Di tulisan saya sebelumnya saya mengungkapkan kesenangan saya karena bus pengumpan Transjakarta sudah masuk di depan komplek perumahan saya. Di tulisan yang sama, saya juga mengungkapkan kesedihan saya karena Metromini yang selama ini merupakan satu-satunya angkutan umum yang lewat depan komplek perumahan saya, semakin hari semakin sedikit penumpangnya.
Saya pun berbagi kesenangan saya di grup Whatsapp yang saya ikuti. Kebetulan grup teman satu angkatan saya. Saya mengungkapkan kebahagiaan saya di sana, walaupun saya tidak membagikan tulisan saya tersebut ke grup.
Ada yang baru ngeh bahwa Transjakarta sekarang sudah ada bus pengumpan. Ada yang anggap bahwa hal itu biasa karena sudah ada sejak tahun lalu. Ada yang senang karena akhirnya Metromini dan angkutan umum lainnya yang sejenis, akhirnya mulai “terbunuh”.
Saya tekankan di kata “terbunuh”. Dan itu sangat menyedihkan.
Ketika angkutan umum seperti Metromini, Koantas Bima, Kopaja dan sejenisnya terbunuh, maka dampak langsungnya dirasakan oleh keluarga inti supir dan pihak-pihak yang terkait dengan rejeki yang mengalir dari angkutan umum itu. Dengan keadaan saat ini, rejeki mereka tentu tidak sebaik sebelumnya. Ada dua akibat tidak langsung dari seretnya rejeki mereka.
Pertama adalah kemiskinan.
Kemiskinan di ibukota ujung-ujungnya adalah melahirkan sumber kejahatan atau kriminalitas baru. Korban dari kejahatan tentunya adalah warga sendiri. Warga yang tidak tahu-menahu menanggung akibat dari kebijakan pemerintah DKI Jakarta yang sengaja “membunuh” angkutan umum semacam Metromini.
Ketika ada tindak kejahatan atau kriminalitas, yang jadi korban adalah warga sendiri.
Kedua adalah bobroknya kondisi kendaraan.
Jika ini terjadi, jelas bahwa potensi kecelakaan melibatkan angkutan umum tersebut meningkat pesat. Kita akan sering mendengar kecelakaan maut yang melibatkan angkutan umum sejenis. Kecelakaan maut biasanya terjadi karena ada mekanisme dari kendaraan yang tidak dapat berfungsi sebagai mana mestinya. Biasanya yang gak bisa bohong adalah rem. Rem yang blong seringkali menjadi kambing hitam dalam sebuah kecelakaan maut yang melibatkan angkutan umum sejenis.
Ketika kecelakaan maut terjadi, yang jadi korban ya warga sendiri.
Memang dengan adanya bus pengumpan yang menjangkau lebih banyak area, mobilitas warga Jakarta sangat dimudahkan dan dimanjakan. Beberapa tahun lalu, dengan munculnya angkutan umum online, warga Jakarta merasa sangat dimanjakan. Kemana-mana tarifnya Rp 10.000. Betul-betul bagaikan surga.
Sekarang angkutan umum online memang masih murah, tapi tidak semurah dulu waktu baru awal-awal. Namun warga Jakarta masih dimanjakan dengan rute transjakarta yang sudah banyak menjangkau daerah-daerah yang selama ini luput dari jangkauan koridor-koridor utama Transjakarta. Mulai dari yang rute yang paling rame, hingga ke rute-rute yang tidak terlalu rame tapi melewati jalan-jalan yang cukup besar.
Dulu angkutan umum bisa berbuat seenaknya dan warga tidak memiliki pilihan. Sekarang pilihan banyak, sehingga angkutan umum yang dulu berbuat seenaknya langsung ditinggalkan oleh hampir semua “langganan”-nya.
Tapi keadaan “membunuh” angkutan umum tidak dapat dibiarkan begitu saja. Pemerintah DKI Jakarta harus bertindak. Entah menggandeng mereka kembali untuk bergabung ke sistem transportasi yang dimiliki Pemerintah DKI Jakarta, atau hentikan ijin trayek mereka.
Jika keadaan ini masih dibiarkan dan dikembalikan ke mekanisme pasar, maka yang terjadi adalah timbul korban dari pihak warga sendiri. Pilihannya adalah menjadi korban kriminalisme dari pihak-pihak yang masih terkait dengan angkutan umum lama dan kerabat-kerabatnya, ATAU menjadi korban karena bobroknya kondisi umum yang mengancam nyawa siapa pun yang berada di dekatnya.
Apakah kita mau nyawa warga terenggut percuma gara-gara hal tersebut?
Kriminalitas ATAU kecelakaan maut.
Siapa yang jadi korban? Ya warga sendiri!
Semoga Pemerintah DKI Jakarta cepat bertindak dan memberikan solusi terbaik mengenai angkutan umum agar kebijakan mengenai angkutan umum ini tidak ujung-ujungnya warga juga yang menjadi korban.