juga. Benar-benar keren bahwa kita mendapatkan handphone tanpa mengeluarkan uang sepeser pun.
Saat saya mengambil tawaran itu kira-kira bertepatan dengan anak pertama saya umur satu tahun. Anak saya ini sejak lahir hingga umur satu tahun hanya satu atau dua kali pernah sakit. Entah kenapa sejak umur satu tahun sakitnya jadi makin sering.
Sebulan sekali paling tidak kami harus bolak-balik dokter karena dia sakit. Memang jika masih kecil atau bayi rutin ke dokter, tapi biasanya untuk imunisasi. Namun ini karena sakit. Macam-macam lah. Batuk. Panas. Flu. Malah ada saatnya tiap minggu kita harus bolak-balik rumah sakit karena sakitnya nambah terus.
Begitu adiknya lahir pun bolak-balik rumah sakit tidak berhenti. Kalau ada anak yang sakit di rumah, panas, flu, batuk, pasti menular ke yang lain. Ada saatnya hari ini kami ke rumah sakit karena kakaknya panas, dua atau tiga hari kemudian balik lagi ke rumah sakit karena adiknya panas. Kunjungan ke rumah sakit malah lebih sering dilakukan anak-anak kami daripada kunjungan ke tempat hiburan atau mal.
Tiba-tiba handphone yang saya dapatkan dari menabung di bank tersebut rusak. Rusak total tidak bisa dipakai lagi. Saya pun kemudian membeli penggantinya, walaupun tadinya berharap ada penawaran sejenis lagi sehingga tidak perlu mengeluarkan uang untuk beli handphone.
Handphone saya rusak setelah empat tahun bersama saya. Sedangkan uang saya harus dipendam dalam bank lima tahun lamanya. Bahkan saat saya menulis artikel ini, lima tahun tersebut belum berlalu.
Dalam membeli handphone pengganti saya pun menggunakan cicilan kartu kredit saya. Cicilannya 12 bulan. Tapi ternyata tidak hanya itu saja cicilannya. Ada empat atau lima cicilan serupa yang nilainya berbeda-beda. Pada akhirnya saya harus menanggung cicilan yang cukup besar tiap bulannya untuk barang yang cukup banyak tersebut.
Lalu tanpa ada niat untuk lepas dari Riba, saya pun merasa cicilan sudah cukup banyak dan ketika membeli gadget terakhir, saya pun membelinya dengan tunai. Cicilan-cicilan yang banyak itu perlahan-lahan terbayar dan saat ini sisanya sudah sangat-sangat ringan. Saya pun berniat untuk tidak lagi menambah cicilan-cicilan tersebut di kemudian hari. Cukup itu saja.
Lalu tiba-tiba semuanya berubah dalam beberapa bulan terakhir ini. Anak-anak saya, kedua-duanya sudah hampir tiga bulan terakhir ini tidak pernah harus berkunjung ke rumah sakit. Sebelumnya, kunjungan ke rumah sakit sudah sangat berkurang. Memang ketika yang satu sakit yang lain ada potensi ketularan. Tapi sekarang semuanya sehat-sehat saja. Alhamdulillah.
Dari dua kejadian yang saya alami terdapat dua kesamaan. Saat Riba kita nikmati, maka ada saja permasalahan yang menghinggapi kita. Bisa berupa keuangan keluarga maupun permasalahan keluarga lainnya. Untuk kasus saya permasalahan lain berupa anak yang harus bolak-balik rumah sakit karena kerap kali sakit.
Jelas bahwa permasalahan yang dialami saat menikmati Riba bisa bermacam-macam. Kita sendiri tidak tahu permasalahannya apa. Bisa saja keluarga yang tadinya harmonis menjadi tidak harmonis tanpa disadari. Bisa saja karir yang tadinya cemerlang tiba-tiba kena PHK. Bisa saja usaha yang tadinya sukses tiba-tiba jadi bankrut. Bisa apa saja sehingga bahkan kita tidak tahu kalau akar permasalahannya adalah dari Riba itu sendiri.
Oleh karena itu, mari kita tinggalkan Riba. Perlahan-lahan boleh. Ekstrim boleh. Riba yang sedang berjalan, ya diselesaikan paling tidak sesuai waktunya. Lebih cepat lebih baik. Yang penting tidak membuat sebuah Riba baru di kemudian hari.
Dalam beberapa bulan ke depan saya dan keluarga akan menghadapi cobaan baru lagi terhadap Riba. Pendapatan kami (terutama istri) tahun ini meningkat. Tentunya tawaran Riba sangat banyak di depan mata. KPR, investasi dengan return tetap yang tinggi, asuransi dan produk-produk Ribawi lainnya siap menghadang di depan mata.
Apakah kami sanggup menghadapi cobaan-cobaan itu? Mungkin bila kami lihat dua kejadian di atas, kami akan berpikir dua tiga kali untuk kembali. Tapi terkadang godaan Riba sangat besar. Apalagi saat ada yang komentar, “Orang lain juga melakukannya kok!”
Doakan ya agar kengerian Riba tidak lagi masuk ke keluarga kami.
Amin
Bagaimana cara mengatasinya riba pada diri sendiri