Ikut Kajian KEY FAST Episode #8

Kajian Episode #8 agak sedikit berbeda dengan kajian-kajian sebelumnya. Bukan isi kajiannya, tapi waktu kajiannya. Jika Episode #5 hingga Episode #7 dilakukan di pagi hari dan berakhir pada waktu Zuhur, kajian episode kali ini dimulai setelah Zuhur. Ba’da Zuhur nama bekennya.

Mas Weemar yang biasanya tepat waktu pun kali ini terlambat. Alasannya sungguh sangat aneh dan membuat kami-kami tertawa mendengarnya. Itulah yang namanya Qada menurut kajian Episode #4. Dia berkali-kali meminta maaf kepada kami semua atas keterlambatannya itu.

Minta maafnya itu adalah aplikasi dari Episode #7 dimana ada check list Wajib yang harus ditaati, yaitu Tepat Waktu, Amanah dan Profesional. Sekaligus menghindari check list Haram yang harus ditinggalkan yaitu Tidak Melakukan Kedzoliman dan Aniaya kepada orang lain seperti : ingkar janji, tidak amanah, berkhianat, tidak melunasi hutang, dsb.

Judul kajian Episode #8 adalah : TIME IS YOURS. Ayat yang wajib dihapal pada kajian kali ini adalah Surat As Saff ayat 9 – 11.

Episode #7 ditutup dengan pertanyaan : Apakah tantangan terbesar dalam Hijrah? Di kajian kali ini tantangan tersebut terjawab. Yaitu Al-Wahn. Cinta Dunia dan Takut Mati!

Kajian dimulai dengan kembali merujuk kepada FAST model seperti di kajian Episode #1.

Informasi –> Pikiran –> Keyakinan –> Tindakan –> Habits –> Kepribadian

Jika informasi yang diterima hanya informasi mengenai Islam yang berasal dari pencipta, maka ujung-ujungnya kepribadian yang dihasilkan merupakan kepribadian yang Islami. Sayang sekali saat ini sungguh sulit menggambarkan kepribadian yang Islami itu seperti apa. Film-film yang beredar saat ini, baik di bioskop, televisi, maupun di dunia maya, tidak ada satu pun yang menggambarkan kepribadian Islami yang sebenarnya.

Oleh karena itu untuk mendapatkan gambaran mengenai sebuah kepribadian yang khas, Mas Weemar memberikan contoh sebuah film terkenal (yang rasanya kurang begitu laku di bioskop) sebagai ilustrasi. Dia menjelaskan bahwa di film itu kepribadian peradaban tersebut memiliki kebiasaan yang sangat khas. Mulai dari bangun pagi, minum teh, cara makan, cara berpakaian, bentuk rumah, ketaatan kepada pemimpin, perilaku wanitanya, bahkan kebanggaan untuk membela tanah airnya. Semua digambarkan dengan sangat detail oleh film tersebut, padahal durasi penggambarannya hanya kurang dari tujuh menit.

Kembali ke jawaban atas pertanyaan episode lalu, yaitu Cinta Dunia dan Takut Mati. Yang paling besar menjadi hambatan manusia untuk meninggalkan dua hal tersebut adalah mengenai rejeki. Konsep rejeki kita harus diperbaiki pemahamannya.

Saya berpendapat rejeki itu harus diusahakan. Tanpa diusahakan maka manusia tidak akan mendapatkan rejeki. Apakah itu benar? Ini menurut Mas Weemar adalah pemahaman rejeki yang salah tipe pertama.

Pertanyaan dari Mas Weemar sungguh sangat sederhana namun sulit sekali untuk diterima. Jika memang kita tidak berusaha tidak akan menerima rejeki, lalu selama ini kita kok bisa hidup enak sampai sarjana tanpa mikir sedikit pun untuk cari rejeki. Semua sudah di depan mata. Tempat tinggal tersedia. Makanan ada yang memasakkan. Jika tidak ada yang memasakkan, paling tidak bisa dibeli. Transportasi ada aja uangnya untuk itu. Lalu, bila semuanya sudah ada untuk kita nikmati dari kecil, apakah kita layak kuatir gak dapat rejeki saat sudah sarjana?

Lagi-lagi pemahaman rejeki harus diperbaiki.

Pertanyaan besar mengenai rejeki ada dua.

Apakah rejeki sudah dijamin?

Jika iya, lalu untuk apa kita berusaha?

Jawaban pertanyaan pertama adalah iya. Dan yang menjamin adalah Allah langsung. Logikanya selama Allah masih ada, berarti rejeki kita akan terjamin. Nah karena Allah itu selalu ada, artinya rejeki kita selalu terjamin donk kalau begitu. Benar sekali!

Tapi jangan terjebak dengan pernyataan : Jika rejeki sudah dijamin, lalu buat apa kita bersusah payah untuk mencarinya? Toh semua sudah dijatah dan ada kadarnya. Kita berusaha atau tidak, kan hasilnya sama saja.

Menurut Mas Weemar pernyataan di atas adalah pemahaman rejeki yang salah tipe kedua.

Lalu yang benar itu kaya apa?

Fakta rejeki ada dua aspek. Pertama Al-Haal, yaitu kondisi yang menjadi jalan datangnya rejeki. Ini adalah wilayah yang mampu diusahakan manusia. Sifatnya tidak pasti. Bisa dapat bisa tidak.

Kedua, Al-Asbab, yaitu sumber utama rejeki yang bersifat sebab akibat. Ini adalah wilayah di luar kemampuan atau jangkauan manusia. Namun sifatnya pasti. Pasti dapat.

Jika kita kembali ke kajian Episode #4 tentang Qada dan Qadar, kita akan dapat menghubungkan dua aspek fakta rejeki di atas.

Rejeki itu dari Allah. Jika kita berusaha mencarinya, kita bisa dapat bisa juga tidak. Oleh karena itu kita harus mencarinya dengan cara yang halal atau sesuai syariat Islam. Jika rejeki tersebut kita dapatkan lewat cara yang halal, maka kita mendapatkan pahala dari mencari rejeki tersebut.

Sebaliknya, jika rejeki tersebut kita dapatkan lewat cara yang haram, maka kita mendapatkan dosa dari mencari rejeki tersebut. Rejeki sendiri sifatnya netral.

Nah bila kita mendapatkan rejeki tanpa usaha, misalnya tiba-tiba menang undian yang tidak ada unsur judinya, atau mendapatkan warisan dari paman, atau di bawah rumah ada gundukan emas murni yang sangat banyak, maka rejeki-rejeki tersebut saat kita dapatkan tidak ada hisab apa pun bagi diri kita. Nanti yang dinilai oleh Allah adalah bagaimana cara kita menyikapi rejeki yang kita terima tersebut.

Yang penting kita harus selalu bertawakal (berserah diri kepada Allah) dalam setiap usaha kita untuk memperoleh rejeki. Hasil sepenuhnya hak prerogatif Allah. Jika diberi Alhamdulillah. Tidak diberi pun Alhamdulillah.

Sampai sini konsep rejeki sudah ada bayangan, tapi memang aplikasinya sulit sekali dilakukan. Ini memang tergantung kepada pemahaman masing-masing. Selama ini pemahaman yang kita tahu agak berbeda dengan pemahaman rejeki sesungguhnya. Mengubah mindset tersebut sungguh sangat tidak mudah.

Jika konsep rejeki saja sulit untuk diaplikasikan, maka konsep berikutnya akan lebih sulit lagi. Konsep ini untuk menghilangkan Al-Wahn tadi. Konsep memilih apakah kita akan memilih dunia atau memilih akhirat.

Banyak yang memilih dua-duanya pada awalnya. Karena kita kan sekarang hidup di dunia. Sedangkan akhirat nanti, masih sangat lama. Yang pasti tidak ada satu pun yang memilih hanya dunia.

Lalu, dikeluarkan hadist yang memperumpamakan antara dunia dan akhirat. Jika jari kita dicelupkan di lautan kemudian kita angkat kembali jari kita, maka air yang nempel di jari kita itulah dunia. Sedangkan air yang ada di lautan itulah akhirat.

Masih juga ada yang memilih dua-duanya. Lalu diberikan kembali ilustrasi yang lebih mudah dipahami. Jika ada orang yang akan memberikan kita kue. Pilihannya adalah pilih kue hampir satu loyang kue atau pilih kue sebesar kuku jari telunjuk. Jika kita memilih keduanya apakah itu namanya bukan serakah? Kenapa sulit sekali ya untuk meninggalkan pilihan kue sebesar kuku jari telunjuk bila kita bisa mendapatkan kue hampir satu loyang?

Oleh karena itu akhiratlah yang harus dipilih. Hanya akhirat. Bukan dunia.

Beberapa ayat Al-Quran bilang bahwa dunia itu adalah senda gurau belaka. Dunia itu permainan belaka.

Beberapa hadist menyatakan bahwa dunia itu adalah tempat kita berteduh sejenak dari perjalanan panjang.

Apakah kita mau mengorbankan perjalanan kita demi kenyamanan berteduh sejenak? Apakah kita mau mengorbankan waktu abadi di akhirat nanti demi waktu dunia yang cuma beberapa puluh tahun ini?

Jika memang rejeki kita sudah dijamin. Kematian sudah pasti di depan mata. Kemenangan di akhirat adalah janji yang diberikan. Lalu teman untuk hijrah sudah ada. Ilmu pun sudah dapat. Guru atau ustadz yang membimbing pun sudah ada. Pertanyaannya, Nunggu apalagi untuk hijrah melakukan kebaikan?

Tinggalkan Al-Wahn. Perlahan demi perlahan. Untuk kehidupan yang lebih baik, di akhirat kelak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *