Januari 2019 lalu saya umroh. Itu merupakan umroh kedua saya setelah sekitar 10 bulan sebelumnya saya juga sudah melaksanakan umroh. Tentu saja saya terkena kewajiban yang disebut orang sebagai visa progresif.
Apa itu visa progresif?
Visa progresif adalah nama yang diberikan oleh kebanyakan orang Indonesia, termasuk dari travel umroh yang memberangkatkan anda ke tanah suci. Padahal kalau ditanya ke kedutaan Saudi Arabia, mereka sendiri tidak mengenal visa progresif.
Ah masa sih? Buktinya apa?
Silakan search di internet, web-web resmi yang berkaitan dengan visa Saudi Arabia, apakah ada yang namanya visa progresif? Pasti tidak ada!
Lalu apa itu visa progresif?
Visa progresif adalah biaya visa normal yang dikenakan kepada setiap orang yang bukan berkewarganegaraan Saudi Arabia atau tidak memiliki ijin tinggal di Saudi Arabia yang akan memasuki negara tersebut.
Jadi kalau mau pergi ke Saudi Arabia, apa pun kepentingannya, apakah haji, umroh, kerja atau sekedar menjadi turis, maka akan terkena biaya visa normal ini.
Dahulu, khusus untuk haji dan umroh tidak terkena biaya visa ini. Soalnya bagi jamaah yang ingin haji dan umroh dianggap sebagai tamu Allah dan tamu Allah tidak dikenakan biaya apa pun jika hanya ingin masuk negara Saudi Arabia.
Perlahan-lahan kebijakan negara Saudi Arabia pun berubah seiring seringnya orang bolak-balik mengerjakan haji dan umroh. Dari mana pemerintah Saudi Arabia mengetahui bahwa ada orang yang bolak-balik haji dan umroh? Ya gampang saja, dari nomor paspor orang yang masuk ke negara tersebut.
Awalnya dikenakan visa progresif adalah bagi orang yang haji dan umroh dua kali atau lebih dalam tahun yang sama, atau dalam dua tahun berurutan. Kalau jaraknya sudah lebih dari dua tahun, maka tidak lagi terkena visa progresif. Untuk visa yang semacam ini, cocok disebut progresif, karena biasanya progresif terkena akumulasi dalam kurun waktu tertentu, dalam hal ini satu atau dua tahun masa haji atau umroh.
Visa progresif yang dikenakan pun tidak membuat orang jera dan malah menyiasati dengan mengatur keberangkatan haji dan umrohnya selang dua tahun sekali agar tidak terkena visa progresif. Masih banyak orang yang bolak-balik haji dan umroh, walaupun tidak sesering sebelumnya.
Akhirnya di tahun 2017 diberlakukanlah kebijakan untuk memberlakukan biaya visa normal bagi siapa pun yang bukan warga negara Saudi Arabia atau tidak memiliki ijin untuk tinggal di Saudi Arabia, untuk keperluan apa pun, yang ingin masuk ke negara Saudi Arabia. Khusus untuk haji dan umroh diberikan dispensasi visa gratis untuk kunjungan pertamanya dan hanya pertamanya.
Haji dan umroh memiliki visa terpisah, sehingga bisa untuk kunjungan haji pertama dan umroh pertama.
Dengan demikian kunjungan kedua, ketiga dan seterusnya walaupun dilakukan dalam selang waktu 5 tahun, 10 tahun, 20 tahun atau bahkan 50 tahun akan terkena kewajiban membayar visa normal yang saat ini nilanya SAR 2000 (dua ribu riyal) atau sekitar Rp 7,5 juta hingga Rp 8 juta tergantung kurs yang berlaku saat itu.
Sewaktu tahun 2017 yang menjadi kontrol bahwa orang tersebut melakukan haji atau umroh yang kedua kali sejak tahun 2017 adalah nomor paspor. Bila seseorang menggunakan nomor paspor yang sama untuk dua kali atau lebih melakukan kunjungan ke Saudi Arabia, sudah pasti terkena visa normal. Bila paspornya sudah keburu ganti karena habis buku atau habis masa berlaku atau ganti karena alasan apa pun, maka dia kembali dianggap melakukan kunjungan pertama kali baik untuk haji maupun umrohnya dan bebas dari kewajiban membayar visa normal.
Lagi-lagi banyak orang yang menyiasati aturan ini dengan mengganti paspor sesaat sebelum pengurusan visa umroh atau haji dan bebas dari kewajiban membayar visa normal. Biasanya ganti paspornya dari paspor biasa menjadi paspor e-paspor. Walaupun e-paspor lebih mahal, namun lumayan menghemat jutaan rupiah daripada harus membayar visa masuk Saudi Arabia.
Lalu di awal tahun 2019 ini, pemerintah Saudi Arabia makin pintar dan meminta untuk melakukan rekam biometrik sebelum pengajuan visa umroh. Dengan demikian, biarpun paspornya telah ganti puluhan kali, tapi selama biometriknya telah berhasil direkam, maka untuk kunjungan haji atau umrohnya yang kedua, akan tetap terkena kewajiban membayar visa.
Rekam biometrik ini lah yang akhirnya dipermasalahkan oleh anggota dewan yang terhormat dan meminta kepada kedutaan Saudi Arabia untuk menghentikan kegiatan rekam biometrik yang membebankan biayanya kepada jamaah. Entah bagaimana akhirnya wacana ini, apakah pemerintah kita berhasil menghentikan proses rekam biometrik atau proses tersebut terus berlangsung karena memang harus mengikuti aturan dari dalam negeri negara Saudi Arabia.
Lalu adakah celah saat ini untuk bebas dari visa progresif atau minimal kewajibannya tidak sebesar Rp 7,5 juta atau Rp 8 juta tersebut?
Bagi yang pernah umroh antara tahun 2017 hingga sebelum Januari 2019, maka lakukan saja siasat mengganti paspor sebelum mengajukan visa umroh. Pastilah tidak terkena visa progresif karena untuk data sebelum Januari 2019 masih mengandalkan nomor paspor sebagai kontrolnya.
Tapi bagi yang sudah pernah umroh setelah Januari 2019 maka tidak ada jalan lain selain membayar sebesar SAR 2000. Jika ingin lebih murah, maka bisa diwujudkan bila kurs rupiah menguat terhadap riyal.
Bagaimana caranya rupiah menguat terhadap riyal?
Gampang saja, kurs riyal itu berbanding lurus dengan kurs dolar. Bila dolar menguat terhadap rupiah, maka riyal pun menguat terhadap rupiah. Bila dolar melemah terhadap rupiah, maka riyal pun melemah terhadap rupiah.
Ngerti kan maksudnya? Untuk melemahkan riyal, ya lemahkan saja dolar terhadap rupiah!
Bagaimana caranya rupiah menguat terhadap dolar?
Nah untuk ini ada rumusnya. Namun rumus umumnya seperti ini:
Dolar akan menguat ketika dolar banyak pergi keluar negara Indonesia, sehingga dolar di Indonesia sedikit. Karena jumlahnya sedikit maka dolar mahal dan menguat.
Dolar akan melemah ketika dolar banyak masuk ke negara Indonesia, sehingga dolar di Indonesia banyak. Karena jumlahnya banyak maka dolar murah dan melemah.
Kalau dari ilmu ekonomi, dolar banyak pergi keluar negara Indonesia saat negara kita melakukan impor barang dari luar negeri. Sebaliknya, bila dolar banyak masuk ke negara Indonesia, maka saat itu negara kita melakukan ekspor barang ke luar negeri.
Dari catatan nilai ekspor dan impor negara Indonesia dua tahun terakhir yang saya ambil dari link https://id.tradingeconomics.com/indonesia/current-account
menjelaskan bahwa nilai transaksi berjalan Indonesia sejak tahun 2016 hingga awal tahun 2019 selalu mengalami defisit. Itu artinya dalam dua tahun terakhir ini lebih banyak barang impor yang masuk ke negara kita daripada negara kita ekspor barang ke luar negeri.
Defisit transaksi berjalan terjadi karena kebijakan dari pemerintah. Kebijakan pemerintah yang lebih pro kepada konsumsi daripada pro kepada produksi membuat nilai impor selalu lebih besar daripada ekspor.
Apa saja barang-barang yang diimpor dari kebijakan pemerintah? Banyak! Lihat saja di media online, koran-koran atau berita televisi. Tak perlu lagi disebutkan satu-satu di sini.
Lalu bagaimana caranya agar ekspor lebih besar daripada impor ke depannya?
Ya mumpung tahun 2019 adalah tahun pemilu, pilihlah pemimpin yang tidak pro impor! Pilih pemimpin yang pro kepada pengembangan usaha. Mulai dari pengusaha kecil hingga menengah.
Para pengusaha tersebut nantinya akan lebih banyak menghasilkan produk-produk berkualitas yang bukan hanya dijual di dalam negeri, tapi juga dapat diterima di luar negeri.
Bagi produk-produk yang biasa diimpor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, sudah saatnya pemerintah menargetkan swasembada. Petani-petani dan produsen pangan lainnya diberikan kemudahan, pelatihan dan pendampingan agar produktivitasnya meningkat dapat menghasilkan produksi yang lebih banyak dan berkualitas.
Apakah ada pemimpin yang seperti itu di tahun 2019 ini?
Hanya anda yang dapat menjawabnya!
Misalkan nanti dolar jadi Rp 10.000 saja, dan riyal pun kira-kira sekitar Rp 2.500 (ketika dolar Rp 15.000, riyal Rp 4.000, perbandingan dolar dengan riyal hampir 4 banding 1), maka SAR 2000 nilainya menjadi sekitar Rp 5 juta. Lumayan menghemat Rp 2,5 juta hingga Rp 3 juta untuk keperluan haji dan umroh berikutnya.
Kan katanya kalau sudah pernah ke tanah suci pasti ingin balik lagi ke tanah suci.
Pilih pemimpin yang pro produksi dalam negeri, maka pergi ke tanah suci dan melepas rindu dengan dua masjid suci jadi lebih murah.
Masih mau bayar mahal untuk visa progresif?