Saya baru dengar inovasi dari seorang calon gubernur, bahwa air itu Sunatullah-nya masuk ke tanah. Ini adalah pernyataan yang kocak, karena banjir di Jakarta solusi terbaiknya adalah memuluskan aliran kali yang mampet ke laut sehingga daerah sekitar sungai tidak terkena dampak banjir.
Mungkin itu pikiran yang ada di kebanyakan orang, baik pemilih gubernur yang sekarang, pemilih gubernur yang sebelumnya atau bukan warga DKI, tapi ikutan komen di keseruan pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu.
Air masuk ke tanah seperti menjadi hal yang menggelikan. Karena kita sama-sama tahu kalau di Jakarta hampir semua permukaan tanahnya telah tertutup semen, aspal dan gedung-gedung bertingkat.
Jadi air masuk tanah sebagai solusi seakan-akan mengubah secara radikal tata kota Jakarta dan tidak masuk akal untuk dapat menangani banjir secara optimal.
Apalagi di periode gubernur yang sebelumnya, dan juga sebelumnya, sangat digiatkan kegiatan pembersihan sungai yang dinamakan normalisasi sungai. Dampaknya pun signifikan.
Sungai yang tadinya hitam, berubah jadi coklat.
Sungai yang tadinya mampet, berubah jadi lancar.
Sungai yang tadinya dangkal, sekarang lebih dalam sehingga bisa menampung air lebih banyak sebelum luber ke jalan.
Sepertinya solusi normalisasi bisa digunakan secara sempurna untuk pengendalian banjir di Jakarta.
Kenapa solusinya normalisasi? Karena dalam sejarah banjir di Jakarta sejak tahun 1996 hingga 2017, banjir terjadi karena kiriman dari kota yang lebih tinggi, yaitu Bogor.
Bogor hujan deras, Jakarta tidak, banjir!
Bogor gak hujan, Jakarta hujan deras, gak pernah banjir!
Dengan demikian memasukkan air ke tanah sebagai solusi banjir menjadi hal yang sungguh lucu dan penuh dengan kebodohan, apalagi calon gubernur yang satu ini ide-idenya dianggap sembarangan dan dituduh hanya untuk meraup suara pemilih Jakarta.
Namun semua berubah sejak tahun baru 2020!
Tiap pekan kita disuguhkan oleh banjir yang menggenangi sebagian tempat di Jakarta, bahkan saat Bogor tidak hujan sama sekali.
Tinggi air di bendungan Katulampa yang selama ini jadi momok banjir Jakarta, beberapa pekan terakhir ini adem ayem aja. Tidak terdengar siaga 3 sekalipun di pintu air tersebut.
Tapi kenyataannya, Jakarta tetap banjir! Bahkan di tempat-tempat yang selama puluhan tahun tidak pernah banjir di tempat tersebut.
Sehingga muncul anggapan bahwa banjir kali ini karena kebijakan gubernur saat ini yang tidak becus mengatasi banjir.
Anggapannya, kalau dulu gak pernah banjir dan sekarang banjir, pasti salah pemerintah sekarang yang diwakili oleh sang gubernur.
Salah gubernur pokoke. Titik!
Padahal banjir kali ini sejatinya adalah karena hujan yang deras dan lama di beberapa titik yang terkena banjir.
Polanya adalah, banjir akhir-akhir ini terjadi di tempat pinggiran kali-kali kecil sekitar Jakarta.
Kali-kali kecil tersebut tidak mampu menampung hujan yang lebat sehingga meluap dan menggenangi daerah sekitarnya.
Kali-kali kecil tersebut selama ini mungkin luput dari program normalisasi pemda karena bukan menjadi prioritas bila dibandingkan dengan kali Ciliwung atau kali Pesanggrahan.
Kali-kali kecil ini biasanya mengalirkan airnya secara sempurna ke kali induknya karena debitnya kecil. Ditunjang oleh debit hilir kali induknya yang kecil, membuatnya mudah untuk dialirkan ke laut.
Namun kali ini berbeda. Debit air yang tinggi tersebut adanya di hilir. Buktinya yang tinggi itu pintu air Manggarai dan hilirnya (Pasar Hek, Istiqlal dan Pluit). Sehingga secara tiba-tiba debit air di hilir jumlahnya meningkat signifikan tanpa dapat dialirkan seluruhnya ke laut sekaligus.
Jadilah banjir di daerah Utara dan Timur Jakarta pada beberapa pekan terakhir. Curah hujan di daerah-daerah tersebut tergolong tinggi dan ekstrim.
Kali-kali yang ada di sekitar tempat tersebut naik dan meluap karena kecepatan air mengalir ke kali besar jauh lebih rendah daripada kecepatan air yang naik memenuhi kali-kali tersebut.
Tidak aneh bila di berbagai tempat tersebut terdapat banjir antara 50-100cm di jalanan sekitar tempat yang mendapatkan hujan sangat deras.
Untungnya banjir tidak bertahan lama. Begitu hujan berhenti, maka banjir pun perlahan-lahan mulai surut karena air kembali mengalir ke laut.
Hal ini akan terus terjadi di Jakarta bila curah hujan selalu tinggi dan esktrim di berbagai tempat.
Lalu bagaimana cara untuk mempercepat kecepatan aliran air ke hilir dan memperlambat kenaikan air di kali-kali kecil tersebut?
Untuk mempercepat aliran air ke hilir bisa dilakukan dengan normalisasi. Kali dibuat lebih bersih dan lebih dalam, sehingga air yang bisa ditampung semakin besar.
Untuk memperlambat kenaikan air di kali-kali kecil ya dengan mengalihkan sebagian debit air tidak masuk ke kali, tapi masuk ke tanah, sehingga air yang masuk ke kali bisa secara signifikan berkurang.
Oleh karena itu ide untuk memasukkan air ke tanah menjadi ide yang tidak boleh lagi dianggap sebagai lelucon.
Kalau selama ini Jakarta langganan mendapatkan banjir kiriman dari kota penyangganya dan fokus kita hanya pada pengelolaan kali di Jakarta, kali ini fokus harus diubah ke memperbanyak ruang untuk mengembalikan air ke tanah.
Dengan demikian, bila terjadi lagi curah hujan yang tinggi di Jakarta, maka kali-kali kecil yang ada tidak perlu mengalirkan seluruh air hujan yang jatuh di areanya, karena sebagian besar air sudah terserap ke tanah dan kemungkinan kali-kali kecil tersebut meluap semakin kecil.
Dengan semakin kecilnya kemungkinan kali meluap, maka semakin kecil pula peluang terjadinya banjir.
Nah sekarang Sunatullah kalau air itu masuk ke tanah sudah masuk akal ya.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana cara kita memperbesar penyerapan air ke tanah?
Untuk hal ini sebaiknya kita sebagai warga melakukan gotong royong demi kepentingan bersama.
Silakan didiskusikan kembali ke seluruh warga, apa cara yang paling efektif untuk meningkatkan penyerapan air.
Gunakan waktu hingga akhir tahun 2020 untuk gotong royong meningkatkan area serapan air di daerah masing-masing.
Saya yakin satu keluarga hanya perlu keluar uang tidak sampai Rp 2 juta rupiah untuk mengatasi masalah ini, bila dilakukan secara gotong royong. Biaya yang jauh lebih murah daripada bolak-balik mengangkat perabotan dan mengungsi apabila banjir benar-benar terjadi. Bisa jadi biayanya akan lebih murah bila berkoordinasi dengan pemda setempat, seperti RT/RW atau Lurah. Siapa tahu ada bantuan dana dari Pemda untuk kegiatan gotong royong ini.
Dengan menambah area penyerapan air, maka Jakarta akan lebih tahan terhadap curah hujan tinggi yang melanda daerahnya.
Masalah berikutnya tinggal mengatasi banjir kiriman dan itu kita serahkan kepada pemerintah daerah DKI Jakarta untuk penanganannya.
Kasihlah mereka waktu untuk mengusahakannya, paling tidak sampai tahun 2022 nanti. Kalau tidak becus kan gampang, gak usah dipilih lagi orangnya!