Nostalgia Angkutan Umum Jaman Dulu Bagian 3

Di bagian tiga ini saya akan menceritakan nostalgia naik angkutan umum sewaktu duduk di Sekolah Menengah Atas. Bagian pertama dapat dibaca di sini. Sedangkan bagian kedua dapat dibaca di sini.

Saat di sekolah menengah atas, kebetulan saya dan abang saya bersekolah di tempat yang sama. Sehingga berangkat pun kami bareng. Hebatnya lagi sekolahan saya itu letaknya masih di satu komplek perumahan dengan tempat sekolah waktu di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Oleh karena itu angkutan umum yang saya pergunakan pun pada prinsipnya sama.

Apa yang beda kalau begitu?

Yang beda adalah variasinya.

Biasanya saat pagi mau berangkat sekolah, saya dan abang saya naik KWK dari komplek perumahan. Kemudian menjelang masuk ke Kalimalang, kami turun dari KWK dan melanjutkan jalan kaki hingga sampai ke sekolahan.

Kenapa jalan kaki? Karena itu sangat menghemat waktu. Dengan jalan kaki kami hanya berjarak 15 menit dari sekolahan. Namun ketika mengikuti angkutan umum, kemacetan sudah mulai tampak bahkan dari beberapa ratus meter menjelang masuk ke Jalan Raya Kalimalang, sehingga tidak jelas waktu sampai ke sekolahan.

Tempat sekolah saya waktu di sekolah menengah atas lebih dekat ke Jalan Raya Kalimalang daripada saat masih di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Jaraknya kalau jalan kaki bisa sampai 8 menitan. Namun kondisi kemacetan waktu di sekolah menengah atas jauh lebih hebat daripada saat masih sekolah dasar atau sekolah menengah pertama.

Waktu keberangkatan saya dari rumah saat sekolah menengah atas pun sekitar pukul 6.30. KWK di komplek perumahan pada jam segitu cukup banyak. Kami dapat menemui paling tidak dua KWK dalam jarak berdekatan pada jam tersebut.

Perjalanan menuju Curug, Kalimalang membutuhkan waktu sekitar 10 menit. Namun karena macet di beberapa ratus meter menjelang Curug, maka saya dan abang saya memutuskan untuk jalan kaki ke sekolah dari tempat tersebut.

Kami biasanya sampai sekolah antara pukul 6.55 hingga pukul 7.05. Yah kadangkala telat, tapi kebanyakan tidak telat. Jika telat pun hanya beberapa menit dan masih diperbolehkan untuk masuk pintu gerbang sekolah oleh satpam sekolah.

Kalau telatnya lebih dari 7.30, baru kami tidak diperbolehkan masuk oleh satpam sekolah dan terpaksa kembali ke rumah hari itu. Namun hal itu tidak pernah terjadi.

Jika abang saya tidak bersama saya hari itu, maka saya akan berangkat lebih pagi. Biasanya saya berangkat pukul 6 hingga pukul 6.15. Kenapa kalau bersama abang saya berangkatnya lebih lambat? Karena memang abang saya demennya mefet-mefet berangkatnya….hehehe.

Kebanyakan saya yang menunggunya daripada dia yang menunggu saya.

Kenapa harus bersama-sama? Karena saat berjalan selama 15 menit menuju sekolah, jalur yang kami lalui adalah jalur sawah yang kebanyakan jalan tanah dan sepi dari lalu lintas orang. Jalan berdua jauh lebih aman daripada hanya berjalan sendiri. Oleh karena itu kami senantiasa berdua bila berjalan melalui jalan pintas ke sekolah.

Kalau pulangnya bagaimana?

Sekolahan kami saat duduk di sekolah menengah atas memberlakukan jam belajar yang berbeda daripada sekolah biasa. Jika sekolah lain sudah bisa pulang menjelang waktu Zuhur, sekolah kami pulangnya menjelang waktu Ashar. Ada tambahan jam belajar 3 jam setiap harinya.

Apakah ada kompensasinya? Iya ada! Sabtu kami libur! Mirip seperti orang kerja kantoran yang waktu itu sudah mulai menerapkan hari Sabtu sebagai hari libur.

Pulang pada pukul setengah empat sore membuat kami pulang bukan pada jam sibuk. Ketika pulang, saya dan abang saya kadang barengan kadang tidak. Tergantung jam pulang kelas masing-masing. Lagipula teman abang saya dan saya pun berbeda. Jadi pulangnya tidak selalu bareng.

Saat pulang alternatifnya hanya satu, yaitu jalan kaki dari sekolah ke Jalan Raya Kalimalang. Kemudian naik Metromini T54 hingga ke Curug, Kalimalang. Memang bisa juga naik Mikrolet, tapi tarif Metromini yang hanya Rp 100 per trip membuatnya jauh lebih menarik daripada naik Mikrolet.

Karena bukan jam sibuk, Metromini di jam-jam segitu potensi untuk dapat tempat duduknya besar sekali. Andaikata tidak dapat pun, saat berdiri masih terasa begitu lega. Tidak dempet-dempetan seperti naik KRL sekarang ini saat jam sibuk.

Yang jadi masalah adalah saat dari Curug, Kalimalang menuju komplek perumahan. Kenapa masalah? Karena bukan jam sibuk.

Waktu ngetem KWK jadi lebih panjang daripada biasanya. Biasanya 10-15 menit sudah jalan, kali ini bisa sampai 30 menit pun belum jalan. Sehingga saya jadi lebih sering menggunakan ojek untuk sampai ke rumah jika melihat naik KWK waktu tunggunya lama.

Saat itu jika naik KWK tarifnya Rp 200, sedangkan kalau naik ojek tarifnya Rp 500. Ada perbedaan yang cukup signifikan. Namun karena saya lebih sering membawa makanan sendiri ke sekolah, karena pulangnya lebih sore, sehingga uang jajan praktis tidak terlalu banyak kepakai setiap harinya, naik ojek pun masih mencukupi budget uang jajan mingguan dari orang tua.

Lagipula di pagi harinya, saya pun masih bisa berhemat Rp 100 (jika naik Metromini) hingga Rp 200 (jika naik Mikrolet) karena berjalan kaki dari beberapa ratus meter menjelang Curug.

Yang menjadi alasan lainnya adalah waktu belajar yang lebih lama daripada biasanya membuat badan lebih letih rasanya. Hal itu memberikan motivasi lebih untuk sampai rumah lebih cepat lagi. Saya tidak naik ojek bila melihat bahwa KWK sudah hampir penuh atau sedang mau berangkat saat itu. Atau saya lagi tidak ada uang karena uangnya sudah habis atau dihemat untuk rencana yang telah saya buat sebelumnya.

Praktis, angkutan umum yang saya naiki sejak jaman sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas adalah sama. Hal itu terjadi karena rutenya sama. Yang berbeda hanya variasinya. Jadi saya tidak mengenal angkutan lain di masa itu selain KWK, Mikrolet M26, Mikrolet M19, Metromini T54 dan ojek yang masuk ke komplek perumahan saya.

Sekali atau dua kali sebulan memang suka ada ekstra kulikuler di tempat lain, seperti berenang di Galaxy, Bekasi atau berkunjung ke rumah teman di daerah Pondok Kelapa dan sekitarnya. Tapi jenis angkutan umum yang dipakai tetap sama.

Ketika masuk kuliah, saya pun merasakan angkutan umum lainnya. Ada satu bentuk angkutan umum yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Apakah itu? Nantikan di bagian keempat tulisan ini.

Nostalgia Angkutan Umum Jaman Dulu Bagian 2

Sudah baca bagian pertama tulisan ini? Kalau belum baca dulu deh di sini.

Menjadi anak Sekolah Menengah Pertama ada perubahan besar kepada jadwal sekolah saya. Iya, saya masuk siang. Jadwal belajar mulai pukul 12.30. Saya biasa berangkat pukul 11.00 siang.

Kalau sekolah pagi, biasanya masih suka diantar oleh orang tua karena sekalian berangkat ke tempat kerja. Namun kalau sekolah siang, sudah jelas harus pulang sendiri.

Mulai jadi anak Sekolah Menengah Pertama saya harus mulai mandiri, paling tidak untuk urusan angkutan umum. Waktu masih di sekolah dasar saya ikut jemputan, sampai kelas enam. Begitu masuk sekolah menengah pertama, tidak ada lagi ceritanya jemputan semacam itu.

Kompensasi berangkat tanpa jemputan artinya saya mendapatkan uang jajan lebih. Papa saya biasa memberikan uang jajan dengan periode mingguan. Cukup tidak cukup. Pas tidak pas. Lebih tidak lebih, harus bisa dipakai untuk satu minggu. Tidak ada tambahan sepeser pun yang diberikan di tengah minggu jika uangnya dah keburu habis.

Seringkali saya harus menahan lapar di sekolah karena uangnya terbatas. Makanan favorit saya ketika di sekolah menengah pertama adalah bacang. Murah dan mengenyangkan. Beli dua bacang perut sudah kenyang namun harganya masih lebih murah daripada satu mangkok bakso.

Angkutan umum yang saya gunakan pun masih sama.

Di komplek perumahan, Omprengan.

Di Jalan Raya Kalimalang, Dua Mikrolet dan Satu Metromini.

Yang beda adalah tarifnya. Omprengan sudah mulai Rp 200 per trip. Mikrolet pun mintanya juga Rp 200 per trip, walaupun saya selalu bayar Rp 150 atau bahkan Rp 100. Toh dekat dari Curug ke Kodam. Hanya jarak satu jembatan penyebrangan di Kalimalang.

Jalan kaki dari Kalimalang menuju sekolahan adalah hal satu-satunya yang harus ditempuh saat itu. Tidak ada angkutan umum masuk komplek perumahan yang ada sekolah saya di dalamnya. Sekolah saya waktu menjadi anak sekolah menengah pertama tepat di belakang sekolah saya waktu masuk duduk di sekolah dasar.

Jadi pada dasarnya sama saja. Rutenya sama. Angkutan umumnya sama.

Namun ketika naik kelas dua, ada sedikit perubahan di jenis angkutan umum. Omprengan yang masuk ke komplek perumahan sudah berubah menjadi angkutan jenis KWK (Koperasi Wahana Kalpika). Sejak menggunakan KWK, yang berdiri di angkutan umum semakin sedikit, walaupun masih bisa dua orang sekaligus berdiri bergelantungan di pintu.

Saya paling senang berdiri bergelantungan di pintu. Rasanya laki banget. Keren!

Ada sih yang lebih keren saat itu, yaitu merokok! Tapi saya tidak suka rokok. Saya lebih baik bergelantungan di pintu KWK.

Sebenarnya bisa juga bergelantungan di Mikrolet saat melaju di Jalan Raya Kalimalang. Namun ada dua kendala.

Pertama, karena Mikrolet berada di jalan raya, kecepatannya cenderung tinggi.

Kedua, banyak polisi di sekitar jalan raya, sehingga supirnya takut ketilang kalau ketahuan ada orang yang berdiri di pintu mobilnya.

Di KWK, kedua kendala tersebut tidak ada. KWK beredar di sekitar komplek perumahan, sehingga kecepatan maksimumnya paling hanya 40 km/jam. Itu pun jarang, terutama yang belum penuh-penuh banget.

Namun sayangnya waktu kedatangannya masih belum dapat diperkirakan. Kalau beruntung, begitu sampai di tempat tunggu angkutan umum dalam komplek KWK sudah datang. Kalau lagi buntung harus menunggu paling tidak setengah jam sebelum dapat angkutan.

Saya ingat sekali di jaman masih duduk di Sekolah Menengah Pertama itulah pertama kali saya dipalak. Jam tangan Casio pemberian Papa saya berpindah tangan ke tangan pemalak saya. Pemalak saya saat itu dandanannya seperti kuli bangunan, umur di atas 20 tahun dan dua orang. Saat itu saya berdua bersama teman saya sengaja berjalan dari Kodam, Kalimalang ke Curug, Kalimalang lewat jalan setapak pinggir kali.

Waktu itu kami baru saja pulang dari sekolah masuk siang, dan waktu pulangnya lebih cepat daripada jadwal biasanya. Sehingga saya dan teman saya memutuskan untuk jalan kaki menuju Curug yang lumayan menghemat hingga Rp 150.

Memang menghemat Rp 150, tapi rupanya kehilangan jam tangan. Memang sudah rejeki pemalak saya waktu itu, walaupun rejekinya tidak dari jalan yang halal.

Saat ini jalan setapak itu mungkin sudah tidak ada dan sudah berganti jalan yang dapat dilewati mobil. Semoga tidak ada lagi anak-anak yang dipalak di daerah situ ke depannya.

Saat pulang sekolah ketika masuk siang, ada sesuatu yang saya kejar saat sampai di rumah. Sesuatu itu adalah film seri Saint Seiya. Waktu itu film tersebut tayang mulai pukul 17.30 hingga pukul 18.00. Jam pulang sekolah saya waktu itu mendekati pukul lima sore. Sehingga saya harus cepat-cepat pulang jika ingin menyaksikan film seri kesayangan saya tersebut.

Seringkali saat pulang saya sudah ketinggalan filmnya, karena sampai lewat pukul 18.00. Namun beberapa kali saya masih sempat menonton filmnya walaupun tidak pernah dari paling awal.

Telatnya saya sampai rumah terutama disebabkan oleh lamanya menunggu KWK untuk berangkat dari Curug, Kalimalang menuju komplek perumahan saya. Waktu tunggu angkutan umum ngetem di jam-jam tersebut rata-rata di antara 15-20 menit. Waktu yang cukup panjang untuk kehilangan film seri yang tayangnya hanya 30 menit sepekan.

Oleh karena itu saya pun kadang suka menggunakan angkutan alternatif dari Curug, Kalimalang menuju rumah. Alternatifnya adalah ojek.

Pakai ojek, tidak ada kata menunggu. Naik langsung jalan dan turun bisa langsung depan rumah tanpa harus mengikuti rute angkutan yang tetap. Kompensasinya ya harus bayar lebih mahal. Saat masih menjadi anak sekolah menengah pertama, tarif ojek sekali jalan adalah Rp 300. Dua kali lebih mahal daripada naik angkutan umum KWK.

Malah tarif tersebut kemudian naik menjadi Rp 500 saat pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM beberapa saat kemudian. Memang saat itu tarif KWK menjadi Rp 200 untuk pelajar dan Rp 250 untuk dewasa.

Dulu ojek itu tidak ada yang pakai helm satu pun. Apalagi penumpangnya. Tidak pernah ada ceritanya penumpang ojek pakai helm. Soalnya rutenya tidak melewati jalan raya sedikit pun. Jadi lebih aman dari polisi walaupun melanggar aturan lalu lintas.

Penggunaan ojek akan menjadi lebih sering saya lakukan begitu saya semakin besar. Kenapa?

Nantikan di bagian ketiga tulisan ini.

Nostalgia Angkutan Umum Jaman Dulu Bagian 1

Saat ini, mau tidak mau kita harus mengakui bahwa angkutan umum jaman now, jauh lebih baik. Mulai dari KRL yang sekarang selalu tepat waktu, pakai pendingin udara dan stasiunnya yang sudah modern dan bagus desainnya. Lalu ada Transjakarta yang sudah banyak rutenya, sehingga kemana-mana pun hanya membayar sekali, selama transitnya di halte resmi Transjakarta.

Jangan lupa juga dengan MRT dan LRT yang harusnya tidak lama lagi beroperasi. Kereta bandara pun jadi salah satu alternatif angkutan umum yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

Itu kondisi jaman now. Bagaimana kondisi jaman dulu?

Saya mulai mengenal angkutan umum sejak jaman masih bersekolah di sekolah dasar. Waktu itu saya sekolah di daerah Kodam, Kalimalang, sedangkan saya tinggal di Jatibening, Pondok Gede. Memang saat masih sekolah dasar saya lebih sering menggunakan jemputan yang disewa oleh orang tua saya. Nama supirnya saat itu adalah Om An.

Menjelang lulus sekolah dasar, saya mulai menggunakan angkutan umum, terutama saat pulang dari sekolah. Alasannya simpel, merasa sudah besar. Lagipula jarak dari rumah ke sekolah tidak terlalu jauh. Jika diukur dengan jarak, mungkin saja jaraknya tidak lebih dari tujuh kilometer.

Angkutan umum yang tersedia saat itu adalah:

Omprengan.

Mobil angkutan umum yang mungkin sudah susah ditemui saat ini. Tidak seperti Omprengan jaman now yang merupakan mobil biasa yang dijadikan angkutan umum, atau bahasa resminya angkutan umum gelap, Omprengan jaman dulu adalah mobil yang dasarnya adalah bak terbuka, namun bagian belakangnya dimodifikasi seperti naik truk tronton.

Untuk naik ke omprengan ada dua cara. Pertama, duduk di depan membuka pintu penumpang depan. Jumlah maksimum yang dapat ditampung adalah dua orang. Sama supir jadi tiga orang.

Kedua, duduk di belakang lewat bagian belakang mobil. Tidak ada pintu samping di belakang pintu depan. Kalau sekarang kaya lewat pintu bagasi, walaupun tidak ada pintunya. Persis sekali naik truk tronton tentara kalau mau pergi ke luar kota.

Omprengan beroperasi dari pagi hingga selepas Maghrib. Rutenya adalah keliling di sekitar komplek, kemudian menuju ke Jalan Raya Kalimalang di daerah Curug. Waktu itu tarifnya untuk anak sekolah hanya Rp 100 – Rp 200 per trip.

Tidak jelas kapan waktu kedatangan Omprengan. Biasanya saya menunggu paling lama 30 menit hingga mendapatkan Omprengan di saat bukan jam sibuk. Bila di jam sibuk (sekitar pukul 6 hingga 6.30), maka rata-rata waktu tunggu 10-15 menit.

Untuk menuju sekolahan saya, dari Curug, perlu naik angkutan umum lain ke arah Kodam, Kalimalang. Yang tersedia saat itu ada tiga.

Dua Mikrolet.

Yang satu M26 (Bekasi – Kampung Melayu) dan yang lain M19 (Klender – Cililitan). Mikrolet ini sama dengan yang dikenal sekarang, namun tentu kendaraan yang digunakan berbeda. Jaman dulu Mikrolet menggunakan mobil Kijang atau Panther.

Satu yang khas dari Mikrolet hingga jaman now adalah, waktu tunggunya yang cukup cepat. Rata-rata tidak sampai 5 menit satu Mikrolet sudah dapat kita berhentikan dengan melambaikan tangan di pinggir jalan. Seringkali malah Mikroletnya yang menghampiri kita, bila saat itu jumlah penumpangnya tidak terlalu banyak.

Sayangnya, yang menjadi khas lain dari Mikrolet hingga jaman now, anak sekolah bukan merupakan prioritas untuk diangkut. Sebabnya mudah, tarifnya lebih murah. Makan tempatnya sama.

Satu Metromini.

T54 (Lampiri – Kampung Melayu).

Metromini menggunakan mobil yang sama persis dengan Metromini yang beredar jaman now. Bentuk Metromini tidak berubah sampai sekarang dari sejak saya masih duduk di sekolah dasar. Mungkin bentuk itu lebih lama lagi dari masa kehidupan saya di dunia ini.

Saat naik Metromini, biasanya Metromininya sudah agak penuh, sehingga saya lebih sering berdiri daripada duduk. Namun Metromini selalu menjadi favorit saya. Kenapa? Karena paling murah.

Dari mulai saya sekolah dasar, hingga saya lulus SMA, tarifnya tetap. Rp 100 per trip. Dahulu pelajar tetap Rp 100 per trip sampai saya masuk kuliah, baru tarif pelajar berubah jadi Rp 500.

Tarif Mikrolet biasanya tergantung jarak. Khusus saya yang cuma berjarak kurang dari dua kilometer dari Curug, Kalimalang ke Kodam, Kalimalang, tarifnya biasanya Rp 50 lebih mahal daripada tarif Omprengan saya. Ketika tarif Omprengan Rp 100, maka Mikrolet memberlakukan Rp 150. Ketika Omprengan Rp 150, maka Mikrolet menjadi Rp 200.

Artinya untuk bolak-balik naik angkutan umum, saya membutuhkan uang paling tidak Rp 400 dengan catatan naik Metromini di Jalan Raya Kalimalang. Padahal uang jajan saya saat itu hanya Rp 500 per hari. Artinya saya hanya punya cadangan uang jajan sebesar Rp 100 per harinya saat sekolah dasar.

Saat itu dengan Rp 100 sudah mendapatkan empat buah pempek dari kantin di sekolah. Cukuplah untuk sekedar mengisi perut sebelum sampai ke rumah.

Naik Omprengan pagi-pagi dari komplek perumahan, saya biasanya dapat tempat duduk di belakang. Walaupun jam sibuk, di pagi hari omprengan tidak sepenuh angkutan umum yang biasa kita temui saat jam sibuk di kota Jakarta. Isinya memang hampir penuh, tapi biasanya masih ada sisa satu atau dua tempat duduk lagi sampai ke tempat tujuan. Tapi ya itu, waktu tunggunya lumayan.

Untuk saya yang sudah harus berada di sekolah pukul 7, tentu harus menyesuaikan diri agar tidak telat. Saat masih di sekolah dasar, pagi-pagi saya hampir selalu ikut jemputan. Namun siangnya seringkali pulang naik angkutan umum karena sering main dulu dengan teman-teman yang lain.

Dari Kodam, Kalimalang ke sekolahan saya jaraknya sekitar satu kilometer. Jalan kaki santai sekitar 15 menit. Tidak ada angkutan umum tersedia dari sekolah saya ke Jalan Raya Kalimalang. Sehingga satu-satunya jalan menuju sekolah bila naik angkutan umum adalah dengan berjalan kaki.

Jalan kaki saat pulang enaknya bersama dengan beberapa teman. Tidak terasa, tiba-tiba kita sudah sampai di Jalan Raya Kalimalang. Saat itu untuk menyebrang jalan raya, diperlukan sedikit keberanian karena kendaraan yang lalu lalang kecepatannya cukup tinggi.

Memang tidak sepadat jaman now yang makin susah menyebrang, jaman dulu kendaraan didominasi oleh mobil, sehingga relatif lebih mudah menyebrang daripada kendaraan jaman now yang didominasi oleh sepeda motor.

Ketika balik naik Omprengan dari Curug ke komplek perumahan, saya harus menunggu Omprengannya penuh. Penuh di sini benar-benar penuh atau semua kursi terisi. Bahkan beberapa ada yang berdiri karena tidak mau menunggu 15-30 menit lagi hingga keberangkatan Omprengan berikutnya.

Saat masih di sekolah dasar, saya tidak berani berdiri di belakang Omprengan. Rata-rata yang berdiri di belakang adalah anak Sekolah Menengah Pertama atau anak Sekolah Menengah Atas. Sebagai anak Sekolah Dasar, saya pun lebih sering disuruh duduk di dalam, walaupun sebenarnya ingin sekali berdiri di belakang seperti kakak-kakak saya tersebut.

Memasuki Sekolah Menengah Pertama, ada perubahan di angkutan umum yang saya naiki. Apa saja perubahannya? Nantikan di bagian kedua tulisan ini.

Ujung-ujungnya Warga Juga yang Jadi Korban

Di tulisan saya sebelumnya saya mengungkapkan kesenangan saya karena bus pengumpan Transjakarta sudah masuk di depan komplek perumahan saya. Di tulisan yang sama, saya juga mengungkapkan kesedihan saya karena Metromini yang selama ini merupakan satu-satunya angkutan umum yang lewat depan komplek perumahan saya, semakin hari semakin sedikit penumpangnya.

Saya pun berbagi kesenangan saya di grup Whatsapp yang saya ikuti. Kebetulan grup teman satu angkatan saya. Saya mengungkapkan kebahagiaan saya di sana, walaupun saya tidak membagikan tulisan saya tersebut ke grup.

Ada yang baru ngeh bahwa Transjakarta sekarang sudah ada bus pengumpan. Ada yang anggap bahwa hal itu biasa karena sudah ada sejak tahun lalu. Ada yang senang karena akhirnya Metromini dan angkutan umum lainnya yang sejenis, akhirnya mulai “terbunuh”.

Saya tekankan di kata “terbunuh”. Dan itu sangat menyedihkan.

Ketika angkutan umum seperti Metromini, Koantas Bima, Kopaja dan sejenisnya terbunuh, maka dampak langsungnya dirasakan oleh keluarga inti supir dan pihak-pihak yang terkait dengan rejeki yang mengalir dari angkutan umum itu. Dengan keadaan saat ini, rejeki mereka tentu tidak sebaik sebelumnya. Ada dua akibat tidak langsung dari seretnya rejeki mereka.

Pertama adalah kemiskinan.

Kemiskinan di ibukota ujung-ujungnya adalah melahirkan sumber kejahatan atau kriminalitas baru. Korban dari kejahatan tentunya adalah warga sendiri. Warga yang tidak tahu-menahu menanggung akibat dari kebijakan pemerintah DKI Jakarta yang sengaja “membunuh” angkutan umum semacam Metromini.

Ketika ada tindak kejahatan atau kriminalitas, yang jadi korban adalah warga sendiri.

Kedua adalah bobroknya kondisi kendaraan.

Jika ini terjadi, jelas bahwa potensi kecelakaan melibatkan angkutan umum tersebut meningkat pesat. Kita akan sering mendengar kecelakaan maut yang melibatkan angkutan umum sejenis. Kecelakaan maut biasanya terjadi karena ada mekanisme dari kendaraan yang tidak dapat berfungsi sebagai mana mestinya. Biasanya yang gak bisa bohong adalah rem. Rem yang blong seringkali menjadi kambing hitam dalam sebuah kecelakaan maut yang melibatkan angkutan umum sejenis.

Ketika kecelakaan maut terjadi, yang jadi korban ya warga sendiri.

Memang dengan adanya bus pengumpan yang menjangkau lebih banyak area, mobilitas warga Jakarta sangat dimudahkan dan dimanjakan. Beberapa tahun lalu, dengan munculnya angkutan umum online, warga Jakarta merasa sangat dimanjakan. Kemana-mana tarifnya Rp 10.000. Betul-betul bagaikan surga.

Sekarang angkutan umum online memang masih murah, tapi tidak semurah dulu waktu baru awal-awal. Namun warga Jakarta masih dimanjakan dengan rute transjakarta yang sudah banyak menjangkau daerah-daerah yang selama ini luput dari jangkauan koridor-koridor utama Transjakarta. Mulai dari yang rute yang paling rame, hingga ke rute-rute yang tidak terlalu rame tapi melewati jalan-jalan yang cukup besar.

Dulu angkutan umum bisa berbuat seenaknya dan warga tidak memiliki pilihan. Sekarang pilihan banyak, sehingga angkutan umum yang dulu berbuat seenaknya langsung ditinggalkan oleh hampir semua “langganan”-nya.

Tapi keadaan “membunuh” angkutan umum tidak dapat dibiarkan begitu saja. Pemerintah DKI Jakarta harus bertindak. Entah menggandeng mereka kembali untuk bergabung ke sistem transportasi yang dimiliki Pemerintah DKI Jakarta, atau hentikan ijin trayek mereka.

Jika keadaan ini masih dibiarkan dan dikembalikan ke mekanisme pasar, maka yang terjadi adalah timbul korban dari pihak warga sendiri. Pilihannya adalah menjadi korban kriminalisme dari pihak-pihak yang masih terkait dengan angkutan umum lama dan kerabat-kerabatnya, ATAU menjadi korban karena bobroknya kondisi umum yang mengancam nyawa siapa pun yang berada di dekatnya.

Apakah kita mau nyawa warga terenggut percuma gara-gara hal tersebut?

Kriminalitas ATAU kecelakaan maut.

Siapa yang jadi korban? Ya warga sendiri!

Semoga Pemerintah DKI Jakarta cepat bertindak dan memberikan solusi terbaik mengenai angkutan umum agar kebijakan mengenai angkutan umum ini tidak ujung-ujungnya warga juga yang menjadi korban.

Senang dan Sedih Naik Angkutan Umum

Beberapa hari terakhir ini saya terpaksa merasakan kembali naik angkutan umum setelah lebih dari satu tahun memilih naik sepeda motor untuk pergi ke dan pulang dari kantor. Saya menemukan sebuah kesenangan, yaitu sudah ada bus pengumpan busway lewat depan komplek perumahan saya.

Namun saya juga merasa sedih, karena metromini yang selama ini melayani jalur depan komplek rumah saya, penumpangnya drastis menurun. Bahkan di sebuah metromini sudah tidak lagi ditemukan kenek di dalamnya. Tinggal supir yang mengemudikan dan juga menerima pembayaran dari penumpang.

Senang karena kedatangan busway bisa diprediksi secara tepat. Kebanyakan busnya menggunakan GPS yang bisa dipantau dengan aplikasi smartphone yang bernama TRAFI. Tapi sayangnya karena jalur di depan komplek saya baru, GPS-nya kadangkala tidak nyala dan bus-busnya tidak bisa dipantau secara online.

Dengan adanya bus pengumpan busway di depan komplek saya, saya mengharapkan waktu perjalanan yang lebih singkat dan juga biaya yang lebih murah. Soalnya dari depan komplek biasanya saya menggunakan metromini atau mikrolet untuk menuju halte busway terdekat, lalu naik busway sampai halte tertentu. Dilanjutkan dengan angkot atau bus pengumpan busway sampai menuju kantor.

Saat ini, harapan saya, dari depan komplek perumahan, naik bus pengumpan, lalu lanjut busway tanpa bayar lagi, kemudian naik bus pengumpan lagi setelah sampai halte tujuan. Cuma bayar dua kali, yaitu saat naik depan komplek perumahan dan saat lanjut setelah mencapai halte tujuan. Total biaya perjalanan hanya Rp 7.000 sekali jalan.

Pulangnya pun begitu, naik bus pengumpan dari dekat kantor sampai halte busway yang saya tuju. Kemudian naik busway hingga dekat dengan rumah saya. Selanjutnya naik bus pengumpan kembali tanpa bayar ke depan komplek perumahan.

Ah impian naik angkutan yang aman dan nyaman sudah ada di depan mata. Impian yang selama ini hanya bisa saya khayalkan, saat ini benar-benar nyata sudah tersedia. Terima kasih jajaran pemerintah provinsi DKI Jakarta. Saya sengaja tidak berterima kasih kepada Pak Gubernur seorang, karena ini adalah kerja sebuah tim, bukan kerja seorang saja, walaupun dia seorang pemimpin.

Sedih, karena bila melihat penumpang metromini yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari sebelah tangan, saya langsung membayangkan keluarga dari supir metromini tersebut. Mungkin kita bisa langsung menghakimi karena sikap dan perilaku mereka tidak berubah. Apalagi di tempat lain, minggu lalu, baru saja terjadi kecelakaan maut yang diakibatkan oleh metromini yang ngebut dan menabrak beberapa orang di sekitarnya.

Mungkin ini seleksi alam, tapi alangkah elegannya bila seleksi tersebut tidak harus mengorbankan pihak-pihak yang kalah. Dalam sebuah komunitas, kita harus berlomba-lomba untuk membantu sesama. Memang pihak metromini selama ini selalu keras kepala dan tidak mau berkompromi, tapi gara-gara keegoisan beberapa pihak, sejumlah keluarga jadi kesulitan. Orang-orang mungkin jadi korban lebih banyak karena biaya operasional tidak berhasil ditutupi oleh tarif yang diterima dari penumpang.

Sudah waktunya kompromi kembali digelar antara pihak metromini dan pemerintah provinsi DKI Jakarta agar win-win solution bisa dicapai. Dengan sengaja membuat rute baru bus pengumpan yang langsung bersinggungan dengan trayek metromini, pasti akan membunuh metromini itu sendiri.

Perubahan ke arah lebih baik, tidak harus dimulai dengan menghancurkan yang sudah ada, tapi memperbaiki yang sudah ada dengan membina para pemain lama agar bisa berperan sesuai dengan perubahan jaman. Memang berat, tapi itu lebih elegan daripada membunuh mereka secara terang-terangan di depan orang banyak.

Membunuh memang solusi tercepat, tapi pasti makan korban.

Apakah tidak cukup korban yang berjatuhan gara-gara kendaraan angkutan umum tidak layak jalan akibat dari pendapatan yang tidak memadai?

Saran saya, jika anda naik metromini, kasih lebihlah supirnya seperti anda berulang kali memberikan tips lebih kepada penyedia jasa angkutan online. Mereka lebih butuh itu daripada penyedia jasa angkutan online, karena memang pendapatannya saat ini berkurang, bukan saja tajam, tapi drastis hampir nol.