9 Desember 2017, saya dan sembilan teman kantor yang terhimpun dalam komunitas fotografi di kantor tempat saya bekerja, mengunjungi Kampung Sindang Barang di Bogor. Panitia sudah memberitahukan sebelumnya bahwa kami akan mengunjungi situs budaya dan akan lebih banyak memfoto orang daripada pemandangan.
Perjalanan dari kantor kami ke Kampung Sindang Barang yang seharusnya hanya memakan waktu dua jam, gara-gara sebuah “drama”, perjalanan kami menjadi empat jam. Sampai di tujuan, matahari sudah mulai tinggi dan terasa mulai terik.
Begitu sampai di tujuan, kami langsung dihadapkan kepada jalanan bebatuan yang menanjak. Di ujung tanjakan, kami sudah disambut oleh beberapa perempuan paruh baya yang masing-masing membawa alat musik berukuran jumbo. Alat musik itu nantinya kami kenal dengan nama Angklung Gubrak.
Masuk ke dalam tempat wisata Kampung Sindang Barang, kami langsung bertemu dengan enam bangunan rumah tanpa pintu yang berjejer di sebelah kanan dari pintu masuk Kampung Sindang Barang. Bangunan tersebut rupanya adalah lumbung padi. Padinya sendiri masuk dan diambil dari jendela atas bangunan. Tidak ada tangga tersedia di sekitaran lumbung padi. Mungkin tangga hanya digunakan saat memang ingin menyimpan padi dalam lumbung atau mengeluarkannya dari lumbung. Sayangnya hari itu tidak ada kegiatan panen atau menumbuk padi, sehingga kami tidak dapat menyaksikan penyimpanan atau pengeluaran padi dari lumbungnya.
Setelah bertemu dengan enam lumbung padi, bangunan selanjutnya adalah bungalow atau rumah tinggal yang disewakan yang berbentuk rumah panggung. Kebetulan kami disediakan sebuah kamar di dalam rumah tinggal itu oleh tuan rumah Kampung Sindang Barang, Pak Maki Sumawijaya.
Satu bangunan bungalow yang disediakan untuk kami berjumlah empat kamar. Tapi tiga kamar lagi dalam kondisi terkunci. Di kamar yang terbuka, kami hanya menemukan sebuah kasur double bed tanpa tempat tidur yang besarnya hampir selebar kamar tersebut.
Pak Maki yang menyambut kami dengan hangat, langsung mengajak kami untuk ngopi dan menyantap gorengan yang sudah disediakan di saung seberang bungalow tempat kami beristirahat sejenak. Bahkan di sela-sela obrolan kami dengannya, Pak Maki mengungkap sebuah rahasia besar Kampung Sindang Barang. Rahasia tersebut adalah: Ada Wifi di tempat wisata ini, bahkan dia memberikan username dan passwordnya kepada kami semua.
Tak lama setelah kami menikmati coffee break yang disediakan, kami melihat sekumpulan orang berdiri dekat pintu masuk Kampung Sindang Barang. Ada beberapa perempuan paruh baya dengan baju hitam-hitam. Ada beberapa perempuan dewasa dengan baju putih dan baju merah. Ada sekumpulan anak-anak perempuan dengan warna baju warna-warni. Ada juga beberapa laki-laki, anak-anak dan dewasa menggunakan baju hitam-hitam.
Rupanya mereka adalah seniman lokal yang akan memulai sebuah pertunjukan. Pak Maki yang sudah mengetahui bahwa kami semua dari sebuah komunitas fotografi, langsung memberikan beberapa saran pengambilan posisi memotret yang baik. Kami pun langsung menyebar mencari posisi yang menurut kami terbaik.
Musik pun dimainkan. Pembawa acara langsung memberikan sambutan dan memperkenalkan para seniman yang akan memasuki area lapangan olahraga Kampung Sindang Barang. Area lapangan olahraga ini tepat berada di depan enam bangunan lumbung padi. Luasnya mungkin sekitar seperempat hingga sepertiga ukuran standar lapangan bola. Tidak terlalu besar, tapi cukup luas untuk mengadakan sebuah acara pertunjukan.
Musik yang mengiringi para seniman yang akan mempertunjukan kebolehannya tersebut berasal dari sebuah speaker yang dipasang di saung alun-alun. Speakernya tidak terlalu besar, mungkin hanya sedikit lebih kecil dari kulkas satu pintu. Tapi hasilnya suaranya lumayan kencang, karena terdengar hingga ke ujung lapangan olahraga tersebut.
Para seniman masuk dengan berjalan beriringan. Paling depan adalah kumpulan perempuan paruh baya dengan pakaian hitam-hitam membawa alat musik Angklung Gubrak. Ada enam wanita paruh baya di grup musik Angklung Gubrak tersebut.
Di belakangnya ada empat perempuan dewasa yang jauh lebih muda daripada grup musik Angklung Gubrak. Keempat perempuan ini nantinya akan melakukan tari jaipong secara bergantian. Dua orang menggunakan pakaian putih-putih dan dua orang lagi menggunakan pakaian merah-merah. Dilihat dari jauh, keempatnya cukup menarik. Postur tubuh mereka cukup ideal sebagai seorang penari jaipongan, dengan tambahan kelebihan di bagian tubuh yang tepat.
Saya sempat bertanya kepada Pak Maki seputar keseragaman mengenai kelebihan di bagian tubuh perempuan-perempuan muda ini.
“Apakah mereka menggunakan tambahan pak?” tanya saya
“Tidak ah. Sepertinya itu memang karakter mereka Pak” jawab Pak Maki sembari tertawa renyah.
Di belakangnya lagi ada sekumpulan anak perempuan yang perkiraan saya seumuran anak sekolah dasar. Mereka menggunakan pakaian warna-warni. Rasanya hampir semua warna ada di anak-anak itu. Merah, biru, hijau, ungu, maroon, coklat, kuning dan sebagainya adalah warna baju yang dipakai oleh anak-anak itu. Jumlahnya ada 18 anak perempuan.
Di belakangnya lagi, ada kumpulan laki-laki, dua anak kecil, satu remaja dan dua dewasa menggunakan pakaian hitam-hitam. Salah satu dari dua dewasa tersebut membawa sebuah bakul nasi terikat di punggungnya.
Para seniman ini berjalan dari pintu masuk, lurus menuju saung yang terletak di ujung area lapangan olahraga, namun memutar ketika sudah melewati enam buah lumbung padi yang ada di pinggir lapangan. Rute ini berlangsung beberapa kali, sampai suara musik berhenti dan pembawa acara mempersilahkan para seniman untuk duduk di pinggir lapangan dekat dengan bangunan lumbung padi.
Sudah bisa ditebak dimana kami, para fotografer, berada di area lapangan. Betul, kami tepat di seberang lumbung padi sehingga gerakan para seniman bisa kami potret secara leluasa.
Pertunjukan pertama dimulai dari Angklung Gubrak. Disebut Angklung Gubrak karena bentuknya mirip angklung tapi ukurannya jumbo. Kalau biasanya satu angklung bisa menghasilkan beberapa suara musik, Angklung Gubrak hanya mampu menghasilkan satu suara musik. Jika dia kunci C, ya C doank. Jika kunci D, ya D doank, dan seterusnya. Oleh karena itu agar menghasilkan suara yang optimal, butuh banyak orang yang terlibat dalam grup musik ini. Masing-masing hanya membunyikan satu suara, namun berbeda-beda dalam nadanya. Di situ lah terjadi keharmonisan suara yang dihasilkan.
Menurut salah seorang personil grup musik perempuan paruh baya, jika di ruang tertutup masing-masing suara yang dibuat oleh angklung jumbo ini bisa terdengar dengan baik dan bisa dibedakan bunyinya. Yang pasti angklung tersebut cukup berat saat dipegang, apalagi perempuan-perempuan paruh baya tersebut menggoyang-goyangkan angklungnya selama pertunjukan yang sekitar tiga menitan. Lumayan pegel ya!
Pertunjukan selanjutnya adalah tari jaipong. Dua perempuan muda memakai baju putih-putih tampil. Make up keduanya tebal. Pakaian di bagian bahu, walaupun agak transparan, tapi tidak terbuka, sehingga terkesan sopan, bukan seksi. Memang ada bagian sedikit berlebih yang membuatnya berbeda.
Tari jaipong yang dipertunjukkan dengan judul Tari Tablong memiliki gerakan-gerakan yang menurut saya sulit. Luwes sekali gaya kedua perempuan ini, tapi tidak ada kesan erotis di dalamnya. Saya lebih banyak melihat pertunjukkan daripada memotret, karena menurut saya sulit sekali memotret orang yang bergerak sangat dinamis seperti penari jaipong ini.
Berikutnya yang tampil adalah 18 anak perempuan secara bersamaan. Yang mereka tampilkan lebih ke arah permainan tradisional, namanya Kaulinan Barudak. Awalnya mereka menampilkan permainan seperti ular naga, dimana dua orang saling berpengangan dengan tangan ke atas membentuk sebuah lorong yang dilewati oleh teman-temannya. Karena jumlahnya cukup banyak, anak-anak itu membuat dua grup yang bergerak dinamis mengikuti musik dari speaker di dalam saung.
Selanjutnya permainan dilanjutkan dengan permainan mirip domikado eska, dimana anak-anak tersebut membentuk lingkaran dan saling berpengangan satu dengan lain. Selanjutnya satu orang menepuk tangan teman sebelahnya, kemudian tepukan dilanjutkan ke teman sebelahnya dan seterusnya. Permainan berakhir saat nyanyian domikado eska yang dinyanyikan bersama selesai dan biasanya di tepukan terakhir, orang yang menepuk akan mencoba menepuk rekannya, sedangkan rekannya mencoba menghindari tepukan tersebut.
Di kedua permainan ini seringkali terlihat wajah kegembiraan di anak-anak tersebut. Mereka tertawa riang seperti bermain. Memang ada beberapa yang kadang melakukannya tanpa ekspresi atau malah sambil cemberut, tapi seiring waktu, mereka pun akhirnya tertawa lepas juga.
Tentu ini tidak sekedar permainan belaka. Ini juga ada unsur tariannya, seperti setiap gerakan anak-anak tersebut membuat gerakan meninggikan kaki, menggoyangkan pinggul, atau sekedar mengangkat-angkat tangan di setiap gerakannya. Peran musik juga sangat besar dalam gerakan mereka karena tanpa musik, mungkin akan sangat aneh bagi anak-anak itu untuk melakukan tariannya.
Sayangnya begitu pertunjukkan dari anak-anak tersebut selesai, hujan pun turun cukup deras. Seluruh orang yang berada di lapangan langsung mengungsi ke saung tempat kami ngopi dan makan gorengan. Pertunjukkan dilanjutkan di sana.
Ini yang saya tunggu-tunggu. Pertunjukan tari jaipong dari dua perempuan yang berbaju merah-merah. Jenis pakaiannya sama dengan yang berbaju putih-putih, praktis hanya berbeda di warna dan sedikit hiasan di bagian kepala. Selebihnya sama, termasuk kelebihan di salah satu bagian tubuhnya. Menurut saya yang pakai baju merah terlihat lebih cantik daripada yang memakai baju putih. Pantas saja saya menunggu sekali penampilan mereka.
Sebelum memulai menari, pembawa acara memberitahukan kepada penonton bahwa bila mau ikutan menari dipersilahkan. Malah kalau ada bapak-bapak yang mau nyawer juga boleh.
Saya bingung, kenapa ada nyawer segala? Kan tari jaipong yang pertama kali ditampilkan tidak ada kesan menggoda sama sekali. Apakah yang ini berbeda?
Betul dugaan saya. Tari jaipong dengan judul Tanjung Baru yang ditampilkan oleh dua perempuan berbaju merah ini berbeda dengan yang pertama. Gerakannya lebih santai dan jauh dari kesan gerakan-gerakan sulit. Penarinya pun senyum terus sepanjang penampilan. Musiknya pun lebih bertempo cepat daripada tari jaipong yang pertama. Banyak gerakannya yang mirip dengan gerakan biduanita dangdut. Inilah yang disebut oleh pembawa acara bagi bapak-bapak bisa ikutan nyawer.
Untung saya tidak terlalu fokus dalam memotret, sehingga saya bisa mengamati tarian lebih seksama. Ini adalah jenis tarian yang berbeda dengan sebelumnya, dan anehnya saya lebih menyukainya.
Pertunjukan selanjutnya adalah peragaan Tepak Silat yang merupakan kata lain dari Pencak Silat, yang dibawakan oleh dua anak kecil dan satu remaja sebagai pimpinannya. Musik tetap bermain dalam peragaan tersebut. Sehingga gerakan silat tersebut serasa begitu harmoni dengan musiknya.
Pencak silat memang olahraga bela diri yang berbeda dengan yang lain. Gerakan pencak silat sangat mungkin disandingkan dengan musik. Coba saja sandingkan Kung Fu, Tae Kwon Do, atau Karate dengan musik. Pasti jadinya aneh bin ajaib. Pencak silat bisa dan malah lebih indah bila disandingkan dengan musik.
Penari jaipong berbaju putih tampil untuk kedua kalinya. Kali ini judul tarinya Sekar Panggung. Karena berada di dalam saung, kami para pemotret bisa melihat dan memotret dari jarak yang lebih dekat lagi daripada ketika masih di lapangan. Musik di tari jaipong ini secara umum bertempo lambat, namun beberapa kali temponya cepat dan penari mengikuti alunan musik dengan sangat baik. Penuh teknik tingkat tinggi karena gerakannya benar-benar sulit menurut saya.
Berikutnya yang maju adalah laki-laki dewasa yang juga memperagakan pencak silat dengan lakon Parebut Seeng. Awalnya yang tampil hanya satu orang dengan membawa tungku nasi di punggungnya. Dia menampilkan gerakan-gerakan silat diiringi oleh musik, persis seperti dua anak kecil dan satu remaja sebelumnya. Tentu gerakannya jauh lebih serius karena memang musiknya lebih terdengar serius daripada sebelumnya.
Setelah memperagakan beberapa jurus silat, datanglah seorang rekannya untuk memperagakan gerakan perkelahian dengan jurus-jurus pencak silat. Uniknya tungku nasi yang dibawa di punggung tidak dilepaskan saat melakukan adegan perkelahian.
Musik yang mengiringi adegan perkelahian benar-benar cocok dengan peragaannya. Ketika musiknya santai, maka gerakan yang dilakukan oleh kedua pesilat adalah gerakan ancang-ancang dengan kuda-kuda. Lalu ketika tempo musiknya agak tinggi, maka kedua pesilat beradu pukulan dan tendangan diakhiri oleh elakan atau pengambilan ancang-ancang berikut.
Perkelahian berakhir setelah tungku nasi yang dibawa berhasil direbut oleh pesilat lainnya. Akhir yang aneh menurut saya pada awalnya. Namun setelah dijelaskan maksud dari perkelahian itu setelahnya, maka saya pun mengerti kenapa akhir perkelahian itu adalah tungku nasi atau seeng yang berhasil direbut.
Perebutan seeng tersebut merupakan simbol bahwa periuk nasi dari sebuah keluarga sudah berhasil direbut, sehingga keluarga yang telah direbut periuk nasinya dianggap kalah dan takluk dengan keluarga yang merebutnya.
Acara simbolis ini biasanya diadakan saat terjadi pinangan dari pihak laki-laki ke pihak perempuan, dimana jawara dari pihak laki-laki harus berhasil merebut seeng yang dipikul di punggung jawara dari pihak perempuan. Jika berhasil, maka pinangan diterimal, jika gagal, maka pinangan ditolak. Semudah itu!
Acara pinangan semacam ini menurut para pesilat yang saya tanya setelah acara, masih tumbuh subur di beberapa tempat di Bogor. Bahkan menurut kisahnya, jika di sebuah kampung ada seorang laki-laki dan perempuan sering terlihat bersama, maka tokoh pemuda di kampung itu segera menanyakan kepada sang lelaki mengenai keseriusannya dengan sang perempuan.
Jika memang serius, maka sang lelaki diminta kesediaannya untuk sowan kepada bapak sang perempuan untuk meminta restu. Tentunya setelah itu harus segera ditetapkan tanggal pernikahan agar tidak terjadi fitnah di antara laki-laki dan perempuan tersebut.
Acara pamungkas dari pertunjukan budaya di Kampung Sindang Barang adalah penampilan kedua dari penari jaipong berbaju merah dengan judul Leungiten. Dalam tari ini saya melihat ada dua sesi tarian. Sesi pertama tarian serius dan gerakannya lebih sulit. Serius karena terlihat dari mimik penari yang terlihat serius. Sesi kedua tarian ceria dan gerakannya lebih mudah diikuti dengan tempo yang cukup cepat. Ceria karena terlihat dari mimik penari yang selalu menampilkan senyum bahkan beberapa kali tertawa lepas saat menari.
Setelah pertunjukan tari jaipong berakhir, kami pun diberikan kesempatan untuk berfoto-foto dengan para seniman yang tadi mempertunjukkan kebolehannya dalam satu jam terakhir. Sasaran foto pertama tentu penari jaipong yang saat itu sudah kepanasan dan kegerahan. Muka mereka isinya keringat semua. Hal tersebut masuk akal karena selain sudah mendekati makan siang, hujan baru berhenti, bajunya yang digunakan bukan jenis yang nyaman dan mereka baru saja melakukan gerakan kardio yang cukup lama.
Tidak aneh, begitu selesai foto-foto mereka langsung ngacir dari lokasi dan tidak lagi terlihat di sekitar tempat Kampung Sindang Barang. Sepertinya mereka cepat-cepat ganti baju, mandi, dan siap-siap untuk malam mingguan menunggu jemputan jejaka idaman.
Sasaran foto kedua adalah anak-anak. Tidak seperti penari jaipong yang kuyup dengan keringat, anak-anak lebih terlihat nyaman dengan pakaiannya. Gerakan mereka saat memperagakan permainan temponya jauh lebih lambat daripada tari jaipong. Tidak heran mereka tidak terlalu terlihat keringatan, walaupun jenis bahan pakaian yang digunakan tidak terlalu berbeda dengan penari jaipong.
Sasaran foto ketiga adalah para pesilat. Walaupun ada adegan berkelahi ketika pertunjukan, tapi karena waktunya tidak terlalu lama dan pakaiannya lebih nyaman daripada penari maupun anak-anak, tidak terlihat pula keringat mengucur dari tubuh para pesilat.
Yang paling ditunggu-tunggu tentunya adalah foto dengan para pemain Angklung Gubrak. Kumpulan perempuan paruh baya, yang salah satunya memiliki kebiasaan latah, menjadi hiburan tersendiri dari seluruh pertunjukan seni Kampung Sindang Barang siang itu.
Saya pun mendapatkan kesempatan untuk memegang dan menggoyang angklung ukuran jumbo walaupun hanya dalam waktu yang sangat singkat. Memang benar, lumayan berat! Bisa saya bayangkan bagaimana kuatnya perempuan paruh baya itu, karena walaupun pas pertunjukkan hanya memperlihatkan kebolehannya selama beberapa menit, tapi ketika latihan, pasti bilangannya berjam-jam malah mungkin berhari-hari, menggoyang-goyangkan angklung yang besar tersebut. Hebat!
Setelah puas berfoto-foto, kami menikmati makan siang sederhana yang disediakan oleh Kampung Sindang Barang dengan lahap. Mungkin kami cukup lapar setelah perjalanan empat jam yang melelahkan, dan lebih banyak berdiri karena fokus memotret saat pertunjukan berlangsung.
Kalau bisa dianalogikan, menikmati pertunjukan budaya di Kampung Sindang Barang, seperti layaknya berada di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Jakarta. Di TMII, ketika ingin tahu kebudayaan provinsi lain, maka yang perlu dilakukan hanya tinggal pindah ke tempat sebelah.
Di Kampung Sindang Barang hal yang mirip terjadi pula.
Mau tahu tari jaipong Sunda? Ada
Mau tahu permainan tradisional anak-anak Sunda? Ada
Mau tahu pencak silat Sunda? Ada
Mau tahu bangunan lumbung padi ala Sunda? Ada juga
Pokoknya komplit plit plit.
Oleh karena itu Kampung Sindang Barang bisa juga kita sebut Taman Mini Bogor Indah. Datangi tempat ini, dalam dua atau tiga jam saja anda berada di sini, seluruh budaya Sunda, khususnya di Bogor dan sekitarnya dapat anda nikmati semuanya.
Kurangnya cuma satu menurut saya, musiknya bukan berasal dari live musik tradisional melainkan dari rekaman yang disalurkan lewat speaker. Akan lebih maknyus bila live musik Gamelan Sunda tersedia di sini.
Berapa biayanya? Terus terang yang mengurus biaya adalah panitia perjalanan kami. Namun kalau dilihat dari website resmi Kampung Sindang Barang, biaya untuk menikmati pertunjukan di atas sekaligus mendapatkan makan siang tidak sampai 200 ribu rupiah per orang, belum termasuk transportasi. Silakan klik http://kp-sindangbarang.com/ untuk informasi lebih lanjut.