Saat ini, mau tidak mau kita harus mengakui bahwa angkutan umum jaman now, jauh lebih baik. Mulai dari KRL yang sekarang selalu tepat waktu, pakai pendingin udara dan stasiunnya yang sudah modern dan bagus desainnya. Lalu ada Transjakarta yang sudah banyak rutenya, sehingga kemana-mana pun hanya membayar sekali, selama transitnya di halte resmi Transjakarta.
Jangan lupa juga dengan MRT dan LRT yang harusnya tidak lama lagi beroperasi. Kereta bandara pun jadi salah satu alternatif angkutan umum yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Itu kondisi jaman now. Bagaimana kondisi jaman dulu?
Saya mulai mengenal angkutan umum sejak jaman masih bersekolah di sekolah dasar. Waktu itu saya sekolah di daerah Kodam, Kalimalang, sedangkan saya tinggal di Jatibening, Pondok Gede. Memang saat masih sekolah dasar saya lebih sering menggunakan jemputan yang disewa oleh orang tua saya. Nama supirnya saat itu adalah Om An.
Menjelang lulus sekolah dasar, saya mulai menggunakan angkutan umum, terutama saat pulang dari sekolah. Alasannya simpel, merasa sudah besar. Lagipula jarak dari rumah ke sekolah tidak terlalu jauh. Jika diukur dengan jarak, mungkin saja jaraknya tidak lebih dari tujuh kilometer.
Angkutan umum yang tersedia saat itu adalah:
Omprengan.
Mobil angkutan umum yang mungkin sudah susah ditemui saat ini. Tidak seperti Omprengan jaman now yang merupakan mobil biasa yang dijadikan angkutan umum, atau bahasa resminya angkutan umum gelap, Omprengan jaman dulu adalah mobil yang dasarnya adalah bak terbuka, namun bagian belakangnya dimodifikasi seperti naik truk tronton.
Untuk naik ke omprengan ada dua cara. Pertama, duduk di depan membuka pintu penumpang depan. Jumlah maksimum yang dapat ditampung adalah dua orang. Sama supir jadi tiga orang.
Kedua, duduk di belakang lewat bagian belakang mobil. Tidak ada pintu samping di belakang pintu depan. Kalau sekarang kaya lewat pintu bagasi, walaupun tidak ada pintunya. Persis sekali naik truk tronton tentara kalau mau pergi ke luar kota.
Omprengan beroperasi dari pagi hingga selepas Maghrib. Rutenya adalah keliling di sekitar komplek, kemudian menuju ke Jalan Raya Kalimalang di daerah Curug. Waktu itu tarifnya untuk anak sekolah hanya Rp 100 – Rp 200 per trip.
Tidak jelas kapan waktu kedatangan Omprengan. Biasanya saya menunggu paling lama 30 menit hingga mendapatkan Omprengan di saat bukan jam sibuk. Bila di jam sibuk (sekitar pukul 6 hingga 6.30), maka rata-rata waktu tunggu 10-15 menit.
Untuk menuju sekolahan saya, dari Curug, perlu naik angkutan umum lain ke arah Kodam, Kalimalang. Yang tersedia saat itu ada tiga.
Dua Mikrolet.
Yang satu M26 (Bekasi – Kampung Melayu) dan yang lain M19 (Klender – Cililitan). Mikrolet ini sama dengan yang dikenal sekarang, namun tentu kendaraan yang digunakan berbeda. Jaman dulu Mikrolet menggunakan mobil Kijang atau Panther.
Satu yang khas dari Mikrolet hingga jaman now adalah, waktu tunggunya yang cukup cepat. Rata-rata tidak sampai 5 menit satu Mikrolet sudah dapat kita berhentikan dengan melambaikan tangan di pinggir jalan. Seringkali malah Mikroletnya yang menghampiri kita, bila saat itu jumlah penumpangnya tidak terlalu banyak.
Sayangnya, yang menjadi khas lain dari Mikrolet hingga jaman now, anak sekolah bukan merupakan prioritas untuk diangkut. Sebabnya mudah, tarifnya lebih murah. Makan tempatnya sama.
Satu Metromini.
T54 (Lampiri – Kampung Melayu).
Metromini menggunakan mobil yang sama persis dengan Metromini yang beredar jaman now. Bentuk Metromini tidak berubah sampai sekarang dari sejak saya masih duduk di sekolah dasar. Mungkin bentuk itu lebih lama lagi dari masa kehidupan saya di dunia ini.
Saat naik Metromini, biasanya Metromininya sudah agak penuh, sehingga saya lebih sering berdiri daripada duduk. Namun Metromini selalu menjadi favorit saya. Kenapa? Karena paling murah.
Dari mulai saya sekolah dasar, hingga saya lulus SMA, tarifnya tetap. Rp 100 per trip. Dahulu pelajar tetap Rp 100 per trip sampai saya masuk kuliah, baru tarif pelajar berubah jadi Rp 500.
Tarif Mikrolet biasanya tergantung jarak. Khusus saya yang cuma berjarak kurang dari dua kilometer dari Curug, Kalimalang ke Kodam, Kalimalang, tarifnya biasanya Rp 50 lebih mahal daripada tarif Omprengan saya. Ketika tarif Omprengan Rp 100, maka Mikrolet memberlakukan Rp 150. Ketika Omprengan Rp 150, maka Mikrolet menjadi Rp 200.
Artinya untuk bolak-balik naik angkutan umum, saya membutuhkan uang paling tidak Rp 400 dengan catatan naik Metromini di Jalan Raya Kalimalang. Padahal uang jajan saya saat itu hanya Rp 500 per hari. Artinya saya hanya punya cadangan uang jajan sebesar Rp 100 per harinya saat sekolah dasar.
Saat itu dengan Rp 100 sudah mendapatkan empat buah pempek dari kantin di sekolah. Cukuplah untuk sekedar mengisi perut sebelum sampai ke rumah.
Naik Omprengan pagi-pagi dari komplek perumahan, saya biasanya dapat tempat duduk di belakang. Walaupun jam sibuk, di pagi hari omprengan tidak sepenuh angkutan umum yang biasa kita temui saat jam sibuk di kota Jakarta. Isinya memang hampir penuh, tapi biasanya masih ada sisa satu atau dua tempat duduk lagi sampai ke tempat tujuan. Tapi ya itu, waktu tunggunya lumayan.
Untuk saya yang sudah harus berada di sekolah pukul 7, tentu harus menyesuaikan diri agar tidak telat. Saat masih di sekolah dasar, pagi-pagi saya hampir selalu ikut jemputan. Namun siangnya seringkali pulang naik angkutan umum karena sering main dulu dengan teman-teman yang lain.
Dari Kodam, Kalimalang ke sekolahan saya jaraknya sekitar satu kilometer. Jalan kaki santai sekitar 15 menit. Tidak ada angkutan umum tersedia dari sekolah saya ke Jalan Raya Kalimalang. Sehingga satu-satunya jalan menuju sekolah bila naik angkutan umum adalah dengan berjalan kaki.
Jalan kaki saat pulang enaknya bersama dengan beberapa teman. Tidak terasa, tiba-tiba kita sudah sampai di Jalan Raya Kalimalang. Saat itu untuk menyebrang jalan raya, diperlukan sedikit keberanian karena kendaraan yang lalu lalang kecepatannya cukup tinggi.
Memang tidak sepadat jaman now yang makin susah menyebrang, jaman dulu kendaraan didominasi oleh mobil, sehingga relatif lebih mudah menyebrang daripada kendaraan jaman now yang didominasi oleh sepeda motor.
Ketika balik naik Omprengan dari Curug ke komplek perumahan, saya harus menunggu Omprengannya penuh. Penuh di sini benar-benar penuh atau semua kursi terisi. Bahkan beberapa ada yang berdiri karena tidak mau menunggu 15-30 menit lagi hingga keberangkatan Omprengan berikutnya.
Saat masih di sekolah dasar, saya tidak berani berdiri di belakang Omprengan. Rata-rata yang berdiri di belakang adalah anak Sekolah Menengah Pertama atau anak Sekolah Menengah Atas. Sebagai anak Sekolah Dasar, saya pun lebih sering disuruh duduk di dalam, walaupun sebenarnya ingin sekali berdiri di belakang seperti kakak-kakak saya tersebut.
Memasuki Sekolah Menengah Pertama, ada perubahan di angkutan umum yang saya naiki. Apa saja perubahannya? Nantikan di bagian kedua tulisan ini.