Nostalgia Angkutan Umum Jaman Dulu Bagian 2

Sudah baca bagian pertama tulisan ini? Kalau belum baca dulu deh di sini.

Menjadi anak Sekolah Menengah Pertama ada perubahan besar kepada jadwal sekolah saya. Iya, saya masuk siang. Jadwal belajar mulai pukul 12.30. Saya biasa berangkat pukul 11.00 siang.

Kalau sekolah pagi, biasanya masih suka diantar oleh orang tua karena sekalian berangkat ke tempat kerja. Namun kalau sekolah siang, sudah jelas harus pulang sendiri.

Mulai jadi anak Sekolah Menengah Pertama saya harus mulai mandiri, paling tidak untuk urusan angkutan umum. Waktu masih di sekolah dasar saya ikut jemputan, sampai kelas enam. Begitu masuk sekolah menengah pertama, tidak ada lagi ceritanya jemputan semacam itu.

Kompensasi berangkat tanpa jemputan artinya saya mendapatkan uang jajan lebih. Papa saya biasa memberikan uang jajan dengan periode mingguan. Cukup tidak cukup. Pas tidak pas. Lebih tidak lebih, harus bisa dipakai untuk satu minggu. Tidak ada tambahan sepeser pun yang diberikan di tengah minggu jika uangnya dah keburu habis.

Seringkali saya harus menahan lapar di sekolah karena uangnya terbatas. Makanan favorit saya ketika di sekolah menengah pertama adalah bacang. Murah dan mengenyangkan. Beli dua bacang perut sudah kenyang namun harganya masih lebih murah daripada satu mangkok bakso.

Angkutan umum yang saya gunakan pun masih sama.

Di komplek perumahan, Omprengan.

Di Jalan Raya Kalimalang, Dua Mikrolet dan Satu Metromini.

Yang beda adalah tarifnya. Omprengan sudah mulai Rp 200 per trip. Mikrolet pun mintanya juga Rp 200 per trip, walaupun saya selalu bayar Rp 150 atau bahkan Rp 100. Toh dekat dari Curug ke Kodam. Hanya jarak satu jembatan penyebrangan di Kalimalang.

Jalan kaki dari Kalimalang menuju sekolahan adalah hal satu-satunya yang harus ditempuh saat itu. Tidak ada angkutan umum masuk komplek perumahan yang ada sekolah saya di dalamnya. Sekolah saya waktu menjadi anak sekolah menengah pertama tepat di belakang sekolah saya waktu masuk duduk di sekolah dasar.

Jadi pada dasarnya sama saja. Rutenya sama. Angkutan umumnya sama.

Namun ketika naik kelas dua, ada sedikit perubahan di jenis angkutan umum. Omprengan yang masuk ke komplek perumahan sudah berubah menjadi angkutan jenis KWK (Koperasi Wahana Kalpika). Sejak menggunakan KWK, yang berdiri di angkutan umum semakin sedikit, walaupun masih bisa dua orang sekaligus berdiri bergelantungan di pintu.

Saya paling senang berdiri bergelantungan di pintu. Rasanya laki banget. Keren!

Ada sih yang lebih keren saat itu, yaitu merokok! Tapi saya tidak suka rokok. Saya lebih baik bergelantungan di pintu KWK.

Sebenarnya bisa juga bergelantungan di Mikrolet saat melaju di Jalan Raya Kalimalang. Namun ada dua kendala.

Pertama, karena Mikrolet berada di jalan raya, kecepatannya cenderung tinggi.

Kedua, banyak polisi di sekitar jalan raya, sehingga supirnya takut ketilang kalau ketahuan ada orang yang berdiri di pintu mobilnya.

Di KWK, kedua kendala tersebut tidak ada. KWK beredar di sekitar komplek perumahan, sehingga kecepatan maksimumnya paling hanya 40 km/jam. Itu pun jarang, terutama yang belum penuh-penuh banget.

Namun sayangnya waktu kedatangannya masih belum dapat diperkirakan. Kalau beruntung, begitu sampai di tempat tunggu angkutan umum dalam komplek KWK sudah datang. Kalau lagi buntung harus menunggu paling tidak setengah jam sebelum dapat angkutan.

Saya ingat sekali di jaman masih duduk di Sekolah Menengah Pertama itulah pertama kali saya dipalak. Jam tangan Casio pemberian Papa saya berpindah tangan ke tangan pemalak saya. Pemalak saya saat itu dandanannya seperti kuli bangunan, umur di atas 20 tahun dan dua orang. Saat itu saya berdua bersama teman saya sengaja berjalan dari Kodam, Kalimalang ke Curug, Kalimalang lewat jalan setapak pinggir kali.

Waktu itu kami baru saja pulang dari sekolah masuk siang, dan waktu pulangnya lebih cepat daripada jadwal biasanya. Sehingga saya dan teman saya memutuskan untuk jalan kaki menuju Curug yang lumayan menghemat hingga Rp 150.

Memang menghemat Rp 150, tapi rupanya kehilangan jam tangan. Memang sudah rejeki pemalak saya waktu itu, walaupun rejekinya tidak dari jalan yang halal.

Saat ini jalan setapak itu mungkin sudah tidak ada dan sudah berganti jalan yang dapat dilewati mobil. Semoga tidak ada lagi anak-anak yang dipalak di daerah situ ke depannya.

Saat pulang sekolah ketika masuk siang, ada sesuatu yang saya kejar saat sampai di rumah. Sesuatu itu adalah film seri Saint Seiya. Waktu itu film tersebut tayang mulai pukul 17.30 hingga pukul 18.00. Jam pulang sekolah saya waktu itu mendekati pukul lima sore. Sehingga saya harus cepat-cepat pulang jika ingin menyaksikan film seri kesayangan saya tersebut.

Seringkali saat pulang saya sudah ketinggalan filmnya, karena sampai lewat pukul 18.00. Namun beberapa kali saya masih sempat menonton filmnya walaupun tidak pernah dari paling awal.

Telatnya saya sampai rumah terutama disebabkan oleh lamanya menunggu KWK untuk berangkat dari Curug, Kalimalang menuju komplek perumahan saya. Waktu tunggu angkutan umum ngetem di jam-jam tersebut rata-rata di antara 15-20 menit. Waktu yang cukup panjang untuk kehilangan film seri yang tayangnya hanya 30 menit sepekan.

Oleh karena itu saya pun kadang suka menggunakan angkutan alternatif dari Curug, Kalimalang menuju rumah. Alternatifnya adalah ojek.

Pakai ojek, tidak ada kata menunggu. Naik langsung jalan dan turun bisa langsung depan rumah tanpa harus mengikuti rute angkutan yang tetap. Kompensasinya ya harus bayar lebih mahal. Saat masih menjadi anak sekolah menengah pertama, tarif ojek sekali jalan adalah Rp 300. Dua kali lebih mahal daripada naik angkutan umum KWK.

Malah tarif tersebut kemudian naik menjadi Rp 500 saat pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM beberapa saat kemudian. Memang saat itu tarif KWK menjadi Rp 200 untuk pelajar dan Rp 250 untuk dewasa.

Dulu ojek itu tidak ada yang pakai helm satu pun. Apalagi penumpangnya. Tidak pernah ada ceritanya penumpang ojek pakai helm. Soalnya rutenya tidak melewati jalan raya sedikit pun. Jadi lebih aman dari polisi walaupun melanggar aturan lalu lintas.

Penggunaan ojek akan menjadi lebih sering saya lakukan begitu saya semakin besar. Kenapa?

Nantikan di bagian ketiga tulisan ini.

Nostalgia Angkutan Umum Jaman Dulu Bagian 1

Saat ini, mau tidak mau kita harus mengakui bahwa angkutan umum jaman now, jauh lebih baik. Mulai dari KRL yang sekarang selalu tepat waktu, pakai pendingin udara dan stasiunnya yang sudah modern dan bagus desainnya. Lalu ada Transjakarta yang sudah banyak rutenya, sehingga kemana-mana pun hanya membayar sekali, selama transitnya di halte resmi Transjakarta.

Jangan lupa juga dengan MRT dan LRT yang harusnya tidak lama lagi beroperasi. Kereta bandara pun jadi salah satu alternatif angkutan umum yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

Itu kondisi jaman now. Bagaimana kondisi jaman dulu?

Saya mulai mengenal angkutan umum sejak jaman masih bersekolah di sekolah dasar. Waktu itu saya sekolah di daerah Kodam, Kalimalang, sedangkan saya tinggal di Jatibening, Pondok Gede. Memang saat masih sekolah dasar saya lebih sering menggunakan jemputan yang disewa oleh orang tua saya. Nama supirnya saat itu adalah Om An.

Menjelang lulus sekolah dasar, saya mulai menggunakan angkutan umum, terutama saat pulang dari sekolah. Alasannya simpel, merasa sudah besar. Lagipula jarak dari rumah ke sekolah tidak terlalu jauh. Jika diukur dengan jarak, mungkin saja jaraknya tidak lebih dari tujuh kilometer.

Angkutan umum yang tersedia saat itu adalah:

Omprengan.

Mobil angkutan umum yang mungkin sudah susah ditemui saat ini. Tidak seperti Omprengan jaman now yang merupakan mobil biasa yang dijadikan angkutan umum, atau bahasa resminya angkutan umum gelap, Omprengan jaman dulu adalah mobil yang dasarnya adalah bak terbuka, namun bagian belakangnya dimodifikasi seperti naik truk tronton.

Untuk naik ke omprengan ada dua cara. Pertama, duduk di depan membuka pintu penumpang depan. Jumlah maksimum yang dapat ditampung adalah dua orang. Sama supir jadi tiga orang.

Kedua, duduk di belakang lewat bagian belakang mobil. Tidak ada pintu samping di belakang pintu depan. Kalau sekarang kaya lewat pintu bagasi, walaupun tidak ada pintunya. Persis sekali naik truk tronton tentara kalau mau pergi ke luar kota.

Omprengan beroperasi dari pagi hingga selepas Maghrib. Rutenya adalah keliling di sekitar komplek, kemudian menuju ke Jalan Raya Kalimalang di daerah Curug. Waktu itu tarifnya untuk anak sekolah hanya Rp 100 – Rp 200 per trip.

Tidak jelas kapan waktu kedatangan Omprengan. Biasanya saya menunggu paling lama 30 menit hingga mendapatkan Omprengan di saat bukan jam sibuk. Bila di jam sibuk (sekitar pukul 6 hingga 6.30), maka rata-rata waktu tunggu 10-15 menit.

Untuk menuju sekolahan saya, dari Curug, perlu naik angkutan umum lain ke arah Kodam, Kalimalang. Yang tersedia saat itu ada tiga.

Dua Mikrolet.

Yang satu M26 (Bekasi – Kampung Melayu) dan yang lain M19 (Klender – Cililitan). Mikrolet ini sama dengan yang dikenal sekarang, namun tentu kendaraan yang digunakan berbeda. Jaman dulu Mikrolet menggunakan mobil Kijang atau Panther.

Satu yang khas dari Mikrolet hingga jaman now adalah, waktu tunggunya yang cukup cepat. Rata-rata tidak sampai 5 menit satu Mikrolet sudah dapat kita berhentikan dengan melambaikan tangan di pinggir jalan. Seringkali malah Mikroletnya yang menghampiri kita, bila saat itu jumlah penumpangnya tidak terlalu banyak.

Sayangnya, yang menjadi khas lain dari Mikrolet hingga jaman now, anak sekolah bukan merupakan prioritas untuk diangkut. Sebabnya mudah, tarifnya lebih murah. Makan tempatnya sama.

Satu Metromini.

T54 (Lampiri – Kampung Melayu).

Metromini menggunakan mobil yang sama persis dengan Metromini yang beredar jaman now. Bentuk Metromini tidak berubah sampai sekarang dari sejak saya masih duduk di sekolah dasar. Mungkin bentuk itu lebih lama lagi dari masa kehidupan saya di dunia ini.

Saat naik Metromini, biasanya Metromininya sudah agak penuh, sehingga saya lebih sering berdiri daripada duduk. Namun Metromini selalu menjadi favorit saya. Kenapa? Karena paling murah.

Dari mulai saya sekolah dasar, hingga saya lulus SMA, tarifnya tetap. Rp 100 per trip. Dahulu pelajar tetap Rp 100 per trip sampai saya masuk kuliah, baru tarif pelajar berubah jadi Rp 500.

Tarif Mikrolet biasanya tergantung jarak. Khusus saya yang cuma berjarak kurang dari dua kilometer dari Curug, Kalimalang ke Kodam, Kalimalang, tarifnya biasanya Rp 50 lebih mahal daripada tarif Omprengan saya. Ketika tarif Omprengan Rp 100, maka Mikrolet memberlakukan Rp 150. Ketika Omprengan Rp 150, maka Mikrolet menjadi Rp 200.

Artinya untuk bolak-balik naik angkutan umum, saya membutuhkan uang paling tidak Rp 400 dengan catatan naik Metromini di Jalan Raya Kalimalang. Padahal uang jajan saya saat itu hanya Rp 500 per hari. Artinya saya hanya punya cadangan uang jajan sebesar Rp 100 per harinya saat sekolah dasar.

Saat itu dengan Rp 100 sudah mendapatkan empat buah pempek dari kantin di sekolah. Cukuplah untuk sekedar mengisi perut sebelum sampai ke rumah.

Naik Omprengan pagi-pagi dari komplek perumahan, saya biasanya dapat tempat duduk di belakang. Walaupun jam sibuk, di pagi hari omprengan tidak sepenuh angkutan umum yang biasa kita temui saat jam sibuk di kota Jakarta. Isinya memang hampir penuh, tapi biasanya masih ada sisa satu atau dua tempat duduk lagi sampai ke tempat tujuan. Tapi ya itu, waktu tunggunya lumayan.

Untuk saya yang sudah harus berada di sekolah pukul 7, tentu harus menyesuaikan diri agar tidak telat. Saat masih di sekolah dasar, pagi-pagi saya hampir selalu ikut jemputan. Namun siangnya seringkali pulang naik angkutan umum karena sering main dulu dengan teman-teman yang lain.

Dari Kodam, Kalimalang ke sekolahan saya jaraknya sekitar satu kilometer. Jalan kaki santai sekitar 15 menit. Tidak ada angkutan umum tersedia dari sekolah saya ke Jalan Raya Kalimalang. Sehingga satu-satunya jalan menuju sekolah bila naik angkutan umum adalah dengan berjalan kaki.

Jalan kaki saat pulang enaknya bersama dengan beberapa teman. Tidak terasa, tiba-tiba kita sudah sampai di Jalan Raya Kalimalang. Saat itu untuk menyebrang jalan raya, diperlukan sedikit keberanian karena kendaraan yang lalu lalang kecepatannya cukup tinggi.

Memang tidak sepadat jaman now yang makin susah menyebrang, jaman dulu kendaraan didominasi oleh mobil, sehingga relatif lebih mudah menyebrang daripada kendaraan jaman now yang didominasi oleh sepeda motor.

Ketika balik naik Omprengan dari Curug ke komplek perumahan, saya harus menunggu Omprengannya penuh. Penuh di sini benar-benar penuh atau semua kursi terisi. Bahkan beberapa ada yang berdiri karena tidak mau menunggu 15-30 menit lagi hingga keberangkatan Omprengan berikutnya.

Saat masih di sekolah dasar, saya tidak berani berdiri di belakang Omprengan. Rata-rata yang berdiri di belakang adalah anak Sekolah Menengah Pertama atau anak Sekolah Menengah Atas. Sebagai anak Sekolah Dasar, saya pun lebih sering disuruh duduk di dalam, walaupun sebenarnya ingin sekali berdiri di belakang seperti kakak-kakak saya tersebut.

Memasuki Sekolah Menengah Pertama, ada perubahan di angkutan umum yang saya naiki. Apa saja perubahannya? Nantikan di bagian kedua tulisan ini.