Sudah baca bagian pertama tulisan ini? Kalau belum baca dulu deh di sini.
Menjadi anak Sekolah Menengah Pertama ada perubahan besar kepada jadwal sekolah saya. Iya, saya masuk siang. Jadwal belajar mulai pukul 12.30. Saya biasa berangkat pukul 11.00 siang.
Kalau sekolah pagi, biasanya masih suka diantar oleh orang tua karena sekalian berangkat ke tempat kerja. Namun kalau sekolah siang, sudah jelas harus pulang sendiri.
Mulai jadi anak Sekolah Menengah Pertama saya harus mulai mandiri, paling tidak untuk urusan angkutan umum. Waktu masih di sekolah dasar saya ikut jemputan, sampai kelas enam. Begitu masuk sekolah menengah pertama, tidak ada lagi ceritanya jemputan semacam itu.
Kompensasi berangkat tanpa jemputan artinya saya mendapatkan uang jajan lebih. Papa saya biasa memberikan uang jajan dengan periode mingguan. Cukup tidak cukup. Pas tidak pas. Lebih tidak lebih, harus bisa dipakai untuk satu minggu. Tidak ada tambahan sepeser pun yang diberikan di tengah minggu jika uangnya dah keburu habis.
Seringkali saya harus menahan lapar di sekolah karena uangnya terbatas. Makanan favorit saya ketika di sekolah menengah pertama adalah bacang. Murah dan mengenyangkan. Beli dua bacang perut sudah kenyang namun harganya masih lebih murah daripada satu mangkok bakso.
Angkutan umum yang saya gunakan pun masih sama.
Di komplek perumahan, Omprengan.
Di Jalan Raya Kalimalang, Dua Mikrolet dan Satu Metromini.
Yang beda adalah tarifnya. Omprengan sudah mulai Rp 200 per trip. Mikrolet pun mintanya juga Rp 200 per trip, walaupun saya selalu bayar Rp 150 atau bahkan Rp 100. Toh dekat dari Curug ke Kodam. Hanya jarak satu jembatan penyebrangan di Kalimalang.
Jalan kaki dari Kalimalang menuju sekolahan adalah hal satu-satunya yang harus ditempuh saat itu. Tidak ada angkutan umum masuk komplek perumahan yang ada sekolah saya di dalamnya. Sekolah saya waktu menjadi anak sekolah menengah pertama tepat di belakang sekolah saya waktu masuk duduk di sekolah dasar.
Jadi pada dasarnya sama saja. Rutenya sama. Angkutan umumnya sama.
Namun ketika naik kelas dua, ada sedikit perubahan di jenis angkutan umum. Omprengan yang masuk ke komplek perumahan sudah berubah menjadi angkutan jenis KWK (Koperasi Wahana Kalpika). Sejak menggunakan KWK, yang berdiri di angkutan umum semakin sedikit, walaupun masih bisa dua orang sekaligus berdiri bergelantungan di pintu.
Saya paling senang berdiri bergelantungan di pintu. Rasanya laki banget. Keren!
Ada sih yang lebih keren saat itu, yaitu merokok! Tapi saya tidak suka rokok. Saya lebih baik bergelantungan di pintu KWK.
Sebenarnya bisa juga bergelantungan di Mikrolet saat melaju di Jalan Raya Kalimalang. Namun ada dua kendala.
Pertama, karena Mikrolet berada di jalan raya, kecepatannya cenderung tinggi.
Kedua, banyak polisi di sekitar jalan raya, sehingga supirnya takut ketilang kalau ketahuan ada orang yang berdiri di pintu mobilnya.
Di KWK, kedua kendala tersebut tidak ada. KWK beredar di sekitar komplek perumahan, sehingga kecepatan maksimumnya paling hanya 40 km/jam. Itu pun jarang, terutama yang belum penuh-penuh banget.
Namun sayangnya waktu kedatangannya masih belum dapat diperkirakan. Kalau beruntung, begitu sampai di tempat tunggu angkutan umum dalam komplek KWK sudah datang. Kalau lagi buntung harus menunggu paling tidak setengah jam sebelum dapat angkutan.
Saya ingat sekali di jaman masih duduk di Sekolah Menengah Pertama itulah pertama kali saya dipalak. Jam tangan Casio pemberian Papa saya berpindah tangan ke tangan pemalak saya. Pemalak saya saat itu dandanannya seperti kuli bangunan, umur di atas 20 tahun dan dua orang. Saat itu saya berdua bersama teman saya sengaja berjalan dari Kodam, Kalimalang ke Curug, Kalimalang lewat jalan setapak pinggir kali.
Waktu itu kami baru saja pulang dari sekolah masuk siang, dan waktu pulangnya lebih cepat daripada jadwal biasanya. Sehingga saya dan teman saya memutuskan untuk jalan kaki menuju Curug yang lumayan menghemat hingga Rp 150.
Memang menghemat Rp 150, tapi rupanya kehilangan jam tangan. Memang sudah rejeki pemalak saya waktu itu, walaupun rejekinya tidak dari jalan yang halal.
Saat ini jalan setapak itu mungkin sudah tidak ada dan sudah berganti jalan yang dapat dilewati mobil. Semoga tidak ada lagi anak-anak yang dipalak di daerah situ ke depannya.
Saat pulang sekolah ketika masuk siang, ada sesuatu yang saya kejar saat sampai di rumah. Sesuatu itu adalah film seri Saint Seiya. Waktu itu film tersebut tayang mulai pukul 17.30 hingga pukul 18.00. Jam pulang sekolah saya waktu itu mendekati pukul lima sore. Sehingga saya harus cepat-cepat pulang jika ingin menyaksikan film seri kesayangan saya tersebut.
Seringkali saat pulang saya sudah ketinggalan filmnya, karena sampai lewat pukul 18.00. Namun beberapa kali saya masih sempat menonton filmnya walaupun tidak pernah dari paling awal.
Telatnya saya sampai rumah terutama disebabkan oleh lamanya menunggu KWK untuk berangkat dari Curug, Kalimalang menuju komplek perumahan saya. Waktu tunggu angkutan umum ngetem di jam-jam tersebut rata-rata di antara 15-20 menit. Waktu yang cukup panjang untuk kehilangan film seri yang tayangnya hanya 30 menit sepekan.
Oleh karena itu saya pun kadang suka menggunakan angkutan alternatif dari Curug, Kalimalang menuju rumah. Alternatifnya adalah ojek.
Pakai ojek, tidak ada kata menunggu. Naik langsung jalan dan turun bisa langsung depan rumah tanpa harus mengikuti rute angkutan yang tetap. Kompensasinya ya harus bayar lebih mahal. Saat masih menjadi anak sekolah menengah pertama, tarif ojek sekali jalan adalah Rp 300. Dua kali lebih mahal daripada naik angkutan umum KWK.
Malah tarif tersebut kemudian naik menjadi Rp 500 saat pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM beberapa saat kemudian. Memang saat itu tarif KWK menjadi Rp 200 untuk pelajar dan Rp 250 untuk dewasa.
Dulu ojek itu tidak ada yang pakai helm satu pun. Apalagi penumpangnya. Tidak pernah ada ceritanya penumpang ojek pakai helm. Soalnya rutenya tidak melewati jalan raya sedikit pun. Jadi lebih aman dari polisi walaupun melanggar aturan lalu lintas.
Penggunaan ojek akan menjadi lebih sering saya lakukan begitu saya semakin besar. Kenapa?
Nantikan di bagian ketiga tulisan ini.