Tahun 2019 ini dimulai dengan kejutan yang terjadi di dunia persepakbolaan Asia. Qatar untuk pertama kalinya tampil menjadi juara di ajang Piala Asia dan di final mengalahkan negara tersukses di Asia yaitu Jepang dengan skor 3-1.
Dulu kesebelasan Qatar hanya menjadi kasta kelas dua di timur tengah maupun di Asia.
Kenapa kelas dua? Karena masih ada kelas tiga seperti Indonesia dan kelas empat seperti Hong Kong.
Lalu siapa kelas satunya?
Di timur tengah ada Saudi Arabia dan Iran. Irak juga.
Di level asia ada dua raksasa Jepang dan Korea ditambah satu pendatang baru, Australia.
Kemudian di awal tahun dua ribu belasan, Qatar nekat untuk mendaftar menjadi tuan rumah piala dunia 2022. Tak tahunya kenekatan itu berbuah hasil. Qatar pun berhasil mengalahkan pesaing-pesaingnya tuk menjadi tuan rumah piala dunia 2022.
Bagi pengamat sepakbola amatiran seperti saya, langkah Qatar menjadi tuan rumah piala dunia 2022 adalah semata-mata untuk mendapatkan tiket gratis piala dunia, dimana Qatar belum pernah masuk ke piala dunia sebelumnya. Qatar sendiri tidak pernah dikenal sebagai negara yang kuat kultur sepakbolanya walaupun tidak jelek-jelek amat mainnya.
Namun Qatar pun membuktikan kualitasnya.
Tahun 2014 atau hanya beberapa tahun setelah diresmikan menjadi tuan rumah piala dunia, Qatar langsung membuktikan kepada dunia bahwa ia layak diperhitungkan di kancah persepakbolaan. Tahun itu Qatar menjuarai Piala Teluk.
Piala Teluk ini kalau boleh dianalogikan setara dengan piala AFF di Asia Tenggara. Artinya Qatar mulai menumbangkan kasta kelas satu dari Timur Tengah yang selama ini dipegang oleh Saudi Arabia dan Iran dimana keduanya menjadi langganan finalis piala dunia dalam beberapa dekade terakhir.
Andaikata Qatar tidak menjadi tuan rumah piala dunia 2022, dengan prestasinya saat ini, sangat mungkin Qatar masuk piala dunia 2022 lewat jalur kualifikasi. Toh dia juara piala asia, dimana biasanya juara piala asia sangat berpeluang untuk lolos kualifikasi piala dunia.
Itu yang bisa kita bilang saat ini.
Hal itu karena dengan ditetapkannya Qatar menjadi tuan rumah piala dunia lebih dari 10 tahun yang lalu, Qatar pun dipaksa untuk menjadi jago di bidang sepakbola agar tidak menjadi bulan-bulanan tim besar sepakbola dari Eropa maupun Amerika Latin saat menjadi tuan rumah nanti.
Kan malu, tuan rumah dibantai 0-8 lawan Brasil, atau dibantai 0-6 lawan Spanyol. Mau ditaruh di mana muka seluruh rakyat Qatar?
Dengan dipaksa jago, Qatar telah membuktikan kualitasnya. Statusnya saat ini sudah menjadi juara di dua turnamen kawasan dan benua yang diikutinya. Bukan status ‘hampir’ seperti kesebelasan kita yang sudah 20 tahun lebih menyandang predikat tersebut.
Seperti Qatar, kita sebagai pribadi pun juga sangat bisa untuk menjadi jago saat dipaksa. Pasang saja target dua atau tiga level di atas kemampuan atau kapasitas kita, dan tentukan batas waktunya dimana pada saat batas waktu kita lalui, kita sudah harus jago sesuai dengan target yang kita pasang, apa pun resikonya.
Paksa untuk belajar, latihan dan bekerja sekuat tenaga untuk meraih target tersebut.
Andaikata targetnya nanti tidak tercapai sekalipun, minimal kita bisa naik satu level atau sudah berpengalaman di dua level di atas kita walaupun belum menjadi rejeki kita.
Pengalaman Qatar di bidang sepakbola alangkah indahnya jika diikuti oleh negara kita tercinta, Indonesia. Dengan mengikuti jejak Qatar, Indonesia harus mendaftar untuk menjadi tuan rumah piala dunia untuk tahun 2034 atau 2038. Sebaiknya sih ambil yang tahun 2034, karena lebih dekat waktunya dan tingkat keterpaksaannya makin besar.
Siapa tahu dengan itu kita bakal juara AFF dan SEA Games paling tidak di akhir dekade 2020-an seperti yang pernah kita idam-idamkan selama dua puluh tahun terakhir. Kalau untuk juara piala asia atau sampai tahap menjadi pesaing utama untuk menjuarai piala asia, mungkin kita harus jadi langganan tuan rumah piala dunia 3 kali berturut-turut dulu kali ya…
Ini persis seperti saat kita menjadi tuan rumah Asian Games tahun 2018 lalu. Biasanya kita hanya meraih kurang dari 5 medali emas dalam setiap keikutsertaan. Namun begitu menjadi tuan rumah, kita berhasil meraih 31 medali emas dan menempati peringkat keempat klasemen akhir dari seluruh negara Asia yang ikut serta.
Dari 31 medali emas yang diperoleh Indonesia, hampir separuhnya diperoleh oleh atlit-atlit Indonesia yang sudah naik kelas ke tingkat asia bahkan dunia. Memang ada belasan medali emas yang diperoleh karena keuntungan menjadi tuan rumah, seperti pencak silat salah satu contohnya, dimana kita menyapu habis hampir seluruh emas di cabang itu.
Cabang Taekwondo, Tenis dan Angkat Berat merupakan contoh bahwa atlit kita memang sudah naik kelas, minimal ke tingkat Asia.
Dulu di tahun 2007, Indonesia pernah menjadi tuan rumah piala asia bersamaan dengan beberapa negara ASEAN yaitu Thailand, Malaysia dan Vietnam. Saat itu Indonesia berada di grup yang sangat berat, yaitu bersama Korea Selatan, Saudi Arabia dan Bahrain. Hasilnya, kita ‘hampir’ lolos di fase grup setelah kalah dari Saudi Arabia dan Korea Selatan dengan skor tipis dan berhasil menumbangkan Bahrain juga dengan skor tipis.
Kenapa disebut ‘hampir’?
Karena di pertandingan terakhir melawan Korea Selatan, jika Indonesia berhasil menahan seri Korea, maka Indonesia lolos. Namun akhirnya kalah 0-1 dan tersingkir. Mungkin itulah kekalahan tertipis kita dari Korea di ajang resmi sepanjang sejarah sepakbola Indonesia dalam beberapa dekade terakhir.
Pada akhirnya di tahun itu yang menjadi juara adalah Irak dengan mengalahkan Saudi Arabia di final. Padahal saat di fase grup, Saudi Arabia kerepotan ketika menghadapi Indonesia, walaupun akhirnya mereka menang dengan skor tipis 2-1 lewat gol di menit-menit terakhir.
Waktu itu saya sudah memiliki optimisme akan sepakbola Indonesia ke depannya karena melihat prestasi di piala asia 2007. Kita melawan dua raksasa asia di fase grup dan paling tidak mampu mengimbangi permainan mereka.
Ternyata optimisme itu kandas, karena setelah 11 tahun berlalu, sepakbola Indonesia tetap berada di kasta tiga Asia bahkan mulai sejajar dengan Myanmar dan Filipina yang bahkan sampai awal tahun 2000-an tidak pernah terdengar namanya dalam kancah sepakbola.
Kalau kita dipaksa memang kita dapat lebih jago. Tapi saat sudah lebih jago kita harus dapat mempertahankan kejagoan tersebut agar kita benar-benar naik kelas yang sesungguhnya.
Indonesia sudah sering kali membuktikan bahwa di saat terpaksa atau dipaksa, kita mampu melakukannya. Tapi sayangnya kemampuan itu hanya terbatas saat terpaksa atau dipaksa. Kita tidak membiasakan diri kita untuk berada di level berikutnya dan terus bertumbuh, atau paling tidak stabil di level tersebut dan tidak balik lagi ke level sebelumnya.
Dipaksa jago memang bagus. Tapi terus-terusan menjadi jago butuh perjuangan yang tidak kalah bagusnya. Jangan sampai target kita hanya untuk menjadi jago, namun jadilah jago yang konsisten. Mungkin tidak selamanya kita menang saat menjadi jago, namun kita akan selalu menjadi pesaing utama dan kesempatan untuk menang pun terbuka lebar.